Jumat, 25 Desember 2015

CERPEN - PAHLAWAN PANGAN

Edit Posted by with No comments


Cerpen ini ditulis untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen pertengahan tahun 2015. Gak menang, cuma masuk nominator aja... ya Alhamdulillah lumayan. Niatnya berusaha untuk selalu produktif urusan bagus atau tidaknya tergantung selera juri :D 
 
PAHLAWAN PANGAN
Sejak tahun 1918 mereka tak makan nasi, bisa tetap hidup.Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat.1Alasan itulah yang membawa langkahku jauh menyusuri sejarah Kampung Adat Cireundeu.
Wilujeung Sumping di kampung Cireundeu2. Kira-kira itu saja kalimat yang bisa kubaca dalam tulisan Hanacaraka yang terletak di mulut desa. Hawa alam yang masih perawan memanggilku dengan mesra. Membuat gairahku bangkit segera.
Kampung Cireundeu terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu. Daerah ini dulunya lebih dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwigajah. Namun, seolah ingin mengubur dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005,  kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, aku dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas.
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi.Meskipun demikian, masyarakat Cireundeu juga menghargai padi dengan memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi). Hal itu dilakukan dengan menggantungkan ikatan padi beserta tangkainnya di ruang depan rumah.
Benar saja, ketika aku sampai di sebuah rumah warga, aku dijamu dengan makanan dan minuman yang terbuat dari singkong. Mereka memanfaatkan singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), rangginang, opak, cimpring, peyeum atau tape,comro, misro, dan aneka kue berbahan dasar singkong. Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit. Daunnya dapat dijadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh, kadeudeumes3, dan dendeng kulit singkong. Dan untuk minuman mereka menyediakan saripati singkong yang dicampur air gula.
“Keren. Menurutku, diversifikasi makanan pokok masyarakat Cireundeu dari beras ke singkong ini bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya,” ujarku pada Irez, kawan traveling-ku kala itu. “Membuka wawasan kita bahwa sumber karbohidrat bukan hanya nasi.”
“Ini juga bisa jadi angin segar di tengah carut-marut dan kegaulauan akibat harga beras yang semakin naik,” timpal Raka yang masih satu kelompok denganku.
“Itu sih karena berasnya diimpor dari Thailand dan Vietnam. Coba bangga dengan produk sendiri, bukankah Indonesia punya lahan yang sangat luas?” Irez menanggapi.
“Sekarang lahan sawahnya sudah banyak dibeton, Rez,” jawab Raka disertai gelak tawa. 

Baheula4, nenek moyang kami juga sangat kesulitan menanam padi sampai-sampai cuma bisa menanam sampeu5. Pada tahun seribu sembilan ratus delapan belas itu masa paceklik dan kekeringan, jadi sangat susah mencari bahan pangan,”  sambung Ceu6 Enah yang tiba-tiba nongol dari dapur sambil membawa nampan yang berisi kue getuk. “Pelopornya Ibu Omah Osnamah, putra Bapak Haji Ali. Beliau yang pertama kali mengembangkan makanan pokok non beras, lalu diikuti oleh saudara-saudaranya hingga sekarang turun-temurun. Berkat kepeloporannya itu tahun seribu sembilan ratus enam puluh empat Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberinya gelar ‘Pahlawan Pangan’.”
Mengingat pada sejarah, aku berasumsi, mungkin ‘ramalan’ leluhur mereka ada benarnya juga bahwa beras akan menjadi bencana. Barangkali bencana yang dimaksud adalah kondisi Indonesia saat ini. Leluhur mereka tak ingin melihat anak cucu mereka mengulang sejarah masa sulit, sehingga mereka mempersiapkan singkong sebagai makanan pokok alternatif. Mereka memegang teguh prinsip: teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat. Maksud prinsip itu agar manusia tidak ketergantungan pada satu hal saja.
“Saat orang lain galau memikirkan harga beras yang turun naik, kayaknya masyarakat adat Cireundeu akan tetap adem ayem,” Irez berujar sambil melahap kue getuk yang baru saja dihidangkan. “Toh mereka gak perlu beras untuk makan.”
“Tidak akan kehabisan singkong juga, karena kebun-kebun kami panen tanpa ada libur,”Ceu Enah kembali menambahkan.
“Ini baru Indonesia cerdas!” kata Raka mengacungkan dua jempol.
***
Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat adat Cireundeu  membawa perubahan pada pola pikir masyarakat, bukan hanya menyoal makanan tetapi juga ajaran keyakinan. Masyarakat adat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan -Sunda yang paling awal- dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan, namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah.
Teguh menjaga tradisi tapi tetap terbuka pada budaya lain. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah warga kampung adat memiliki cara, ciri, dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki artimasyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone dan penerangan.
Masyarakat adat Cireundeu memiliki 2 pantangan yang diajarkan leluhurnya. Pertama, jangan memakan keringat orang lain, ini berarti kita tidak boleh memakan hak orang lain seperti merampas, merampok, mencuri atau menyakiti orang lain. Kedua, tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut aliran kepercayaan yang mereka peluk.
Sedangkan 4 hal yang harus dilakukan, yaitu pertama, Saur kudu dibubut (bercerita/ berbicara harus hati-hati dan harus pada tempat yang sesuai). Kedua, Basa kedah dihampelas (berbicara dengan baik dan sopan). Ketiga, gotong royong.  Keempat, toleransi agama.
Falsafah hidup masyarakat adat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka juga masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara Suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit.
 “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan,” ujar Abah7 Emen Suryana, sesepuh adat, saat menceritakan sejarah leluhurnya.
Aku dan kedua kawanku menemui Abah Emen Suryana atas rekomendasi Ceu Enah. Sesepuh adat yang berusia lebih dari 70 tahun ini masih terlihat prima. Gaya bicaranya yang natural sesekali membuat aku dan Raka mengerutkan kening, berpikir keras menerjemahkan bahasa Sunda yang diucapkannya. Cuma Irez yang terlihat anteng menimpali obrolan beliau.
“Katanya ini kayak lebarannya orang Cirendeu ya, Bah?” tanya Irez.
Nya8 dulu mah, sebelum tahun dua rebu-an setiap kali mau upacara Suraan kita suka memakai pakaian baru. Tapi,setelah adat ini dilembagakan kami memakai pakaian adat. Kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih.”
“Oh, terus apa aja yang ada di upacara itu?” tanyaku penasaran.
“Iya, Bah. Terus acaranya apa aja?” Raka ikut-ikutan penasaran.
“Gunungan buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempah dan singkong yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual. Selain itu kesenian kecapi suling, ngamumule9 budaya sunda serta wuwuhan10darisesepuh atau ketua adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.Abah menjawabnya dengan sabar. 
“Wah, asik kayaknya. Tanggal satu Sura-nya masih lama gak, Bah?” tanya Raka bersemangat.
“Masih lama atuh, satu tahun lagi.”
“kalau gitu tahun depan kita ke sini lagi ya, Rez?” pinta Raka pada Irez.
“Kamu tinggal di sini aja, Ka. Bentar kok setaun doang,” ledekku.
“Setahun di sini? Makan dan minum singkong?” Raka memasang wajah meringis.
Aku menahan tawa. Temanku yang satu ini bule karbitan. Ia penggemar berat sushi. Kemana-mana ia selalu membekal sushi di dalam tasnya. Bahkan saat dihidangi dendeng kulit singkong pun ia melahapnya bersama sushi. Dan tadi malam perbekalannya habis. Ia seperti ikan yang nyasar di daratan, kelimpungan mencari restoran sushi di kampung adat.
***
Agendaku hari ketiga di kampung adat Cireundeu menjelajah lokasi kampung adat. Ini juga hari terakhir kunjunganku. Sekalian jalan-jalan aku juga akan mencari buah tangan yang khas dari kampung adat ini.
Matahari baru naik sepenggalahan ketika aku keluar rumah dan merasakan atmosfir yang berbeda. Daerah yang lugu jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan instan. Pemandangan asri dari pepohonan yang rindang dari kaki sampai puncak gunung. Embun yang perlahan menguap. Semilir angin yang menyejukkan. Ah, sungguh nikmat Tuhan yang tiada kira.
“Sejak zaman dulu kakoncara11 konsep kampung adat Cireundeu terbagi menjadi tiga bagian: leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung baladahan,” ujar Kang12 Yana, pemuda adat, sambil menunjukkan lokasi penting di kampung adat Cirendeu. “LeuweungLarangan -hutan terlarang- yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya. Leuweung Tutupan -hutan reboisasi- yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Leuweung Baladahan -hutan pertanian- yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkong, dan umbi-umbian.”
“Patut dicontoh nih, hidup damai berdampingan dengan alam,” Raka berkomentar.
“Alam tak akan mendatangkan bencana selama kita –manusia- tak membuat kerusakan, betul begitu kan Kang?” aku menimpalinya.
“Sepakat!” kata Kang Yana.
“Kang, boleh tanya? Saya lihat rumah-rumah di sini punya pintu samping yang menghadap ke timur. Itu memang ciri khas atau cuma kebetulan aja?” tanyaku.
“Sudah ciri khasnya begitu. Itu bertujuan agar cahaya matahari bisa masuk ke rumah.”
“Oh, unik ya.” 
Kami terus berbincang sepanjang jalan menyusuri kampung adat. Sesekali warga kampung adat yang tak sengaja berpapasan di jalan menyapa kami dengan ramah. Saat melihat seorang bapak membawa cangkul di pundaknya hendak pergi ke ladang itu berada dalam mesin waktu yang mengembalikan zaman yang lugu? Kearifan budaya lokal, keramahan masyarakatnya, sifat dan karakter yang melekat dan mendarahdaging dalam setiap diri orang Indonesia. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah,  silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga.”
“Mayoritas masyarakat adat Cireundeu bekerja di kebun sendiri. Masing-masing dari kita memiliki kebun seluas tiga sampai lima petak. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun kebun kita selalu menghasilkan singkong,” Kang Yana melanjutkan penjelasannya.
“Gotong royong dan tenggang rasa,  pelajaran PKn jaman sekolah dulu tuh, bener-bener dipraktekkan ya di sini, ajib!” Raka tak bosan menimpali penjelasan Kang Yana.
“Kata kakekku, dulu itu jarang orang kelaparan meskipun hidup serba susah, sebab mereka pandai memanfaatkan sumber daya alam.” kataku menambahkan.
Aku jadi teringat lirik lagu “Kolam Susu” yang dinyanyikan Koes Plus. Setiap senja Kakek selalu menyenyandungkannya.  Mau aku tak mau jadi hafal lagu-lagu lawas.

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Kami mengambil langkah menuju tempat penjualan oleh-oleh yang ditunjukkan Kang Yana.
“Aku mau beli dendeng ah buat Mami. Pasti kaget kalau tahu dendengnya dari kulit singkong,” ujar Irez bersemangat.
“Berapa harga satu bungkusnya?” tanyaku pada gadis penjual oleh-oleh.
“Dua puluh ribu, teh?”jawabnya terlihat malu-malu.
“Kalau aku beli sepuluh bungkus plus senyum kamu boleh gak?” Rakaa merayu gadis yang menawarkan oleh-oleh khas Cireundeu. Gadis itu pun tersipu dan emakin menenggelamkan wajahnya, menyembunyikan pipi yang kemerah-merahan.
“Genit banget kamu, Ka!” Irez mencubit lengan Raka. 
Raka pun mengaduh. Tapi, tentu tak membuat ia menciut. Ia semakin melancarkan aksi rayuan mautnya.
“Gadis desa itu terkenal dengan kecantikan naturalnya. Terbukti hari ini aku seperti melihat bidadari sedang mematung di hadapanku.”
Aku dan Irez menepok jidat masing-masing. Tak tahan melihat tingkah Raka.
“Kang Yana, boleh gak aku membekal rasi untuk pulang?”
“Aku juga mau!” Raka ikut-ikutan nimbrung.
“Buat apa?”
Belum sempat Kang Yana menjawab, aku dan Irez mengalihkan pandangan pada Raka.
“Aku mau bereksperimen. Buat sushi berbahan dasar singkong. Tahu kenapa?” Raka memainkan alisnya berharap kami penasaran.
Aku dan Irez memasang wajah datar.
“Agar aku bisa bertahan hidup di sini. Siapa tahu aku berjodoh dengan gadis Cireundeu,” ujar Raka sambil mengerlingkang matanya ke arah gadis desa itu.
Kami tertawa terbahak. Tak kuat rasanya melihat kekonyolan si bule karbitan yang satu ini.
***
Menjejal memenuhi isi kepalaku. Begitulah, setelah aku menyelesaikan perjalananku di kampung adat Cireundeu. Tak sabar ingin kuceritakan semua yang kudapat di sini pada teman, saudara, kerabat, dan sahabat.
Keesokan harinya aku dan kedua sahabatku pamit pulang. Mohon ijin membawa banyak inspirasi dari kampung adat Cireundeu.
Ngabuburit Sastra di Kampung Adat Cireundeu, 2-4 Ramadhan 1435 H
KETERANGAN
1.      Teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat : Tidak menanam padi asalkan punya padi, tidak punya padi asalkan bisa menanak nasi, tidak bisa menanak nasi asal bisa makan, tidak makan asalkan kuat.
2.      Wilujeung Sumping di kampung Cireundeu : Selamat datang di kampung adat
3.      Kadeudeumes: Tumis kulit singkong
4.      Baheula: Dahulu
5.      Sampeu : Singkong
6.      Ceu : Panggilan untuk kakak perempuan
7.      Abah : Panggilan untuk kakek
8.      Nya : Iya
9.      Ngamumule : Melestarikan, menjaga
10.  Wuwuhan : Nasihat
11.  Kakoncara : Terkenal
12.  Akang : panggilan untuk kakak laki-laki.


0 komentar:

Posting Komentar