Cerpen ini ditulis untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen pertengahan tahun 2015. Gak menang, cuma masuk nominator aja... ya Alhamdulillah lumayan. Niatnya berusaha untuk selalu produktif urusan bagus atau tidaknya tergantung selera juri :D
Sejak tahun 1918 mereka tak
makan nasi, bisa tetap hidup.Teu
nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa
nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.1Alasan
itulah yang membawa langkahku jauh menyusuri sejarah Kampung Adat Cireundeu.
Wilujeung
Sumping di kampung Cireundeu2. Kira-kira itu saja kalimat yang bisa kubaca dalam
tulisan Hanacaraka yang terletak di mulut desa. Hawa alam yang masih perawan memanggilku
dengan mesra. Membuat gairahku bangkit segera.
Kampung Cireundeu terletak di lembah
Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Daerah ini dulunya lebih
dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah. Namun, seolah ingin
mengubur dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari
2005, kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, aku dimanjakan dengan
pemandangan kebun singkong yang terbentang luas.
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan
tidak memakan nasi melainkan singkong. Jika orang Cireundeu tidak mau terkena
bencana maka pantang makan nasi.Meskipun demikian, masyarakat Cireundeu
juga menghargai padi dengan memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi). Hal itu dilakukan
dengan menggantungkan ikatan padi beserta tangkainnya di ruang depan rumah.
Benar saja, ketika aku sampai di sebuah rumah warga,
aku dijamu dengan makanan dan minuman yang terbuat dari singkong. Mereka memanfaatkan
singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah
menjadi rasi (beras singkong), rangginang, opak, cimpring, peyeum atau
tape,comro, misro, dan aneka kue berbahan dasar singkong. Batangnya dapat
dimanfaatkan menjadi bibit. Daunnya dapat dijadikan lalapan atau disayur juga
dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan
olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh, kadeudeumes3,
dan dendeng kulit singkong. Dan untuk minuman mereka menyediakan saripati
singkong yang dicampur air gula.
“Keren. Menurutku, diversifikasi makanan
pokok masyarakat Cireundeu dari beras ke singkong ini bisa menjadi inspirasi
bagi masyarakat lainnya,” ujarku pada Irez, kawan traveling-ku kala itu. “Membuka wawasan kita bahwa sumber
karbohidrat bukan hanya nasi.”
“Ini juga bisa jadi angin segar di tengah
carut-marut dan kegaulauan akibat harga beras yang semakin naik,” timpal Raka
yang masih satu kelompok denganku.
“Itu sih karena berasnya diimpor dari
Thailand dan Vietnam. Coba bangga dengan produk sendiri, bukankah Indonesia
punya lahan yang sangat luas?” Irez menanggapi.
“Sekarang lahan sawahnya sudah banyak
dibeton, Rez,” jawab Raka disertai gelak tawa.
“Baheula4,
nenek moyang kami juga sangat kesulitan menanam padi sampai-sampai cuma bisa
menanam sampeu5. Pada
tahun seribu sembilan ratus delapan belas itu masa paceklik dan kekeringan,
jadi sangat susah mencari bahan pangan,”
sambung Ceu6 Enah
yang tiba-tiba nongol dari dapur sambil membawa nampan yang berisi kue getuk.
“Pelopornya Ibu Omah Osnamah, putra Bapak Haji Ali. Beliau yang pertama kali
mengembangkan makanan pokok non beras, lalu diikuti oleh saudara-saudaranya
hingga sekarang turun-temurun. Berkat kepeloporannya itu tahun seribu sembilan
ratus enam puluh empat Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberinya gelar
‘Pahlawan Pangan’.”
Mengingat pada sejarah, aku berasumsi,
mungkin ‘ramalan’ leluhur mereka ada benarnya juga bahwa beras akan menjadi
bencana. Barangkali bencana yang dimaksud adalah kondisi Indonesia saat ini.
Leluhur mereka tak ingin melihat anak cucu mereka mengulang sejarah masa sulit,
sehingga mereka mempersiapkan singkong sebagai makanan pokok alternatif. Mereka
memegang teguh prinsip: teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga
beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.
Maksud prinsip itu agar manusia tidak ketergantungan pada satu hal saja.
“Saat orang lain galau memikirkan harga
beras yang turun naik, kayaknya masyarakat adat Cireundeu akan tetap adem
ayem,” Irez berujar sambil melahap kue getuk yang baru saja dihidangkan. “Toh
mereka gak perlu beras untuk makan.”
“Tidak akan kehabisan singkong juga,
karena kebun-kebun kami panen tanpa ada libur,”Ceu Enah kembali menambahkan.
“Ini baru Indonesia cerdas!” kata Raka
mengacungkan dua jempol.
***
Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek
moyang masyarakat adat Cireundeu membawa
perubahan pada pola pikir masyarakat, bukan hanya menyoal makanan tetapi juga
ajaran keyakinan. Masyarakat adat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda
Wiwitan -Sunda yang paling awal- dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan,
namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi
dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Secara fisik Cireundeu
memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun,
kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat.
Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang),
agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada
Tuhan dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar
tidak berubah.
Teguh menjaga tradisi tapi tetap terbuka pada budaya
lain. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti
kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah warga kampung adat memiliki cara,
ciri, dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki
artimasyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan
tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand
phone dan penerangan.
Masyarakat
adat Cireundeu memiliki 2 pantangan yang diajarkan leluhurnya. Pertama, jangan
memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang
lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain. Kedua, tidak
boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.
Sedangkan 4 hal yang
harus dilakukan, yaitu pertama, Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara
harus hati-hati dan harus pada tempat yang sesuai). Kedua, Basa kedah
dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan). Ketiga, gotong royong. Keempat, toleransi agama.
Falsafah hidup masyarakat adat Cireundeu belum banyak
berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka juga masih memegang ajaran moral
tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin
digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara
Suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa
manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup
lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah,
air, api, kayu, dan langit.
“Karena itulah
manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk
kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan,”
ujar Abah7 Emen Suryana,
sesepuh adat, saat menceritakan sejarah leluhurnya.
Aku dan kedua kawanku menemui Abah Emen Suryana atas rekomendasi Ceu Enah. Sesepuh adat yang berusia lebih dari 70 tahun ini masih
terlihat prima. Gaya bicaranya yang natural sesekali membuat aku dan Raka
mengerutkan kening, berpikir keras menerjemahkan bahasa Sunda yang
diucapkannya. Cuma Irez yang terlihat anteng menimpali obrolan beliau.
“Katanya ini kayak lebarannya orang Cirendeu ya, Bah?”
tanya Irez.
“Nya8 dulu
mah, sebelum tahun dua rebu-an setiap
kali mau upacara Suraan kita suka memakai pakaian baru. Tapi,setelah
adat ini dilembagakan kami memakai pakaian adat. Kaum laki-laki menggunakan
pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk
kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih.”
“Oh, terus apa
aja yang ada di upacara itu?” tanyaku penasaran.
“Iya, Bah.
Terus acaranya apa aja?” Raka ikut-ikutan penasaran.
“Gunungan
buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti
rempah-rempah dan singkong yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual. Selain
itu kesenian kecapi suling, ngamumule9 budaya sunda serta wuwuhan10darisesepuh
atau ketua adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.”Abah menjawabnya dengan sabar.
“Wah, asik kayaknya. Tanggal satu Sura-nya masih lama
gak, Bah?” tanya Raka bersemangat.
“Masih lama atuh,
satu tahun lagi.”
“kalau gitu tahun depan kita ke sini lagi ya, Rez?”
pinta Raka pada Irez.
“Kamu tinggal di sini aja, Ka. Bentar kok setaun
doang,” ledekku.
“Setahun di sini? Makan dan minum singkong?” Raka
memasang wajah meringis.
Aku menahan tawa. Temanku yang satu ini bule karbitan.
Ia penggemar berat sushi. Kemana-mana ia selalu membekal sushi di dalam tasnya.
Bahkan saat dihidangi dendeng kulit singkong pun ia melahapnya bersama sushi.
Dan tadi malam perbekalannya habis. Ia seperti ikan yang nyasar di daratan,
kelimpungan mencari restoran sushi di kampung adat.
***
Agendaku hari ketiga di kampung adat Cireundeu
menjelajah lokasi kampung adat. Ini juga hari terakhir kunjunganku. Sekalian
jalan-jalan aku juga akan mencari buah tangan yang khas dari kampung adat ini.
Matahari baru naik sepenggalahan ketika aku keluar
rumah dan merasakan atmosfir yang berbeda. Daerah yang lugu jauh dari
hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan instan. Pemandangan asri dari
pepohonan yang rindang dari kaki sampai puncak gunung. Embun yang perlahan
menguap. Semilir angin yang menyejukkan. Ah, sungguh nikmat Tuhan yang tiada
kira.
“Sejak zaman dulu kakoncara11
konsep kampung adat Cireundeu terbagi menjadi tiga bagian: leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung baladahan,” ujar Kang12
Yana, pemuda adat, sambil menunjukkan
lokasi penting di kampung adat Cirendeu. “LeuweungLarangan -hutan
terlarang- yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan
sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya. Leuweung
Tutupan -hutan reboisasi- yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan
tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali
dengan pohon yang baru. Leuweung Baladahan -hutan pertanian- yaitu hutan
yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya
ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkong, dan umbi-umbian.”
“Patut dicontoh nih, hidup damai berdampingan dengan
alam,” Raka berkomentar.
“Alam tak akan mendatangkan bencana selama kita
–manusia- tak membuat kerusakan, betul begitu kan Kang?” aku menimpalinya.
“Sepakat!” kata Kang
Yana.
“Kang, boleh tanya? Saya lihat rumah-rumah di sini
punya pintu samping yang menghadap ke timur. Itu memang ciri khas atau cuma
kebetulan aja?” tanyaku.
“Sudah ciri khasnya begitu. Itu bertujuan agar cahaya
matahari bisa masuk ke rumah.”
“Oh, unik ya.”
Kami terus berbincang sepanjang jalan menyusuri
kampung adat. Sesekali warga kampung adat yang tak sengaja berpapasan di jalan
menyapa kami dengan ramah. Saat melihat seorang bapak membawa cangkul di
pundaknya hendak pergi ke ladang itu berada dalam mesin waktu yang
mengembalikan zaman yang lugu? Kearifan budaya lokal, keramahan masyarakatnya,
sifat dan karakter yang melekat dan mendarahdaging dalam setiap diri orang
Indonesia. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah,
silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga.”
“Mayoritas masyarakat
adat Cireundeu bekerja di kebun sendiri. Masing-masing dari kita memiliki kebun
seluas tiga sampai lima petak. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya,
sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun
kebun kita selalu menghasilkan singkong,” Kang
Yana melanjutkan penjelasannya.
“Gotong royong
dan tenggang rasa, pelajaran PKn jaman
sekolah dulu tuh, bener-bener dipraktekkan ya di sini, ajib!” Raka tak
bosan menimpali penjelasan Kang Yana.
“Kata kakekku, dulu itu jarang orang kelaparan
meskipun hidup serba susah, sebab mereka pandai memanfaatkan sumber daya alam.”
kataku menambahkan.
Aku jadi
teringat lirik lagu “Kolam Susu” yang dinyanyikan Koes Plus. Setiap senja Kakek
selalu menyenyandungkannya. Mau aku tak
mau jadi hafal lagu-lagu lawas.
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Kami mengambil langkah menuju tempat penjualan
oleh-oleh yang ditunjukkan Kang Yana.
“Aku mau beli dendeng ah buat Mami. Pasti kaget kalau
tahu dendengnya dari kulit singkong,” ujar Irez bersemangat.
“Berapa harga satu bungkusnya?” tanyaku pada gadis
penjual oleh-oleh.
“Dua puluh ribu, teh?”jawabnya
terlihat malu-malu.
“Kalau aku beli sepuluh bungkus plus senyum kamu boleh
gak?” Rakaa merayu gadis yang menawarkan oleh-oleh khas Cireundeu. Gadis itu
pun tersipu dan emakin menenggelamkan wajahnya, menyembunyikan pipi yang
kemerah-merahan.
“Genit banget kamu, Ka!” Irez mencubit lengan
Raka.
Raka pun mengaduh. Tapi, tentu tak membuat ia menciut.
Ia semakin melancarkan aksi rayuan mautnya.
“Gadis desa itu terkenal dengan kecantikan naturalnya.
Terbukti hari ini aku seperti melihat bidadari sedang mematung di hadapanku.”
Aku dan Irez menepok jidat masing-masing. Tak tahan
melihat tingkah Raka.
“Kang Yana, boleh gak aku membekal rasi untuk pulang?”
“Aku juga mau!” Raka ikut-ikutan nimbrung.
“Buat apa?”
Belum sempat Kang Yana menjawab, aku dan Irez
mengalihkan pandangan pada Raka.
“Aku mau bereksperimen. Buat sushi berbahan dasar
singkong. Tahu kenapa?” Raka memainkan alisnya berharap kami penasaran.
Aku dan Irez memasang wajah datar.
“Agar aku bisa bertahan hidup di sini. Siapa tahu aku
berjodoh dengan gadis Cireundeu,” ujar Raka sambil mengerlingkang matanya ke
arah gadis desa itu.
Kami tertawa terbahak. Tak kuat rasanya melihat
kekonyolan si bule karbitan yang satu ini.
***
Menjejal memenuhi isi kepalaku. Begitulah, setelah aku
menyelesaikan perjalananku di kampung adat Cireundeu. Tak sabar ingin kuceritakan
semua yang kudapat di sini pada teman, saudara, kerabat, dan sahabat.
Keesokan harinya aku dan kedua sahabatku pamit pulang.
Mohon ijin membawa banyak inspirasi dari kampung adat Cireundeu.
Ngabuburit Sastra di Kampung Adat Cireundeu, 2-4
Ramadhan 1435 H
KETERANGAN
1. Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal
boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar
asal kuat : Tidak menanam padi asalkan punya padi, tidak
punya padi asalkan bisa menanak nasi, tidak bisa menanak nasi asal bisa makan,
tidak makan asalkan kuat.
2.
Wilujeung
Sumping di kampung Cireundeu : Selamat datang di kampung adat
3.
Kadeudeumes:
Tumis
kulit singkong
4.
Baheula: Dahulu
5.
Sampeu :
Singkong
6.
Ceu :
Panggilan untuk kakak perempuan
7.
Abah :
Panggilan untuk kakek
8.
Nya : Iya
9.
Ngamumule :
Melestarikan, menjaga
10. Wuwuhan : Nasihat
11. Kakoncara : Terkenal
12. Akang : panggilan untuk kakak laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar