Gemiricik hujan mengalunkan nada pilu. Rintik-rintiknya menutup akhir tahun 2010.
Entah bagaimana awalnya Rey meneteskan butir-butir air mata pada diary yang digenggamnya erat. Ia tak dapat menutupi kegundahan hatinya yang membungbung tinggi dan menjadi beban berat dalam batinnya. Hanya menangislah satu-satunya cara untuk melampiaskan segala apa yang ia rasa.
“Setidaknya kau bicara pada Lisa tentang perasaanmu yang sebenarnya. Jelaskan padanya agar dia mengerti!”
“Tidak. Biarkan semuanya seperti ini.” tegas Dye tetap keras kepala.
“Tapi kamu seolah memberinya harapan…”
“Siapa yang memberi harapan? Dari awal aku mengenal Lisa aku anggap dia teman. Kalau pada akhirnya dia mempunyai perasaan padaku itu wajar. Dan aku tidak mau membahas ini karena takut menyakiti perasaannya.”
“Tapi…” Rey tak melanjutkan ucapannya.
“Sudahlah, hak aku untuk memilih dan menolak.”
Percakapan kemarin telah jadi memori kelam di hari-hari Rey. Meskipun waktu itu Rey hanya menyampaikan perasaan Lisa tetapi sebenarnya Rey sedang berkamuplase menjadi sosok Lisa. Setiap pertanyaan Rey adalah apa yang sebenarnya disampaikan oleh hatinya. Perasaan yang dirasakan Lisa sesungguhnya juga dirasakan oleh Rey. Mencintai seorang sahabat adalah perasaan yang menyiksa batin. Bahkan perasaan Rey terhadap Dye lebih lama dari Lisa.
Waktu delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mempertahankan perasaan yang terpendam. Banyak sekali cobaan dan hasrat untuk mengngkapkannya. Akan tetapi semua itu bisa dilewati Rey dengan prinsip yang teguh bahwa tak ingin mengubah persahabatan yang sudah terjalin dengan nyaman. Yakin bahwa mencintai tak harus memiliki. Hanya dengan saling berbagi dan dapat berkorban itulah ketulusan cinta yang sebenarnya.
“Hak aku untuk memilih dan menolak.” Ucapan Dye seakan terus terngiang ditelinganya meskipun bukan untuknya, tapi Rey sangat yakin dia akan merasakan hal yang sama jika dia ada dalam posisi itu. Bahkan mungkin lebih buruk.
Yah, kenyataan itu benar-benar terjadi! Ucapan itu berlaku juga untuknya. Bagai busur panah yang menancap dan membuat lubang dihatinya karena tak menyangka sesuatu yang ia takutkan selama ini terjadi. Dye tahu perasaannya!
“Sudahlah Rey jangan kau sesali sesuatu yang sudah terjadi. Memang sudah takdirnya Dye tahu perasaanmu dengan cara seperti ini.”
“Tapi aku juga punya hak untuk mencintai seseorang dengan caraku sendiri.”
“Sampai kapan kamu akan menyembunyikan perasaanmu? Sedangkan semua orang juga bisa menbaca matamu kalau kamu punya perasaan khusus pada Dye. Dan memang sudah saatnya kamu pun tahu bagaimana perasaan Dye sama kamu.” Jelas Danea.
“Tapi aku belum siap, apalagi dengan cara seperti ini. Dye tahu perasaanku dari buku diary dan itu privacyku.”
“Kalau menurutku sebenarnya tanpa membaca diarymu sekalipun Dye udah tahu sejak lama, hanya saja dia tidak bicara langsung padamu karena dia menghargai persahabatan kalian. Seperti halnya pada Lisa.”
Rey masih terisak. Sebentar dadanya terasa sangat sesak. Biasanya dengan mengurut dada Rey sudah merasa baikan, tapi kali ini tidak. rasa nyeri didadanya begitu kuat dan sakit.
“Sekarang Dye memang tahu tapi aku yakin dia tidak mengerti.”
Dye memang egois! Orang paling egois yang pernah dikenal Rey. Saat ini Dye lebih menjadi ‘babu’ atas orang yang dia pilih daripada Rey. Dye agungkan segala pengorbanan wanita itu padahal Dye baru mengenalnya. Tapi, Dye tidak pernah menghargai sedikitpun pengorbanan Rey selama ini.
Rey ingat Dye pernah mengatakan bahwa Rey hanyalah salah satu orang yang care padanya. Mungkin itu tidak akan pernah lebih. Lagipula Dye tidak pernah mau tahu tentang perasaan Rey. Bahkan setelah Dye tahu pun Dye mengatakan penyesalannya dicintai seorang ‘itik buruk rupa’. Rey sangat tahu meskipun ucapan itu tidak langsung ditujukan padanya, Rey mengerti maksud Dye sebenarnya adalah menyuruh Rey untuk berkaca! Berkaca arti dirinya dihadapan Dye. Akan tetapi nyatanya Rey lebih tahu diri tanpa Dye menyuruhnya sekalipun. Dalam hal ini Rey bukanlah orang yang paling bersalah. Diapun tak menganggap dirinya terlalu hina untuk mencintai seorang Dye.
Bertahun-tahun Rey memendam perasaan untuk Dye tanpa berani menyinggungnya sedikitpun, berusaha menjadi Fatimah yang mencintai Ali bin Abi Thalib. Karena Rey sangat tahu Dye tidak akan pernah bisa menerima ‘itik buruk rupa’. Rey tidak pernah berharap sekalipun itu dalam mimpinya untuk memiliki Dye. Rey hanya mencintainya dengan tulus tanpa mengharap balasan yang sama.
Ah, sudahlah terlalu perih untuk diingat. Rey memutuskan untuk diam saja. Tak akan ada gunanya ia mengklarifikasi dan memaksa Dye untuk mengerti. Sampai kapanpun orang egois seperti dirinya tidak akan pernah memahami arti ketulusan.
Tepat hari itu juga handphone Rey tidak berhenti bordering. Beberapa pesan masuk belum sempat dibacanya.
“Halo?” sapa Rey kemudian.
“Kok baru diangkat sih? Kamu dimana?” tanya seseorang diujung telepon.
“Aku di rumah Danea.”
“Suaramu kok aneh, kamu habis nangis ya? Kenapa?”
“Enggak kok. Aku enggak apa-apa.” Dusta Rey.
Sudah beberapa minggu ini Rey punya pengagum rahasia. Namanya Yoga. Awal dia menelpon Rey, dia tahu semua tentang Rey bahkan dia mencintai Rey sejak lima tahun yang lalu. Dia mengaku kalau sebenarnya dia adalah kakak kelas Rey sewaktu SMP. Baru kali ini dia berani mendekati Rey walau itu dengan cara misterius seperti ini. Dia bilang sayang pada Rey bahkan setiap hari memberi Rey perhatian melebihi perhatian ibunya.
Tapi, lama-lama Rey penasaran dan beberapa kali membujuknya untuk bertemu agar Rey tahu siapa orang yang begitu tulus mencintai orang sepertinya. Namun selalu gagal karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. Jika sudah begitu, Rey pun tak mungkin memaksanya lagi. Rey mengerti setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai. Dan Rey sudah cukup senang karena masih ada cinta untuknya.
“Kak..”
“Ehm, Kenapa?”
“Ini permintaanku yang terakhir dan aku tidak akan memaksa lagi. Ijinkan aku bertemu kakak!”
“Kalau sudah bertemu mau apa? Jika sudah waktunya aku akan langsung datang ke rumahmu bersama kedua orang tuaku.”
“Maksud kakak?”
“Aku akan melamarmu.”
“Tidak segampang itu, kak! Kakak tahu semua tentang aku tapi aku tidak tahu kakak…”
“Yang penting kamu tahu aku sayang sama kamu, Rey!”
Yah, beginilah rasanya dicintai, sangat bahagia. Serasa ada yang terus memantau dan menyemangati. Mengerti arti dan tujuan hidup. Ada inspirasi untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun sesungguhnya Rey tak pernah melepas bayangan Dye dalam benaknya. Huft, so must go on! Masih ada yang menyayanginya dengan tulus. Hidup bukan hanya bertahan untuk satu orang saja.
Setiap kali Rey bersedih mengingat perlakuan dingin Dye, sejenak Yoga hadir bagai peri pembawa kegembiraan. Mengubah hari-harinya lebih indah. Sampai suatu hari Rey berhasil membujuk Yoga untuk menemuinya di dekat dermaga. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang aneh dengan syarat yang diajukan Yoga agar mereka bisa bertemu.
“Aku akan menunggumu jam sepuluh pagi. Tapi ada syaratnya…”
“Apa itu kak?”
“Kamu harus datang sendiri.”
“Kenapa?”
“Ya..aku hanya ingin bertemu denganmu saja bukan dengan orang lain.”
Rey mengiyakan. Ia tak ingin menanyakan hal-hal yang aneh tentang syarat yang diberikan Yoga yang bisa mengubah keputusan Yoga untuk bertemu dengannya. Rey sangat bahagia akan bertemu dengan kekasih misteriusnya. Kebahagiaan ini ia kabarkan juga pada sahabatnya, Danea. Tentu saja Danea merasa senang melihat sahabatnya bangkit dari keterpurukan. Rey mengatakan pada Danea ia berjanji akan menerima seperti apapun Yoga nantinya. Ia tak lagi memikirkan tampang, cukup dia mencintai Rey dengan tulus dia akan menerima Yoga apa adanya.
“Tapi Rey kamu kan hanya tahu Yoga dari telepon. Semuanya bisa dimanipulasi lho! Kamu belum benar-benar mengenal siapa dia…” ungkap Danea menjelaskan kekhawatirannya.
“Yaa, aku tahu itu. Makanya besok aku akan mencari tahu siapa dia.”
“Perlu aku temani?”
“Enggak usah. Yoga menyuruhku datang sendiri.”
“Tapi…”
“Aku bisa jaga diri…” Rey meyakinkan Danea agar tidak khawatir.
****
Pagi itu Rey datang ke demaga lebih awal. Matahari masih hangat menyinari hari yang mulai cerah. Rasa penasaran campur bahagia ia rasakan kala itu.
“Kamu dimana?”
Rey mengirim pesan singkat pada nomor Yoga. Beberapa lama tak ada balasan. Rey kirim ulang pesan itu, masih tak ada balasan juga. Rey mencoba menghubungi nomornya berharap bukan kesengajaan Yoga tak membalas pesannya.
Ada pesan dari Yoga. “Aku udah sampai, kamu dimana?”
Rey mengerutkan kening. Seharusnya dia yang bertanya demikian. Sungguh, aneh! Rey tidak langsung membalas pesan itu dia berusaha mencari-cari disekitarnya. Siapa tahu Yoga benar-benar sudah datang hanya saja Rey tidak melihatnya. Rey melayangkan pandangannya mengitari setiap sudut dermaga tempatnya berdiri saat itu namun tidak ada seorang pun disana. Sepi. Lagipula jika ia mencari sosok Yoga, tak ada bayangan sedikitpun dalam benaknya. Bagaimana wajahnya? Tinggi badannya? Atau apapun! Yang Rey tahu hanya suara Yoga.
“Aku ada di dermaga dekat dengan pohon akasia di sebelah timur.” Jelas Rey dalam sms.
“Aku ada di dekatmu, Rey!”
Rey kaget mendapat balasan sms seperti itu. Antara tidak mengerti dan takut. Rey merasakan ada hal aneh sedang terjadi padanya. Rey melirik kesamping kiri dan kanan. Tak ada apa-apa kecuali dirinya yang benar-benar sedang berdiri sendiri.
“Kakak jangan bercanda. Aku enggak lihat siapa-siapa disini.”
“Kamu memakai kemeja putih, jeans abu-abu dan kerudung yang senada, kan?”
“Iya. Kakak dimana?”
Rey terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya Yoga inginkan darinya? Serumit inikah memahami cinta? Caranya mencintai benar-benar tidak logis. Atau ini adalah bagian dari sebuah permainan? Ah, Rey tidak mengerti.
Satu jam Rey menunggu tanpa ada kepastian. Sms yang terakhir dikirimnya tak juga ada balasan. Rey benar-benar merasa dipermainkan. Ia sudah mengelilingi dermaga untuk mencari sosok yang ia harapkan kedatangannya. Tapi siapa dia? Rey tak mengenalinya. Ia hanya bermodalkan nama dan suara? Huft, ratusan orang didunia ini memiliki nama dan suara yang sama.
Tiba-tiba seseorang keluar dari balik pohon akasia. Dia jelmaan dewa yang datang kemudian merangkulku.
“Danea…”
“Aku tahu kamu akan menangis lagi makanya aku diam-diam mengikutimu.” Jelas Danea seolah tahu apa yang akan Rey tanyakan.
“Aku seperti mengharapkan angin. Sesakit inikah cinta untukku?”
“Ada banyak hari yang lebih indah yang akan kau dapatkan daripada menangisi hari ini. Bangunlah! Semuanya akan berlalu.”
Rey tetap menangis. Entah siapa yang akan dia salahkan? Semuanya begitu abstrak untuk ia artikan maknanya. Dia terus menanyakan dirinya pada Tuhan? Salah apa yang telah diperbuatnya sehingga harus mendapat hukuman seberat ini. salahkah bila dia mencintai atau dicintai?
Akhirnya Rey benar-benar angkat tangan dengan masalah yang menimpanya. Memutuskan untuk kembali pada perasaan yang hampa tanpa harus mengingat dan merasakan sesuatu yang menyakitkan seperti ini. Mencintai atau dicintai keduanya sulit untuk dijalani jika pada akhirnya akan sesakit ini. Segala sesuatu yang ada di dunia ini terkadang banyak yang mengecewakan.
Cinta! Ah, lima huruf yang menghadirkan khayalan masa indah sekaligus mengingatkan berbagai persoalan sebagai bumbu-bumbu pelengkapnya. Cinta, kata yang tidak pernah habis untuk diartikan. Semua orang mencoba mengartikannya dengan persepsi dan caranya sendiri. Akibatnya kata yang paling banyak artinya kata itu tak lain adalah cinta.
Rabu, 15 Februari 2012
MATAHARI TAK SENDIRI
Edit Posted by Audrey Tatia with No comments
Tak selamanya rasa cinta dibalas dengan cinta, begitupun ketulusan! Kalaulah hati tak dapat menerimanya saat ini mungkin suatu saat bisa. Tak ada seorangpun yang baik menerima kecewa dan sakit hati. Biarlah semuanya menjadi bagian proses pendewasaan diri. Jika ada yang memuji keindahan bulan dan bintang ketika malam, maka matahari juga tak kalah indah dikala siang.
Aku masih bisa bertahan dan akan terus berjalan sampai ke ujung, sampai aku dapat temukan semua hikmah di balik rahasia. Meniti kehidupan adalah daun-daun ilmu yang berserakan.
Sudah sepuluh bulan berlalu, hati tak kunjung reda dari kegelisahan yang menghantui. Apakah kesadaran makna cinta yang dirajut dalam bahtera rumah tangga juga tertanam dalam hatimu? Sungguh, aku tak mengerti hatimu. Aku tetap menanti sesuatu yang tak aku tau ujungnya.
“Suamiku, kapan kau pulang?”
Disetiap malam aku menyendiri dalam gelap. tak peduli bintang ataupun bulan. Aku hanya ingin menangis. Mengadu setiap jengkal rasa yang mengumpul dalam perasaanku. Mencoba menyingkirkan rasa kesal dan pikiran negative tentangmu. Aku habiskan malam-malam bersama Tuhanku hanya untuk menangisi kepergianmu yang tak ada kabar. Melihat Si Kecil yang setiap malam mengigau memangil ayahnya, hatiku perih!
Aku tak pernah lupa untuk mendoakanmu agar kau tak lupa jalan pulang.
****
Seperti biasanya, pagi itu aku masih menantimu di sebuah jembatan di atas rel kereta. Pagi itu matahari bersinar begitu cerah, sedikit menyilaukan tetapi memberi kehangatan. Aku yakin hari itu kau akan pulang. Semangatku tak pernah berubah seperti pagi sebelumnya. Si Kecil pun sama, masih menatimu penuh harap.
Berjam-jam lamanya kami berdiri, tapi bayanganmu pun tak tampak. Si Kecil mulai menangis menanyakan ayahnya. Sedang aku tak ingin lagi menangis. Aku tetap tegar, ini bukan kali pertamanya aku mendengar kabar angin tentang kepulanganmu. Ahh, tapi aku tak pernah bisa mengambil kembali air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mataku.
“Ayaaahh…”
Si Kecil berlari memeluk rindu sang ayah. Wajah senduku berubah cerah. Akhirnya kau pulang. Aku tahu tak akan pernah ada suatu penantian yang berakhir sia-sia. Kulihat wajahmu pagi itu, tampan, kulihat kau tersenyum padaku dari kejauhan. Ujung kerudungku diterbangkan oleh semilir angin sejuk.
Lalu kita pulang kembali ke istana mungil, menghabiskan sisa waktu yang kita punya. Duduk bersama saling melepas rindu. Tak ada kebahagiaan yang berarti dalam hidup selain melihat gelak tawa Si kecil yang tak mau lepas dari pangkuanmu. Seolah dia ingin mengatakan agar engkau tetap bersamanya, bersamaku!
“Bun, maafkan ayah karena pulang tidak membawa apa-apa. Keadaannya sangat sulit. Ayah di PHK tanpa pesangon dari perusahaan tempat ayah bekerja.” Ucapmu malam itu.
“Bunda tidak mengharapkan apa-apa. Ayah pulang dengan keadaan sehat dan bisa berkumpul lagi itu sudah lebih dari cukup.”
Itu bukan ucapan klise yang keluar dari mulut seorang istri macam aku. Keadaannya memang sudah berbeda. Sudah menjadi impian setiap istri mana pun bisa hidup sejahtera dengan harta yang berkecukupan. Tapi aku tak lagi mengukur kebahagiaan dari itu semua. Lagi-lagi pikiranku adalah Si Kecil, anakku.
Malam pun semakin larut. Si Kecil terlelap dalam dekapanmu. Raut wajahnya yang polos berbinar kebahagiaan.
Saatnya aku yang melayanimu. Menyerahkan segala yang kumiliki untuk kau jamah dengan cinta. Merajut kasih di bawah sinar rembulan yang kupuji hanya malam ini.
****
Baru saja dua hari di rumah, kamu sudah minta ijin untuk pergi lagi. Alibimu saat itu kau akan mencari kerja di luar kota. Aih, aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Aku tak bisa menahanmu terlalu kekang. Memang sudah menjadi beban dan tanggung jawab dipundakmu untuk menafkahi aku dan Si Kecil. Seandainya aku bisa mengatakan bahwa aku tak ingin jauh darimu, biarlah kita hidup seadanya, asal selalu bersama. Tapi aku tak bisa merengek. Aku hanya bisa memberi saran, segala keputusan ada di tanganmu karena engkau imamku.
Si Kecil ngambek dan mengancam mogok makan mendengar ayahnya akan pergi lagi. Meski dibujuk dengan berbagai cara, dia tetap bersikukuh dengan sikapnya. Celotehan-celotehan yang polos merayumu agar ayahnya mengurungkan niat. Tapi kamu tetap keras kepala.
“ Fajar malu diledek teman-teman. Katanya Fajar tak punya ayah!”
Aku sangat mengerti perasaan si kecil. Aku berusaha menenangkan dengan mengusap dadanya. Nafasnya yang tersenggal-senggal karena menahan sakit hati. Dia terlalu kecil untuk menanggung ini semua. Si Kecil terus menangis hingga ia terlelap dipangkuanku. Sedang kamu tak ada rasa iba sedikit pun untuk sekedar menunda tekadmu. Kamu benar-benar berangkat pagi ini.
****
Sepeninggalanmu merantau, aku masih merasakan kegelisahan yang entah apa sebabnyasetiap malam kau hadir dalam bayangan mimpi buruk. Firasatku buruk. Namun aku tak ingin perasaan galau ini menjadi sugesti buruk pula padamu. Sehingga terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Naudzubillah! Aku pasrahkan segalanya kepada yang Maha Kuasa. Semoga Allah selalu menjagamu, disaat penjagaanku tak dapat menggapaimu.
Kegelisahanku bertambah-tambah karena hamper seminggu Si Kecil demam. Dia rindu dengan sang ayah. Berkali-kali aku mencoba menghubungimu, tapi selalu tak ada jawaban. Ratusan sms aku kirim tak jua kau hiraukan. Ada apa denganmu? Tak terpikirkah sedikitpun kau mengkhawatirkan anakmu? Adakah sesuatu buruk terjadi padamu? Ya Rabb, beri aku aku petunjukMu!
Siang itu handphoneku berdering. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Harapanku kali pertama saat membukanya, itu adalah kau, suamiku!
“Mulai detik ini kamu tidak usah menghubungi mas Tyo lagi. Mas Tyo sudah punya kehidupan baru disini. Tidak usah kau ganggu-ganggu keluargaku karena mas Tyo sudah tidak mencintaimu. Sepuluh bulan yang lalu mas Tyo menikahiku dan sekarang kami sudah punya anak. Urus saja hidupmu sendiri, tidak usah mengharapkan mas Tyo kembali. (ANITA)”
Astagfirullah! Inikah balasan pengabdianku padamu selama lima belas tahun? Tega kau campakkan aku seperti sampah busuk yang tak bernilai. Jiwaku terkoyak asa tak berharap. Keringlah air mataku menangisimu. Pupus sirna segala penantian. Terjawab sudah kegelisanku selama ini. Ini caramu membalas cintaku? Ah, sakit luar biasa kau tikam ulu hatiku.
Tak akan ada lagi hari dimana aku menantimu disebuah jembatan di atas rel kereta. Tak ada lagi senyum hangat penuh harapan menantimu pulang.
Cerai! Keputusan itu memberontak dalam pikiranku. Aku tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit. Yah, keputusan itu sempat hinggap dikepalaku. Doktrin teman-temanku yang anti terhadap poligami juga terus meracuni otakku. Mereka bilang tentang kehidupan yang tidak manusiawi dalam sebuah hubungan cinta segitiga. Bukan hanya ketidakadilan lagi yang akan kudapatkan tapi segala macam penyiksaan batin pun akan mengahantui hidupku. Wanita bukanlah sekedar bunga yang bisa dicicipi saripatinya lalu dibiarkan layu begitu saja. Menjadi single parent akan lebih baik daripada hidup menjadi pesakitan. Tak ada wanita yang tahan jika diduakan cintanya. Mereka memberikan keyakinan padaku bahwa aku sanggup memberi makan anakku sendiri. Segala rizki, jodoh dan maut bukan manusia yang mengatur.
Tapi, bagaimana dengan Si Kecil? Bagaimana perasaannya jika ia tahu kenyataan yang sebenarnya? Sungguh, aku tak sanggup membayangkannya.
“Bunda kenapa menangis? Jangan menangisi ayah lagi. Jika ayah sayang pada kita ayah pasti akan pulang.”
“Bagaimana kalau ayah tidak pulang - pulang?”
“Ayah pasti pulang, bun. Fajar yakin!”
Aku tersenyum getir! Tak mungkin aku melukai perasaannya yang begitu halus. Dia terlalu sayang pada ayahnya.
“Fajar, bunda mau tanya. Seandainya bunda dan ayah tidak bisa bersama lagi, Fajar akan memilih siapa? Bunda atau ayah?”
“Fajar tidak akan memilih siapa-siapa. Kalau itu terjadi Fajar akan pergi dari rumah dan memilih hidup sendiri.”
“Kenapa? Kan masih ada bunda yang sayang sama Fajar.”
Si Kecil menatapku lekat. Sinar matanya polos. Dia terlalu kecil untuk memahami ini semua.
“Kenapa bunda menanyakan hal itu? Apa ayah sudah tidak sayang lagi sama bunda? Apa ayah sudah punya keluarga baru?”
Pertanyaan ini bertubi-tubi membombardir perasaanku. Tak menyangka Si Kecil dapat membaca situasi ini. Bahkan ucapannya lebih dewasa dari usianya yang baru menginjak sepuluh tahun.
Aku mendekap anak semata wayangku dengan erat. Tak akan aku biarkan Si Kecil melakukan apa yang ada dalam imajinasinya. Aku harus tegar demi anakku. Aku yakin pernikahan yang sudah di ujung tanduk ini masih bisa aku selamatkan. Yah, aku harus memperjuangkannya. Ku bangun kembali kepercayaanku padamu. Meyakinkan diriku bahwa kau akan kembali.
Saat kami menangis bersama pintu rumah diketuk seseorang. Aku segera menyeka air mataku dan membukakan pintu. Betapa kagetnya saat kutahu yang datang adalah kau, suamiku. Dengan peluh keringat yang membasahi wajah tampanmu kusambut engkau dengan pelukan rindu. Yah, aku sangat merindukan engkau. Bagaimanapun sakit yang aku hadapi saat ini tetap saja nuraniku masih mengharapkan kau pulang. Karena aku tak mungkin mengingkari hati terdalam yang terlalu mencintaimu.
****
Mari melangkah ke depan untuk menggapai harapan. Beriringan dan saling bergandeng tangan. Lebih erat! Kita bangun kembali benteng yang lebih kokoh dari sebelumnya. Tak usah menengok ke belakang lagi, sudah cukup lelah kita melangkah. Jadikan semua pembelajaran agar menjadi hamba yang lebih baik.
Aku sambut kemenangan bahagia. Kemenangan seorang istri macam aku yang tidak mengerti apa-apa selain mencintai suami dengan segenap hati.
Pagi itu senyumku indah seindah matahari yang baru merekah. Kecupan hangat darimu menyapaku lebih awal dari matahari. Sehabis sholat subuh berjamaah kuberitakan padamu tentang kehamilanku yang memasuki dua minggu. Si Kecil bahagia sekali karena akan mendapatkan adik. Ini adalah kejutan bahagia yang berlipat-lipat. Hadiah dari Allah karena kita sudah melewati cobaan dariNya. InsyaAllah banyak hikmah yang kita peroleh.
Akan kujaga keluarga kecilku ini, tapi tentu saja dengan bantuan Allah. Yah, aku Siti Masriah, suamiku Muhammad Prasetyo, Si Kecil Muhammad Fajar Al-Maliki dan cabang bayi yang masih dalam kandung, kami adalah keluarga kecil bahagia saat ini. Berjanji akan selalu berjuang di jalan Allah. Lebih bersabar dan ikhlas menghadapi segala pemberian dariNya. Baik atau buruk sekali pun, InsyaAllah!
Kabar berita tentang keadaan Anita, wanita yang pernah dinikah siri oleh suamiku sudah kami terima lewat e-mail sebulan yang lalu. Dia menyesali perbuatannya karena telah menipu suamiku dengan menuduh suamiku mengahamilinya. Menurut pengakuannya dia adalah wanita nakal yang menjajakan diri di diskotik. Suamiku hanya korban.
Suatu malam sewaktu suamiku pulang dan aku memeluknya, dia berlutut meminta maaf lalu menjelaskan semuanya. Ternyata kenyataan yang sebenarnya tidak seperti yang aku bayangkan selama ini. Tak ada maksud sedikit pun suamiku akan berpoligami. Dia hanya mengambil sebuah keputusan salah, saat dirinya disudutkan pada permasalahan wanita. Ini kelemahannya. Seandainya dia jujur padaku dari awal mungkin aku tidak akan su’udzon. Ah, penyesalan memang selalu datang terakhir.
Demi membuktikan cintanya padaku malam itu juga dia menceraikan Anita dan lebih memilih aku.
“Demi Allah, bunda yang ayah pilih. Bunda satu-satu istri yang sholehah, penurut, penyabar dan taat. Apalagi yang kurang dari bunda. Maafkan ayah karena telah melukai hati bunda yang tulus. Maaf…”
Kulihat matanya yang berkaca-kaca itu retak dan meneteskan butiran hangat di pangkuanku. Sebenarnya aku pun sama, rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya. Hingga lepas segala beban yang menggerogoti jiwaku. Aku rapuh!
“Lantas bagaimana dengan Anita? Ada darah dagingmu disana yang juga butuh dirimu?” kataku menahan tangis.
“Sebelum pulang kesini ayah sudah mentalaknya. Besok ayah akan urus semua surat perceraian dengannya. Ayah dijebak, bun. Baru tiga bulan ayah mengenalnya saat dia mengatakan kalau dia hamil oleh ayah. Kemungkinan besar itu bukan darah dagingku.”
“Jadi ayah pernah tidur dengannya?”
Beberapa saat kau tak menjawab. Hanya sibuk menundukkan kepala. Tak sanggupkah engkau menengadah sejenak saja menatap mataku? Lalu kau jawab jujur. Apalagi lagi yang kau tutupi dari aku?
“Maaf… saat itu ayah khilaf!”
Ah, perih sekali hatiku saat kudengar kalimat itu keluar dari mulutmu. Tak kuasa aku membayangkan suami yang aku cintai bersetubuh dengan wanita lain. Dimana perasaanmu padaku saat kau melakukan itu semua?
Tapi ya sudahlah semua itu sudah terjadi. Tak mungkin bisa kita mengulangnya dan kembali mengubah cerita lama yang tak diinginkan. Saat ini kau telah kembali jadi milikku seutuhnya. Jangan lagi menyakiti hatiku. Hanya sekali saja dan jangan terulang aku melihatmu menangis, suamiku! Cukup penyesalan itu jadi pembelajaran bagimu. Aku mencintaimu lebih dari separuh nyawaku. Tak akan pernah berhenti aku mengabdi dan berbakti padamu. Meski ada bulan dan bertaburan bintang saat malam, aku tetaplah matahari untukmu. Tetap setia menyinari meski badai datang menghadang. Cintaku padamu tak akan pernah berubah dari segala musim dan waktu.
SAYAPKU PATAH KETIKA AKAN TERBANG
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsPujangga adalah seekor burung dari suasana hati yang terasing. Ia turun dari tempatnya yang tinggi menyambangi kita. Sekedar untuk bernyanyi. Apabila kita tidak menghargainya maka ia akan mengepakkan sayap-sayapnya, terbang kembali ke tempat tinggalnya semula.
Alvira menggenggam erat potongan kertas usang yang terselip di buku diarynya. Ia mengingat-ingat kapan ia menulis kalimat serumit itu?
BLUUUKK….
Seorang lelaki tidak sengaja menyenggol ujung lemari sehingga menjatuhkan buku-buku. Semua penghuni perpustakaan serentak menatap ke arahnya. Sebagian dari mereka kompak menyimpan kuat-kuat jari telunjuknya di depan bibir moyong lima senti.
“Sssttt……”
“Maaf!” lelaki itu berkata gugup dan membereskan kembali buku-buku yang berserakan di lantai.
Alvira yang melihat kejadian itu langsung meninggalkan perpustakaan dengan perasaan yang bercampur aduk. Marah, gusar dan jengkel! Moodnya untuk mendapatkan ketenangan terusik.
“Sejak kapan kamu suka ke perpustakaan?” tanya Alvira pada Rubi saat mereka beradu pandang di dalam kelas.
Rubi tak menjawab. Rubi hanya menatap Alvira lekat lalu mengedip santai. Sungguh, Alvira sangat membenci tatapan itu. Tatapan yang membuat seluruh daya dan kekuatan untuk bertahan dihadapannya musnah! Seandainya tatapan itu hanya untuk Alvira, mungkin ia akan menikmatinya. Yeah, sebenarnya Alvira menyukai Rubi. Segala apa yang ada pada Rubi! Tatapannya, senyumannya, bahkan kehadirannya sebagai siswa baru di sekolahnya. Namun ia terlalu cemburu melihat kedekatan Rubi dengan Sarah. Siswi populer yang berhak mendapatkan apapun yang dia inginkan. Termasuk lelaki yang disukainya. Sebulan yang lalu mereka langsung terpilih menjadi ‘best of couple’ dimalam innagurasi.
“Berhenti menatap aku seperti itu!” pinta Alvira sedikit keras.
“Memangnya apa yang kau lihat dimataku?”
Permainan cinta. Kau ikat hatiku dengan tatapanmu. Sejenak kau buat aku asing dengan perasaanku sendiri. Namun kamu tidak bisa tegas. Sebenarnya siapa yang kamu inginkan? Aku atau Sarah? Alvira berkecamuk dengan pikirannya. Tapi kata-kata itu tak mungkin ia ucapkan dengan jujur pada Rubi. Begitu kaku dan munafik.
“Apapun maksud dari tatapanmu itu jangan harap kamu bisa mewujudkannya!” ancamnya.
“Sejak dulu kamu tau apa yang aku inginkan. Belum cukupkah puisi-puisi yang kutulis untukmu sebagai ungkapan perasaanku? Lalu pengorbananku pindah dari Bandung ke Jakarta agar selalu bisa dekat denganmu. Kenapa kamu begitu bodoh tidak bisa mengartikan itu semua?!”
“Aku sudah memberimu kesempatan. Tapi kamu sia-siakan seolah aku tidak berarti buatmu. Kamu terima Sarah padahal ada aku yang kau sebut sebagai kekasihmu. Kamu tau apa rasanya dikhianati? Sakit!” ucap Alvira dengan sura parau karena menahan tangis. “Kehadiranmu saat ini bagiku sama halnya dengan angka NOL. Tidak berarti sama sekali.”
Rubi geram. Ia tak menyangka Alvira akan mengatakan itu padanya. Sementara Alvira berusaha tetap tegar dengan perasaannya. Alvira merasakan sesak didadanya. Ia sembunyikan mata yang berkaca itu dari Rubi. Setelah merasa cukup tak ada lagi yang ingin dia ucapkan, Alvira beranjak pergi.
Namun Rubi menarik tangan Alvira kasar. Alvira tak dapat mengelak. Tubuhnya terhempas begitu saja dihadapan Rubi membuat pandangan mereka saling bertabrakan. Tatapan Rubi berubah menjadi rasa marah yang berapi-api.
Alvira menyadari itu. Ia membuang pandangannya dan di tempat pembuangan itulah ia melihat seorang wanita berdiri diambang pintu.
“Sarah?”
Rubi mengalihkan pandangannya ke arah suara yang dituju Alvira. Lalu ia mendekati Sarah dan mengajaknya ke kantin. Selalu seperti itu yang terjadi. Rubi selalu menganggap enteng perasaannya. Seolah-olah semua ini hanyalah permainan. Itu yang membuat Alvira benci setengah mati.
Bel rumah Alvira berbunyi.
“Alviraaaa……. i’m coming!!!”
Suara khas Sarah melengking mengalahkan alarm di kamarnya. Alvira segera merapikan seragamnya dan segera keluar dari kamar. Ia tak akan membiarkan sahabatnya itu merajalela dirumahnya. Rutinitas Sarah setiap hari sudah menjadi cacatan kelam yang merusak mood Alvira untuk menjalani hari-harinya.
“Hai putri tidur … mendung sekali hari ini?!” sapa Sarah yang yang tiba-tiba nongol diambang pintu.
“Masih ngantuk….”
“Hari ini aku ada janji sama Rubi sarapan di kantin dan aku mau kamu ikut.” Kata Sarah sambil menarik tangan Alvira.
Di perjalanan menuju sekolah Alvira lebih banyak diam mendengarkan celotehan Sarah yang terus menceritakan kedekatannya dengan Rubi. Dia sangat tahu bagaimana perasaan Sarah yang begitu mengagumi Rubi. Baginya Rubi sosok lelaki yang sempurna. Namun Sarah tidak akan pernah tahu rasa sakit yang dideritanya. Sejak pertama kedatangan Rubi di sekolah Sarah sudah mengincarnya. Dengan memanfaatkan kepopulerannya sebagai ketua OSIS Sarah menggaet Rubi menjadikannya kapten basket sekaligus sebagai kekasihnya.
Tiba-tiba ada satu kalimat yang membuat Alvira tertegun.
“Maksudnya apa?”
“Kemarin Rubi menceritakan tentang pacarnya yang dari Bandung. Ternyata Rubi pindah ke Jakarta karena ingin dekat dengannya. Rubi sangat mencintai dia dari dulu sampai sekarang. “ Sarah mengulang perkataannya seraya berkonsentrasi menyetir.
“Awalnya aku risih mendengar itu semua. Rasanya aku ingin membunuh perempuan itu. Tapi, setelah aku tahu kalau perempuan itu KAMU… “ perkataan Sarah tertahan.
“Hah?!” Alvira gugup.
Tiba-tiba Sarah mengerem mobilnya dan memarkirnya di tepi jalan. Sarah memperbaiki posisi duduknya dan memasang wajah serius. Alvira merasa takut terjadi apa-apa pada dirinya. Ia teringat kisah di film-film tentang seorang sahabat yang membunuh sahabatnya sendiri hanya gara-gara masalah cinta.
“Ra, aku sangat mencintai Rubi dan kamu tahu itu. Apapun masa lalunya denganmu jangan pernah diungkit-ungkit lagi. Aku tidak perduli sampai saat ini kalian masih saling mencintai atau tidak. Aku tak ingin kehilangan Rubi…”
“…..” tak ada jawaban dari Alvira.
“Aku mau kamu melupakan Rubi!”
Alvira menunduk lesu. Dia tidak tahu bagaimana cara mengartikan kalimat Sarah. Apakah sebagai ancaman atau justru permintaan seorang sahabat? Tetapi dia merasakan hatinya remuk redam. Tak ada yang mengerti hatinya. Begitupun sahabatnya sendiri.
Rubi masih terus memandangi Alvira yang sedang duduk dibawah pohon rindang taman sekolah. Ia masih ragu untuk mendekati Alvira yang setengah mati membencinya. Tapi ia juga tak bisa menolak hasrat hatinya yang ingin selalu dekat dengan seseorang yang dicintainya.
“Kamu tidak bosan memandangi dia terus?!”
“Sarah….?” Ekspresi Rubi berubah menjadi kaku.
“Aku memberimu ijin satu jam untuk bersama dia. Sebelum dia benar-benar pergi….”
“Maksudnya?!”
“Alvira mengikuti program student exchange dan dia terpilih. Minggu depan dia berangkat ke London…!”
Rubi merasakan getaran yang hebat di dadanya setelah mendengar kabar itu. Dia benar-benar tidak sanggup untuk kehilangan Alvira yang kesekian kalinya. Kali ini dia sadar betapa menyesalnya dia karena sudah menyia-nyiakan wanita yang dicintainya.
Rubi berlari mendekati Alvira dan tersungkur di hadapannya.
“Maafkan aku?!”
“Aku sudah memaafkanmu dari dulu … kamu kenapa?” tanya Alvira yang heran melihat Rubi memelas.
“Apa benar kamu mau pergi?”
“Iya.”
“Please.... jangan tinggalin aku. Sampai saat ini aku masih sayang sama kamu! Aku tau kamu juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.”
“Maaf Rubi … tapi perasaanku perlahan memudar! Kamu sudah memilih Sarah, sahabatku. Dan aku memutuskan untuk mengalah.”
“Status kamu masih pacarku, Ra! Sampai kapanpun itu tak akan pernah berubah. Aku menyesal telah menyia-nyiakanmu. Aku akan tinggalin Sarah dan kembali sama kamu. Kita rangkai mimpi-mimpi kita yang dulu. Dan aku akan penuhi janji-janjiku yang sempat tertunda.”
“Sudah terlambat…..”
“Ra, aku mohon! Aku ingin seperti dulu lagi. Terbang bersama seperti merpati yang mengalahkan indahnya bintang-bintang. Itu yang selalu kamu ucapkan padaku.”
Alvira menarik nafas berat. Ia memunguti serpihan hatinya yang luluh lantak. Mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya agar tetap terlihat tegar dihadapan Rubi. Ia terlanjur menyepakati perjanjiannya dengan Sarah yang tetap ingin memiliki Rubi seutuhnya.
“Maaf…. Aku sudah tidak bisa terbang lagi bersamamu.”
Alvira meninggalkan Rubi yang masih berlutut di tanah. Dia sudah tak mau lagi menggadaikan perasaannya untuk sebuah permainan cinta. Dia merasa yakin akan tetap tegar dengan keputusannya meski hatinya merasakan sakit yang luar biasa.
Rubi tak bisa lagi mencegahnya. Kali ini dia benar-benar kehilangan Alvira. Perjalanan cintanya berakhir dengan pilu.
SEMINGGU TERAKHIRMU
Edit Posted by Audrey Tatia with No comments“Matanya tajam membuat hatiku tertusuk, namun dia tak sadar dan tak rasakan itu!” kesalku dalam hati.
Sesaat setelah bel berbunyi teman-teman meninggalkanku. Benar-benar hari yang menyebalkan. Semua orang tak peduli padaku seakan aku tak ada di dunia ini.
Aku berjalan sendirian di lorong sekolah sambil merenungi apa yang telah aku lakukan. Tugas dari buku-buku tebal menambahi berat beban. Aku terus menunduk dan berjalan perlahan. Tak kusadari bahwa didepanku ada orang yang tergesa-gesa dan tidak sengaja menabrakku hingga menjatuhkan buku-buku tebal dan kertas-kertas tugas di pangkuanku.
Diapun kaget.
“Oh sorry… aku buru-buru! Maaf yaa…” ucapnya sambil membereskan buku-buku yang berserakan di lantai.
Aku yang tak percaya akhirnya aku bisa bertemu dia sedekat ini. Terpaku di tempatku, membisu dan tak berbuat apa-apa. Lututku terasa lemas. Duniapun seakan berhenti berputar.
Lalu dia memberikan buku-buku itu dan segera berlalu dari hadapanku setelah ia tersenyum manis padaku.
****
Keesokan harinya di kelas aku melamun dan tak sadar teman-temanku sudah datang.
“Sya… sorry ya, kemarin aku buru-buru ninggalin kamu di kelas soalnya aku udah terlambat les!”
“Iya Sya, aku juga minta maaf ya soalnya kemarin aku ada urusan keluarga.”
Delia dan Risma saling berpandangan. Mereka heran melihat aku yang lagi bengong dan tak menggubris omongan mereka.
“Marsya…..?? haloww…” Delia mengguncang tubuhku.
“Eh, kalian udah datang.” Kataku yang baru sadar dari lamunan.
“Sya, kamu marah ya gara-gara kemaren kita tinggalin kamu di kelas?”
“Enggak kok malahan aku berterima kasih …..”
“Lho?!”
“Justru kalau kalian enggak ninggalin aku, aku enggak bakalan ketemu sama…..”
“Sama siapa hayoo??”
“Ada deh! Want to know aja..” godaku.
“Ya Marsya kok gitu sih?!”
Aku membiarkan mereka penasaran dengan ceritaku. Aku hanya ingin menikmati kebahagiaanku sendiri saja tanpa ingin ada yang mengganggunya. Biarkan saja cerita cintaku mengalir dengan sendiri sampai aku menemukan ending kebahagiaan seperti di dongeng-dongeng.
Pada jam istirahat aku melewati lorong sekolah itu kembali, mengenang kejadian kemarin. Ku terus melamun selama perjalanan ke kantin. Delia dan Risma berbisik di belakangku.
“Del, kayaknya Marsya beneran ngambek deh sama kita gara-gara kemaren.”
“Ihh, itu kan salah kamu kenapa enggak bilang dulu sama dia kalau kita mau pulang duluan…”
Di tengah pertengkaran Delia dan Risma, tiba-tiba aku dibuat terpana oleh seorang cowok yang berjalan ke arahku. Andre, kakak kelasku yang aku taksir sejak awal masuk sekolah melintas tepat di depan mataku. Aku terpaku dan membeku. Delia dan Risma yang sedang asyik berjalan di belakangku, tiba-tiba menabrakku hingga terjatuh.
“Ya ampun Marsya, kenapa enggak bilang kalau mau berhenti?” gerutu Risma.
“Kamu kenapa jadi aneh begini?”
“Aku enggak apa-apa kok. kalian berdua tenang aja.”
Sejak saat itu aku seringkali melamun dimanapun aku berada karena bayangan Andre selalu ada di dalam pikiranku yang membuat aku tak sanggup lagi memandang kehidupan nyata. Keadaan ini membuat kedua sahabatku khawatir.
Aku tak berani untuk berceritakan pada mereka kalau aku jatuh cinta pada Andre. Aku sadar aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Pastilah aku akan kalah saing dengan cewek-cewek cantik yang berusaha mendekati Andre. Aku melihat siapa diriku di depan cermin dan aku sadar semua itu. Aku tak mungkin bisa memiliki Andre. Jika sudah begitu tak ada yang dapat aku perbuat selain menangis. Tentu saja hal itu membuat teman-temanku khawatir dan cemas.
****
Di tengah teriknya matahari, setelah aku turun dari angkot tiba-tiba ada sebuah mobil melaju dengan kencang menabrak motor dan mobil itu pun segera kabur. Aku yang saat itu menyaksikan kejadian itu menjerit histeris dan segera berlari ke arah pengendara motor yang terpental sejauh kurang lebih lima meter dari jalan raya. Jalanan sepi. Aku bingung harus minta bantuan pada siapa. Ketika aku mendekati pengendara motor itu terlihat dia masih sadar dan sesekali menggerakkan tubuhnya. Dia berusaha melepas helm dengan sekuat tenaga. Beberapa bagian tubuhnya terluka dan berlumuran darah.
Aku mencoba membantunya melepas helm. Lalu aku mengeluarkan tissue untuk mengelap darah yang melumuri wajahnya. Aku menyelidiki pemilik wajah yang samar-samar aku kenali.
“Andre?!!”
Aku tak percaya jika yang kulihat adalah benar-benar Andre, kakak kelasku yang aku taksir. Kepalanya terluka karena benturan keras. Lengannya terkulai. Sesekali dia mengaduh karena menahan sakit sampai akhirnya dia pingsan. Tak sadar butiran hangat jatuh dari mataku. Aku tak sanggup menyaksikan kejadian ini.
20 menit kemudian aku sudah di rumah sakit. Aku duduk di kursi ruang tunggu dengan pakaian seragam yang berlumuran darah dan air mata yang mengalir. Andre ada di ruang UGD. Aku menunggu dan terus menunggu. Kemudian Delia dan Risma datang setelah mengetahui kejadian itu. Seketika tangisku meledak.
“Aku takut kehilangan Andre…” kataku diantara isak tangis.
“Kita ngerti banget apa yang kamu rasakan sekarang, Sya. Sabar ya…”
“Iya Sya, mending kita banyak berdoa buat kesembuhan Andre.”
Aku tetap tak bisa membendung air mataku. Rasa takut itu terus menyelimuti perasaanku.
****
Sudah tiga hari Andre koma. Dia mengalami cidera hebat di bagian perut, tangan dan kepala. Entah berapa puluh jahitan yang dokter berikan.
Selama Andre koma aku selalu ada menemaninya, mengajaknya bicara meski dia tak memberi respon. Aku hanya punya harapan dia bisa sembuh kembali. Aku berjanji tidak akan pernah mengganggu hidupnya dengan perasaan konyolku. Biarlah aku yang memendamnya sendirian saja.
Ini hari keempat Andre di rawat di rumah sakit. Seperti biasa aku menemaninya semalaman suntuk. Tidur lelap disampingnya.
“Marsya….”
Malam itu aku terjaga saat aku mendengar seseorang memanggil namaku dengan lembut. Aku membuka mata. Namun saat aku bangun aku benar-benar terkejut melihat Andre sedang memandangku lekat. Dia sudah sadar dari koma. Aku ingin berteriak dan melompat tapi aku urungkan niatku karena itu tak mungkin aku lakukan di rumah sakit.
Meskipun wajah Andre masih pucat tapi senyum manisnya menghapus semuanya. Seolah tak pernah ada rasa sakit yang pernah ia rasakan. Dan tatapannya masih sama seperti dulu, lekat dan tajam menusuk ulu hatiku.
“Hei, kok bengong?”
“Kamu tahu namaku?”
“Iya, kamu Marsya adik kelasku di SMA Tunas Bangsa kan?”
“Ehm…” aku senyum terpaksa. Yah, sedikit senang karena akhirnya Andre tahu namaku meski hanya dianggap sebagai adik kelas saja itu lebih dari cukup bagiku.
“Terima kasih karena kamu mau menolongku dan menjagaku. Maaf sudah merepotkan!”
“Oh iya, enggak apa-apa kok. Siapapun yang melihat kecelakaan seperti itu pasti akan melakukan hal sama. Bukan hanya aku.”
“Kamu baik, cantik lagi. Kenapa ya aku baru menyadarinya?”
Ucapan Andre membuat mimik wajahku berubah menjadi semu merah. Kamu kemana aja baru menyadari itu semua? Selama ini ada aku yang mengagumimu, bahkan setiap hari menguntitmu di sekolah. Huft, mungkin sudah takdirnya aku bisa dekat dengan Andre dengan cara seperti ini. Tidak romantis!
Cukup lama kami mengobrol dan tak sadar banyak kesamaan diantara kami. Hobi membaca, tidak suka keramain, selalu jenuh dengan keadaan yang tidak pernah berubah dan terkesan monoton. Tidak hanya itu, makanan dan minuman favorit pun hampir sama. Bahkan alergi pada kucing juga sama.
Selama Andre di rumah sakit entah kenapa aku selalu ingin menjenguknya. Bersamanya aku seperti menemukan duniaku yang hilang. Sesekali Delia dan Risma juga menemaniku ke rumah sakit. Kita bercanda bersama layaknya sahabat yang akrab. Aku sangat senang. Pokoknya tidak ada kebahagiaan yang bisa menggantikan kebahagiaanku saat itu yang berada di samping Andre. Meskipun aku masih ragu untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Andre. Ah, aku tak ingin merusak moment bahagia ini.
Andre baru saja diperiksa oleh dokter saat aku datang. Wajahnya pucat. Entah apa yang terjadi. Tidak ada yang memberitahuku perihal keadaan Andre yang sebenarnya. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk.
“Marsya…!”
“Iya Dok, Ada apa?”
“Bisa ikut saya sebentar?!”
Aku mengangguk dan mengekor Dokter Faris keluar dari ruangan tempat Andre di rawat.
“Jaga pacarmu baik-baik ya.”
“Pacar? Maksud dokter?
“Andre itu pacarmu kan? Tidak mungkin kamu setiap hari menjenguknya kalau bukan karena kalian pacaran.”
“Eeng…”
“Keadaan Andre semakin kritis. Aku harap Tuhan tak mengambil mukjizatNya dari Andre.” Potong dokter Faris membuat aku terhenyak.
“Maksud dokter apa?”
Dokter Faris menghela nafas panjang sebelum ia meneruskan ucapannya.
“Jagalah Andre. Berikan kenangan terindah disisa waktunya.”
Aku merasa aneh, tapi tanpa diminta pun aku akan selalu membuatnya tersenyum. Namun ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.
Sepulangku dari toilet aku tak menemukan Andre di ruangannya. Andre masuk UGD lagi. Lama sekali dia disana semakin menambah kekhawatiranku. Tiba-tiba Dokter Faris keluar dari ruangan itu dengan wajah suram dan aku tahu artinya.
Dia berkata, “Tabahlah! Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.”
Hatiku hancur lebur bagai abu. Pupus sirna harapanku untuk selalu bersama Andre. Aku memang tak bisa memilikinya. Benar-benar tidak bisa. Aku menyesal karena tak ada disaat detik-detik terakhirnya. Mengapa kebahagiaan ini harus berakhir seperti ini? mengapa secepat itu kau pergi?
Usai pemakaman Andre, aku tak langsung pulang. Delia dan Risma menemaniku sebentar dan kemudian pergi meninggalkanku. Saat itulah aku menangis disana.
“Aku tahu seminggu terakhir itu adalah waktu singkat untuk mengenalmu lebih dekat. Demi mencoba memberikan kenangan manis untukku, kamu abaikan rasa sakit yang kamu derita bahkan kamu ingin terlihat kuat dihadapanku. Terima kasih untuk seminggu terakhir yang kau luangkan untukku. Maaf, aku tak sempat mengatakan bahwa sangat mencintaimu. Aku harap kamu dapat mengerti hatiku. Selamat jalan! Semoga kau dapatkan tempat terindah bersama Tuhan. Meskipun perih aku akan coba hadapi kenyataan pahit ini.”
~Filosofi Hening~
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsHey Bung!
Anjing itu trlalu keras menyalak
sdang org yg lain menabuh genderang...
Bgaimana Kami mau mndengar pesan yg dsampaikan dlm keadaan telinga tertutup??
Inikah yang disebut GALAU?
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsSaya tau
Setiap tarikan nafas itu sangat berarti....
Setiap detakan jantung itu amat bermakna...
Tapi tanpa ada KAMU itu HAMPA !!!
Mungkin rasa itu aneh.
Yang menggetar dari dada menuju ingatan!
Sakit Jika dirasa....
Siksa bila tetap bertahan.
Rasa yang aku suka.
Itulah Rindu .....
Hahaha *abaikan :D
Secangkir Lamunan di Pagi Hari
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsAku mengingat banyak hal. Mengingat banyak kenangan. Teringat banyak orang. Yang intinya, ini RINDU yang mengusik...
Teringat 1th yg lalu, 2th, 3th.... 20th yang lalu. Bukan.... Bukan karena ini tahun baru. Hanya saja pagi ini secangkir teh maniss hangat masuk ke mulut turun ke tenggorokan sampai ke perut, hangatnya menjalar memenuhi setiap sela-sela kecil di dalam tubuh. Ada yang bergetar di dada. Ada yang menggelitik di ingatan. Kadang membuat seutas senyum kecil dibibir. Terlebih mengingat hal lucu... Ingin tertawa terbahak. Tapi nyatanya cerita pahit lebih menyempitkan ingatan. Dan nakalnya mata ini tak mampu menyembunyikan rasa yang menyesak di dada. Tak tahu malu air mata pun menetes perlahan lahan...
Rasa ini menyiksa. Sejauh apapun aku menghindar dan menjauh tapi pintarnya rindu selalu tau jalan menuju ingatan....
Memang hidup terus berjalan dan harusnya memikirkan masa depan bukan mengingat masa lalu. Tapi setiap jengkal kenangan dalam hidupku tak dapat aku lupakan!!!
~Pagi di teras rumah.... Aku Rindu kalian semua yang pernah hadir dan mengisi cerita hidupku.
*teh manisnya udah habis...Galaunya pun udahan :-D*
Senja di atas tower air
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsKita temukan suasana berbeda saat itu, Kawan! Ada dunia kecil yang kita ciptakan sendiri. Tangga kayu itu kita jadikan pijakan untuk menyambanginya.
Awalnya memang gila dan kurang kerjaan. Tapi lama-lama jadi rutinitas yang dirindukan. Setiap senja kita berlomba siapa yang lebih dulu sampai di tempat indah itu. Mengabaikan teriakan si Ibu Kost yang khawatir (entah risih) melihat 3 Gadis memanjat tangga dan nongkrong di atas tower air. Disusul seorang cowok, semakin berdesak-desakkan lah kita... :D
Ada keindahan disana. Memandang takjub karya Tuhan. Kita lihat luasnya jagat raya. Indahnya langit senja yang menguning. Menyaksikan matahari yang hendak pamit pulang ke peraduannya. Atau sekedar menikmati semilir angin yang mengeringkan keringat kita setelah lelah seharian bekerja. Subhanallah, kita bertafakur disana.
Dan disela ketakjuban itu kita berbagi cerita. Ada banyak kisah dalam hidup kita masing-masing sampai akhirnya kita terdampar di Kost mungil itu.
Cerita-cerita kalian masih terbungkus rapi dibenakku. Doakan aku tetap mengingatnya sampai suatu hari nanti jika kalian ada waktu kita bertemu habiskan senja kita diatas tower air itu lagi. Kita bahas lagi cerita itu.
~Menunggu Senja di hari Senin, 2 Januari 2012~
Ika, Mpit, Arif ..... Naik tower air lagi yuk \(•ˆ⌣ˆ•)/
Mentari di Awal Januari
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsSunting
Mentari di Awal Januari
oleh Audrey Tatia pada 3 Januari 2012 pukul 12:34 ·
Lihat di ufuk timur dia bangun dari peraduannya bergegas mengemban tugas dari Sang Penguasa Alam. Surya
bersinar menyingkap awan mendung yang mengahalangi jalannya menyebarkan cahaya. Menerobos sela-sela kecil, mengusir setiap kegelapan sisa malam.
Sinar itu adalah harapan. Sedang kegelapan adalah tembok penghalangnya. Aku ingin menjadi mentari di pagi hari, yang setiap akan bersinar ia punya semangat.
Aku menyelami harapan-harapan yang selama ini aku rangkai dalam benakku. Harapan ini harus menjadi nyata... Aku harus mewujudkannya, membuktikan pada dunia bahwa aku bukanlah ilusi!!! Aku harus keluar dari jeratan kepompong ini dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik yang terbang sesuka hati menghinggapi bunga-bunga.
Aku akan buktikan pada mereka yang tertawa saat ini karena melihatku terpuruk, terjatuh dan menganggapku gila karena impian bodoh ini akan begitu terperangarah dan suatu saat mereka tersenyum dan memberiku semangat !
*Pagi hari saat membuka jendela kamar~ Senyum menyambutmu ^_^
DAMN!!!!!!
Edit Posted by Audrey Tatia with No commentsSebentar saja kuingat ttg kau,
Maka bukanlah senyum yang timbul,
Bukan lagi kagum yang kusanjung...
Tapi air mata itu sendiri yang memberi arti....
Cukup puas dengan timbal balik yang kurasa,
Tak pernah kuinginkan mati hanya karna keputusasaan ini!!!
Bila itu membuatmu tersenyum...
Selamat kau buat hatiku begini,,,
Tak akan ada lagi harapan yang buatku gila...
Cukup sudah kukagumi kau melebihi manusia sempurna!
Andai tidak menyimpulkannya dari satu sisi negatif akan lebih baik menggunakan logika saja untuk memahaminya,,,, karna ternyata kau tidak bisa gunakan hatimu untuk menyadari semuanya!!!
Ku anggap ini sial ku saja pernah mengenal seseorang yang dengan mudah memalingkan wajah setelah apa yg kau terima tanpa sadar!!
Langganan:
Postingan (Atom)