BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anak adalah anugerah terindah sekaligus amanah
(titipan) yang Allah berikan kepada orang tua. Sehingga orang tua memiliki tanggungjawab
yang besar dalam membesarkan dan mendidik dalam segala aspek kehidupan. Selain sebagai
amanah (titipan) anak juga sebagai keturunan (dzuriyah), tempat kita meneruskan
cita-cita dan garis keturunan. Seperti doa Nabi Zakaria AS dalam QS. Ali Imran:
38: Disanalah Zakaria mendoa kepada Rabbnya
seraya berkata: “wahai Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah tayyibah
(seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” Anak dapat
membuat senang hati kedua orang tuanya manakala anak tersebut berbakti kepada mereka,
serta taat dalam menjalankan ibadahnya. Namun anak juga dapat menjadi fitnah
(ujian) bagi kedua orang tuanya, manakala anak tersebut tidak berbakti serta tidak
taat beribadah apalagi kalau sampai terlibat atau tersangkut dalam masalah kriminalitas
atau kenakalan remaja lainnya. Sebaliknya jika ada anak yang membuat kedua
orang tuanya senang danbangga dengan berbagai prestasi yang diperolehnya sehingga
mengangkat harkat dan martabat keluarga di depan masyarakat maka anak tersebut menjadi
perhiasan (zinah) untuk keluarganya.
Agama adalah pondasi yang paling kuat
yang bisa membentengi seseorang dari segala hal negatif. Penanaman nilai-nilai
agama pada anak harus ditanamkan sejak dini. Jiwa beragama atau kesadaran beragama
berujuk pada ruhaniyah individu yang berkaitan kepada Allah SWT dan pengaktualisasiannya
melalui peribadatan kepadaNya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannaas.
Oleh karena itu orang tua hendaknya memperhatikan
kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya agar menjadi anak
yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlak mulia serta memiliki intelengi
yang tinggi.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka
kami merumuskan beberapa masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yaitu:
1.
Apa
pengertian anak dalam perspektif islam: Anak sebagai amanah (titipan), dzuriyah
(keturunan), fitnah (ujian), dan zinah (perhiasan)?
2.
Bagaimana
fitrah beragama bagi anak?
3.
Bagaimana
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak?
C. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini selain diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Seminar Pendidikan Agama Islam juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan
diantaranya:
1.
untuk
mengetahui pengertian anak sebagai amanah (titipan), dzuriyah (keturunan),
fitnah (ujian), dan zinah (perhiasan)
2.
untuk
mengetahui fitrah beragama bagi anak
3.
untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak
D. Sistematika
Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Penulisan
BAB 2 ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Anak dalam Perspektif Islam
a. Anak sebagai Amanah
b. Anak sebagai Dzuriyah
c. Anak sebagai Fitnah
d. Anak seagai Zinah
B. Fitrah Beragama bagi Anak
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
BAB 3 PENUTUP
A. Simpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Anak dalam Perspektif Islam
Dalam islam anak berpotensi menyandang status
yang saling berlawanan, bisa membahagiakan, juga bisa mencelakakan. Dalam hal
ini arahan dan cara mendidik orang tua terhadap anak sangat menentukan posisi
tersebut terutama perilaku/ etika orang tuanya. Karena sesuatu yang terlihat
akan lebih kuat efeknya dibandingkan sesuatu yang hanya diketahui melalui
indera pendengaran.
Berkaitan
dengan eksistensi anak, Al-Quran
menyebutkannya dengan beberapa istilah antara lain:
a. Anak
sebagai Amanah (Titipan)
Anak merupakan titipan harta yang paling
berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk hati.
Dalam persoalan ini, kita harus meneladani sikap Nabi Zakaria AS dan Nabi
Ibrahim AS. Kedua Nabi ini senantiasa berdoa kepada Allah Maha Pencipta.
“Dan orang-orang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah
kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. AlFurqon: 74)
Setelah diberi amanah oleh Allah, Nabi Ibrahim di masa tuanya tidak
pernah berhenti bersyukur.
“Segala
puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Isma’il
dan Ishaq. Sungguh Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (QS. Ibrahim :39)
Namun, akhir-akhir ini begitu sering kita mendengar,
anak justru seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Begitu sering kita
baca, kedua orang tua begitu teganya membuang bayi yang baru saja dilahirkan.
Ada yang gampang saja memukul anak di luar kemampuan anak itu untuk
menerimanya. Disulut rokok, disetrika, bahkan terakhir bisa kita baca, dipukul
linggis sampai meninggal. Di sisi lain, ada juga orang tua yang menjadikan anak
bagai barang rebutan. Naudzubillahi min
dzalik! Sudah sedemikian tipiskah rasa sayang orang tua pada anaknya,
padahal amanah mendidik dan merawat anak itulah yang pada saatnya harus
dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah, kelak.
Dalam soal mendidik anak, Rasulullah SAW adalah
sebaik-baiknya teladan. Pada diri Nabi ditemukan sosok pendidik yang menghargai
anak. Rasulullah tidak jarang menyuapi anak-anak kecil dengan kurma yang sudah
dimamahnya. Penuhnya hati Rasul dengan kasih sayang, membuat Beliau tidak marah
ketika dalam shalatnya yang kusyuk punggung Beliau dinaiki cucunya, Hassan bin
Ali bin Abi Thalib. Beliau malah melamakan sujudnya, hingga cucunya itu turun.
Usai shalat, kepada jamaah Rasul meminta maaf karena sujudnya agak lama. “Para
jamaah, karena cucuku ini aku sujud agak lama. Dia berlari mengejarku dan naik
ke punggungku ketika aku sedang salat (sujud). Aku khawatir akan
mencelakakannya kalau aku bangun dari sujud.” (HR Ahmad). Subhanallah, apakah
saat ini kita masih memiliki kasih sayang seperti itu?
Sikap kasih sayang dan kelembutanlah,
sebenarnya, yang memungkinkan anak menjadi dekat yang memudahkan mereka menerima
petuah dan didikan orang tuanya. Orang tua yang miskin kasih sayang akan
anaknya, menurut Nabi, akan mengundang murka Allah SWT. Aisyah RA berkata,
telah datang seorang badui kepada Nabi. Nabi bertanya,” Apakah kamu suka
mencium anakmu?” Dijawab, “Tidak.” Nabi bersabda,” … atau aku kuasakan agar
Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (HR Bukhari).
b. Anak
sebagai Dzuriyah (Keturunan)
Anak adalah anugerah Allah SWT, tempat
kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. Seperti
doa Nabi Zakaria AS:
“Disanalah Zakaria berdoa
kepada Rabbnyaserayaberkata: “WahaiRabbku, berilah aku dari sisi Engkau dzurriyah
tayyibah (seorang anak yang baik). Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”(QS. Ali Imran: 38)
Ketika
Nabi Zakaria AS menyaksikan sendiri bahwa Allah SWT telah memberi karunia
kepada Maryam berupa buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan
musim dingin di musim panas, saat itulah ia berharap sekali ingin memiliki
seorang anak. Saat itu ia telah memasuki usia tua, tulang-tulangnya mulai rapuh
dan ramutnya telah memutih. Di sisi lain, istrinya telah tua dan bahkan mandul.
Meski demikian, setelah kejadian yang dialami Maryam, ia memiliki keinginan
kuat untuk memiliki seorang anak dengan berdoa kepada Allah SWT, “Ya Rabbku, berilah
aku dari sisi Engkau dzurriyah thayyibah.”
Bagi
orang tua, tentu ia menyadari betul bahwa anak meupakan karunia dan nikmat yang
diberikan Allah kepada pasangan suami istri. Karena salah satu tujuan dari
pernikahan adalah sebagai wasilah untuk mendapatkan keturunan. Sehingga,
kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga menjadi nikmat tersendiri bagi
orang tua. Kehadirannya senantiasa ditunggu-tunggu. Hari demi hari, bulan demi
bulan, orang tua akan senantiasa mengikuti perkembangan si janin dan setelah
lahir, anak seolah-olah menjadi perhiasan dunia bagi orang tuanya.
Namun
fenomena sekarang berbeda halnya, banyak orang tua yang tidak menginginkan
banyak anak atau hamil di luar nikah lalu orang tua tersebut menggugurkan
janin. Ada pula yang kadung dilahirkan, tetapikarena kehadiran anak tersebut
tidak diharapkan lalu orang tua tersebut membuang anaknya ke sungai,
memutilasi, dan lain sebagainya. Maka Allah melaknat orang tua yang berbuat
demikian dalam firmanNya:
“Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak
mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui [513] dan mereka mengharamkan
apa yang Allah telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan
terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat
petunjuk.”(Q.S. Al-An’am/6:140).
Para ulama menyebutkan bahwa di antara kriteria dzurriyah thayyibah ini adalah anak yang memiliki perilaku dan
sifat yang menawan. Ada yang berpendapat bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang bertakwa kepada Allah, shalih,
dan diridhoi oleh Allah. Ada juga yang berpendapat, bahwa dzurriyah thayyibah adalah anak yang membawa keberkahan bagi orang
tuanya, yakni kebaikan yang banyak, baik urusan dunia maupun agama.
Mendapatkan dzurriyah thayyiban
(keturunan yang baik) tentu menjadi dambaan setiap orang tua. Inilah doa
orang-orang sholih agar diberikan dzurriyah
thayyibah:
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang
yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (Q.S. Ibrahim/14:40)
Dan orang orang yang berkata:
“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Alfurqon/25:74)
c. Anak sebagai Fitnah (Ujian)
Secara lughah makna fitnah yaitu “fatana al-ma’din” artinya logam itu
dibakar untuk mengetahui kualitasnya, “fatana fulaanan ’an sya’i” (pakai huruf
ta bukan tho) artinya melalaikan atau memalingkan dari sesuatu, atau “fatanahul
maal dan fatanathul mar’ah” artinya tergoda dengan harta dan wanita. Jadi
sesuai dengan ungkapan di atas, fitnah menurut para ahli bahasa bermakna ujian
atau cobaan dalam berbagai macam bentuknya. Ada ujian yang buruk seperti
siksaan, kesusahan, penderitaan, penyakit dan lain seagainya. Ada juga ujian
berupa kesenangan dunia, kekuasaan, kekayaan, wanita (istri) dan keturunan
(anak).
“Wahai orang-orang yang
beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan
dan kamu santuni serta ampuni (mereka) maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha
Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa terkadang
ada istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau bapaknya untuk melakukan
perbuatan-peruatan yang tidak dienarkan agama. Contoh lima golongan anak istri
yang bisa menjadi musuh: (1) berbuat baik namun dihalang-halangi oleh anak dan
istri mereka. (2) anak istri yang tidak memerintahkan kepada ketaatan kepada
Allah dan tidak melarang peruatan maksiat kepadaNya. (3) anak-anak yang
memutuskan hubungan kekerabatan. (4) anak istri yang menyelisihi perintah
agama. (5) anak istri yang mendorongmu untuk mengejar dunia dan
bermegah-megahan.
Bahkan pada ayat selanjutnya Allah SWT menyebutkan
bahwa anak adalah salah bentuk fitnah (cobaan dan musibah) bagi orang tuanya:
“Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah pahala yang besar.”
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa
posisi anak sebagai ujian.Anak dapat membuat membuat senang hati kedua orang
tuanya manakala anak tersebut berbakti kepada mereka serta taat dalam
menjalankan ibadah. Namun, anak juga dapat membuat susah kedua orang tuanya
manakala tidak berbakti serta tidak taat beribadah. Apalagi sampai terliat
masalah kiminalitas atau kenakalan remaja yang lain. Mencoreng nama baik
keluarga.
Manakala anak melakukan perbuatan negatif sudah
menjadi tugas orang tua untuk menegur, menasehati, dan mengarahkan ke arah yang
baik. Bukan malah menyia-nyiakannya. Sebab anak adalah amanah (titipan) serta
untuk mendapatkan anak yang baik (dzuriyyah thayyiban). Sehingga anak tersebut
bisa menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya (qurrota a’yun) diperlukan
keseriusan dan ketekunan orang tua dalam membina mereka.
Orang tua hendaknya menjadi figur atau contoh
buat anak-anak mereka. Sebab anak merupakan cermin dari orang tua. Misalnya,
jika orang tua rajin shalat berjamaah, maka anakpun akan mudah kita ajak shalat
berjamaah. Jika orang tua senantiasa berbicara sopan dan lembut, maka anak
merekapun akan mudah menirunya. Dan tak kalah pentingnya adalah orang tua
hendaknya memperhatikan pergaulan anak-anaknya di dalam masyarakat. Karena
temen juga sangat berpengaruh kepada perkembangan kepribadian dan akhlak anak.
Terkadang kita tak perlu heran terhadap mereka
yang menyia-nyiakan perintah Allah SWT di dalam hak anak dan keluarga mereka.
Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan
berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut. Adapun
api akhirat, maka ia tidak mau mencoba memebaskan anak-anak dan keluarganya dari
api tersebut.
Padahal Allah SWT telah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak
mendurhakakan Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada merekadan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim:6)
Seorang ayah adalah penanggungjawa pertama,
lantaran ia sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh
Allah tentang rumah tangganya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang suami adalah pemimpin
bagi keluarganya dan ia akan ditanya atas kepemimpinannya, dan seorang istri
adalah pemimpin dalam rumah tangga suami dan anaknya, maka ia akan ditanya
tentang mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, kedua orang tua harus bangkit
melaksanakan kewajiannya terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan
pendidikan yang baik agar kelak menjadi generasi yang aik memberi manfaat bagi
orang tua dan kaum muslimin yang lain.
d. Anak sebagai Zinah (Perhiasan)
Allah SWT menjadikan segala
sesuatu yanga ada di pemukaan bumi seagai perhiasan bagi kehidupan, termasuk di
dalamnya adalah harta dan anak-anak. Allah SWT berfirman:
“Dijadikanindahpada
(pandangan) manusiakecintaankepadaapa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanitadananak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik (surga).”(QS. Ali Imran:14)
Anak
merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata,
kebanggaan orangtua dan sekaligus perhiasan dunia serta belahan jiwa yang
berjalan di muka bumi. Perhiasan yang dimaksud adalah bahwa orangtua merasa
sangat bangga dan senang atas beragai prestasi yang diperoleh anak-anaknya sehingga
dia pun akan terbawa baik di depan masyarakat.Anak juga bisa menjadi nikmat
yang mendatangkan kebahagiaan bagi orang tuanya. Yakni anak yang bisa
mendatangkan manfaat bagi orang tuanya baik di dunia maupun di akhirat.
Seorang
yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan perhiasan, tentu ia akan
menjaga perhiasan tersebut dengan sebaik-baiknya. Yakni dengan membekali
pendidikan yang baik. Orang tua adalah sebaik-baiknya pendidik bagi anak.
Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik bahwa seorang hamba akan
meraih pahala yang besar setelah wafatnya dan masa umurnya telah habis dn habis
masa hidupnya.
Dari
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika manusia
meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
Jadi,
seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala yang berlipat ganda
dan meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.
Dari
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersada:
“Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di
surga, lalu ia berujar, ‘bagaimana mungkin aku mendapatkan derajat ini?’ maka
dijawab, ‘hal ini lantaran anakmu telah memohon ampun(istighfar) untukmu.”(HR. Ibnu Majah)
Begitu
pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan kerabatnya sebagai
karunia alasan yang baik dari Allah SWT. Dalam firmanNya:
“Dan orang-orang yang
eriman dan yang anak cucunya mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun
dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (Ath-Thur: 21)
B. Fitrah Beragama bagi Anak
Allah
SWT sebagai khaliq (Pencipta) semesta alam telah menurunkan wahyu (agama)
kepada para utusanNya (sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW) sebagai
pedoman hidup bagi manusia di dunia ini, agar memperoleh kebahagiaan yang
hakiki, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kaidah-kaidah (nilai-nilai) yang
terkandung dalam agama selaras dengan fitrah manusia sebagai makhluk beragama (homo religius), yaiyu makhluk yang
memiliki naruli beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta
mengamalkan nilai-nilai agama tersebut.
Fitrah
beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan
atau peluang untuk berkembang. Namun mengenai arah dan kualitas perkembangannya
sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya (faktor
lingkungan). Hal ini sebagaimana telah dinyatakan oleh Rasululloh SAW dalam
salah satu haditsnya, yaitu: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah anak itu menjadi
yahudi, nasrani atau majusi.” Hadits ini diisyaratkan bahwa faktor
lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi fitrah
beragama bagi anak.
Jiwa
beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang
berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui
peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah
maupun habluminannaas. Keimanan
kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari
internalisasi, yaitu proses pngenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri
seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi dua
faktor, yaitu internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan)
1.
Faktor
Internal
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang
berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama sehingga
fitrahnya berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Keyakinan bahwa manusia mempunyai fitrah beragama
atau keyakinan kepada Tuhan merujuk kepada firman Allah sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata- kan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”(QS.
Al-‘Araf: 172)
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.
Ar-Rum: 30)
2. Faktor
Eksternal
Faktor fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi
yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan ini tidak
akan terjadi apabila tidak ada faktor luar (eksternal) yang memungkinkan fitrah
itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu antara lain adalah
lingkungan dimana anak itu hidup, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa ada dua hal
potensial yang akan mewarnai dan membentuk kepribadian anak yaitu orang tua
yang melahirkannya dan lingkungan yang membesarkannya.
1)
Lingkungan
keluarga
Keluarga merupakan potensi lingkingan pertama dan
utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga (oang tua) dalam perkembangan
kesadaran beragama sangatlah dominan. Keluarga adalah kelompok sosial yang
bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh
keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting yang lain bagi anak. Keluarga
adalah tempat yang penting dimana anak akan memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya
agar kelak menjadi orang berhasil di masyarakat. Keluarga sebagai landasan bagi
anak memberikan berbagai macam bentuk dasar.
Di dalam keluarga yang teratur dengan baik dan
sejahtera, seorang anak akan memperoleh latihan-latihan dasar dalam mengembangkan
sikap sosial yang baik dan kebiasaan berperilaku.
Di dalam keluarga dan hubungan-hubungan antar
keluarga terbentuklah pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang
lebih luas.
Dalam ikatan keluarga yang akrab dan hangat, seorang
anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban tanggung jawab yang
diharapkan. Keluarga memiliki fungsi, yaitu mendapatkan keturunan dan
membesarkan anak; memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban;
mengembangkan kepribadian; mengatur pembagian tugas, menanamkan kewajiban, hak,
dan tanggung jawab.
Mengenai pentingnya peranan orang tua dalam
pendidikan agama bagi anak seorang ahli psikologi, yaitu Hurlock (1956:434)
berpendapat bahwa keluarga merupakan
training centre bagi penanaman nilai-nilai (termasuk nilai-nilai agama).
Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan
bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata kama, sopan
santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya
dalam kehidupan seharu-hari, baik secara
sosial kemasyarakatan.
2)
Lingkungan
Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang
mempunyai pendidikan sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan
latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya
secara optimal baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional),
sosial maupun moral-spiritual.
Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap kepribadian anak karena sekolah merupakan substansi
dari keluarga dan guru substitusi dari orang tua.
Mengenal peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam
Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang
tahu tentang tabiat badan dan macam-macam penyakit dan cara penyembuhannya.
Demikian pula dengan penyembuhan jiwa dan akhlak, keduanya membutuhkan guru
(pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang
cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang
sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah
beragama anak (siswa) sekolah mempunyai
peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan
mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap
ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya itu adalah sebagai berikut: (1) Dalam
mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi
(seperti ceramah, tanya jawa, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak
tidak merasa jenuh mengikutinya. (2) Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru
agama hendaknya tidak terpaku pada materi saja (bersifat tekstual), tetapi
materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. (3) Guru
hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual
(madloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan
sehari-hari. (4) Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
(5) Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai,
minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
3)
Lingkungan
Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah
interaksi sosiokultural yang potensial berpengaruh terhadap perkemangan fitrah
beragama anak (terutama remaja). Perkembangan moral bagi anak banyak
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan),
kepribadian individu tidak dapat berkembang, demikian pula dengan aspek moral
pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya mengenai bagaimana ia
harus bertingkah laku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau
tidak baik (Singgih, 2008:61).
Dalam masyarakat anak melakukan interaksi sosial
dengan teman sebayanya (pee group) atau
anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulannya menampilakan perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka ia akan cenderung
berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya
itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan terpengaruh untuk berperilaku
seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi apabila anak kurang mendapatkan
bimbingan dari orang tuanya.
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya,
Hurlock (1956: 436) mengemukakan bahwa, “standar atau aturan-aturan ‘gang’
(kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkahlaku
para anggotanya.”
Corak perilaku anak merupakan cermin dari perilaku
masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat dikatakan
bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung pada
kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa
yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah
mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin
persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur serta menghindari sikap dan perilaku
yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap
munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku
masyarakat lainnya (berzina, berjudi, dan minuman keras). Sedangkan sikap dan
perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif atau berpengaruh negatif terhadap
perkemangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik
tersebut.
Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang
materialistis dan hedonisme yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya berorientasi
untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara melanggar aturan agama).
Warga masyarakat (baik yang memegang kekuasaan atau
warga biasa) bersikap melecehkan agama atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan
mensponsori kemaksiatan, seperti perjudian, prostitusi, minuman keras, dan
penayangan acara-acara televisi yang merusak akidah dan akhlak (Yusuf, 2002:
53)
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau
akhlak mulia anak, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus
bekerjasama dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang
kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan perkembangan komitmen
yang kuat dari maisng-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orang
tua, pihak sekolah, pejabat pemerintah dan warga masyarakat) untuk mengamalkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari (Yusuf, 2002:54).
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan adalah
tambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh bagian tubuh yang secara
kuantatif dapat diukur. Sedangkan perkemangan adalah bertambah sempurnanya
fungsi alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh, kematangan dari belajar.
Pertumbuhan dan perkembangan berjalan
menurut norma-norma tertentu. Walaupun demikian seorang anak dalam banyak hal tergantung
kepada orang dewasa, misalnya mengkonsumsi makanan, perawatan, bimbingan,
perasaan aman, pencegahan penyakit, dan lain sebgainya. Oleh karena itu semua
orang yang mendapat tugas mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang
sedang tumbuh dan berkembang.
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan, di antaranya adalah faktor lingkungan. Bila lingkungan karena
suatu hal menjadi buruk maka keadaan tersebut hendaknya diubah (dimodifikasi)
sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berjalan sebaik-baiknya.
Orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan dalam pertumbuhan
Banyak dan perkembangan anak-anaknya agar menjadi anak yang sehat, baik jasmani
maupun rohani dan berakhlak mulia serta memiliki intelengi yang tinggi.
Tahapan mendidik
Anak Teladan Rasulullah SAW:
Dalam sulbi hingga 3tahun
1.
Doa untuk anak agar beroleh hidayah sejak di sulbi ayah
2.
Doa untuk anak ketika masih berupa nuthfah
3.
Dzikir untuk keselamatan bayi yang akan dilahirkan
4.
Kedudukan bayi yg keguguran di sisi Allah
5.
Anjuran menyerukan adzan pada telinga kanan
6.
Mentahnik anak dan mendoakannya
7.
Membentengi bayi dari bencana dengan dzikir dan bersyukur kepada Allah
8.
Hak waris untuk bayi
9.
Kewajiban zakat fitrah atas nama bayi begitu dilahirkan
10.
Memperlakukan bayi dgn kasih sayang meski sebagai anak zina
11.
merayakan kelahiran bayi dengan aqiqah
12.
Memberi nama yang baik (larangan memberi nama buruk atau nama terlarang
13.
Mencukur rambut bayi, memersihkan, dan menghilangkan kotorannya
14.
Bercengkrama dengan anak kecil memakai lidah dan mulut
15.
Menghargai keberadaan anak dengan memberi julukan bapaknya bapaknya dengan nama
anak
16.
Mengkhitan anak
17.
Bersikap baik ketika memanggil anak
18.
Membiarkan anak tetap dalam gendongan meski sedang shalat
Usia 4 tahun hingga 10
tahun
1.
Mengajak
pergi seraya menasehati dan mengajari
2.
Tidak
anyak mencela dan menegur anak
3.
Membimbing
anak pada akhlak mulia
4.
Mendoakan
kebaikan anak
5.
Meminta
ijin kepada anak berkenaan dengan hak mereka
6.
Mengajari
anak memelihara rahasia
7.
Memberikan
pengarahan dan meluruskan kekeliruan anak saat makan
8.
Memperlakukan
anak dengan adik: laki-laki/ perempuan
9.
Memberi
semangat dengan hadiah
10.
Mengajari
adzan dan shalat
Usia 10 tahun hingga 14 tahun
1.
Menyeru
anak untuk segera tidur sesudah shalat isya
2.
Memisahkan
anak ditempat tidur masing2 sejak usia 19th
3.
Melarang
anak tidur telungkup
4.
Membiasakan
anak menundukkan pandangan dan menjaga aurat
5.
Tidak
memukul anak
6.
Melarang
anak laki-laki menyerupai anak perempuan
7.
Mengajari
etika: salam, bergaul, berbicara, meminta ijin, dll
8.
Memperlakukan
anak perempuan dgn baik dan menjelaskan kedudukan mereka dalam islam
Usia 15 tahun sampai 18 tahun
1.
Menganjurkan
anak meraih keuntungan sejak pagi buta
2.
Memberi
solusi untuk menghaiskan waktu luang
3.
Menanamkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan kecintaan membaca Alquran
4.
Memberi
semangat untuk mandiri dan bekerja keras
5.
Mengukuhkan
hak menuntut ilmu dan mempelajari alquran
6.
Memerintahkan
anak perempuan memakai jilbab jika telah baligh
7.
Mengajari
anak berbakti dan beretika kepada orang tua
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Anak adalah
anugerah terindah yang dititipkan (amanah) Allah SWT kepada orang tua. Menjadi
tugas dan kewajiban orang tua untuk membesarkan anak dengan penuh kasih sayang
sehingga anak adalah pemata hati (zinah). Namun, tak jarang juga orang tua yang
menyia-nyiakan sebab kelakuan anaknya (fitnah). Sebab perbuatan negatif yang
merusak nama baik keluarga atau ada anak yang mempengaruhi kedua orang tuanya
untuk berbuat maksiat. Dari sini, selaku orang tua seharusnya kita belajar
kepada doa Nabi Zakaria AS. Meski mengharapkan seorang anak, meski kondisi
fisiknya tidak memungkinkan, namun ia tetap mengharapkan keturunan yang baik.
Sebab dengan keturunan yang baik inilah orang tua akan merasakan kenikmatan
dunia akhirat. Sebab bila kita perhatikan kriteria dzurriyah thayyibah yang telah dikemukakan para ulama, tentu itu
merupakan anak ideal dalam pandangan islam.
Oleh sebab itu
orang tua harus mengembangkan fitrah beragama bagi anak. Apabila
seseorang telah mempedomani agama sebagai sebagai dasar rujukan berperilaku dan
sebagai kompas dalam mencapai tujuan hidupnya, maka ia telah menjadi seorang
pribadi yang telah terbebaskan dari belenggu kebodohan (jahiliyah) yang sangat diwarnai hawa nafsu (syaithoniyah dan atimiyah), dan memperoleh pencerahan hidup yang
sarat dengat nur ilahi (beriman dan
beramal shalih).
Dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak orang tua hendaknya memperhatikan kebutuhan anak-anaknya
agar menjadia nak yang sehat, baik jasmani maupun rohani dan berakhlak mulia serta
memiliki intelengi yang tinggi. Betapa islam sangat menghargai dan mengakui
derajat anak bahkan sejak dari sulbi. Orang tua mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban yang besar atas diri anak baik ia dilahirkan ke dunia ataupun tidak
(keguguran). Dan Allah akan memberikan pahala yang berlipat bagi orang yang
bersyukur atas ketetapanNya.
B. Saran
Sebagai
orang tua dan atau anak hendaknya saling mengetahui hak dan kewajibannya di
dalam keluarga dan lingkungan. Oleh sebab itu pentingnya pengetahuan agama baik
itu untuk orangtua maupun anak. Semoga kita yang bisa mendidik anak-anak kita
(baik sebagai orang tua ataupun guru) sesuai dengan ajaran islam. Sehingga
anak-anak kita dapat bermanfaat bagi kedua orang tua, masyarakat dan agamanya
di dunia maupun di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Syamsu, Dr.H.Ln., M.Pd. 2004. Psikologi Belajar Agama (Perspektif Agama
Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Ghuddah Abdul Fattah Abu, 2014. 40 SMART (Sistem Mengajar Ala Rasul SAW Tercinta). Bandung:Halaqoh
Ilmu.
Rahman Jamaal ‘Abdur, 2005. Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah SAW. Bandung: Irsyad
Baitus Salam.
0 komentar:
Posting Komentar