Add caption |
"Putu Wijaya Meneror Mental Pembaca Lewat Karya"
"Sebuah ceritapendek adalah bagaikan sebuah mimpi baik dan mimpi buruk. Tidak terlalu penting urutan, jalinan, karena kadang-kadang ada dan kadangkala tidak. Yang utama adalah pekabaran yang dibawanya, daya pukau, daya magis, tamsil, ibarat, tikaman jiwa, firasat dan berbagai efek yang diberondongnya menyerang siapa saja yang mengalami mimpi itu. Ia bisa gamblang, jelas secara mendetail dan persis melukiskan apa yang terjadi, tetapi ia juga bisa kebalikan atau buram sama sekali sebuah ramalan yang memerlukan tafsir. Ceritapendek adalah teror mental kepada manusia.
Pengertian Teror tidak berarti memporak-porandakan apa yang sudah tersusun rapi. Teror memang mengacau dan membakar supaya jiwa manusia ambruk. Tetapi sebuah ceritapendek juga adalah teror mental bagi keadaan yang ambruk, keadaan yang tidak stabil, agar terguncang lebih keras, sehingga akhirnya pada puncak bersatu kembali dalam satu tiang yang kuat dan mengembalikan harmoni pada manusia pembacanya. Sebagai pisau bermata dua atau ular berkepala dua, arti ceritapendek pada akhirnya tidak hanya ditentukan dari pengarangnya, tetapi juga dari siapa pembacanya." (Halm. 9, GRES)
Putu Wijaya, yang produktif bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Saren, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Sejak duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan Perdata (1969). Sebelum hijrah ke Jakarta (1970) ia belajar melukis di ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Aktif dalam pementasan-pementasan drama Yogya, kemudian bergabung ke dalam Bengkel Teater pimpinan Rendra. Di Jakarta jadi pemain drama Kecil pimpinan Arifin C. Noer dan Teater Populair pimpinan Teguh Karya, kemudian mendirikan Teater Mandiri.
Berangkat dari drama cerpen-cerpen Putu lebih banyak dialog daripada narasi. Dengan piawainya Putu meramu dialog sehingga dialog yang dihadirkan tidak basi. Dialog yang disajikan tokoh-tokohnya berhasil membuat pembaca greget. Adegan yang dilakukan tokoh-tokohnya secara tiba-tiba menghasilkan daya pukau sehingga pembaca tidak akan meninggalkan cerpennya sebelum habis dibaca.
Seperti dialog Lila dan ayahnya pada cerpen Takut. Ayahnya tak suka melihat putrinya pulang larut malam untuk kesekian kalinya dan diantar pulang oleh lawan jenis. Lebih tak suka lagi ketika menyaksikan putrinya berciuman di depannya tanpa rasa malu. Ketika itu ayahnya merasa tak dihargai. Ayahnya ingin sekali menegur namun ia tak mau dikatakan orang tua yang kolot dan terlalu menekan anak. Tetapi disisi lain ia juga tersinggung dan malu melihat kelakuan putrinya. Lalu setelah berbagai pertimbangan masuklah ia ke dalam kamar Lila dan memberi nasihat layaknya seorang ayah.
Dialog bertambah menarik ketika Lila bersikeras dengan pendapatnya bahwa berciuman adalah hal yang biasa sedangkan ayahnya bersemangat mengeluarkan uneg-uneg perihal sikap Lila dalam bergaul yang menurutnya sudah melewati batas wajar. Namun karena ayahnya bicara bertele-tele membuat Lila menanggapinya dengan dingin.
Bicara tentang Putu Wijaya bicara tentang seorang penulis yang gamblang menembak cerita langsung ke intinya. Mengingatkan saya pada sebuah ungkapan, "membaca itu tidak perlu ribut dan menulis tidak perlu ribet." Membaca cerpen Putu tidak perlu meributkan siapa tokohnya dan bagaimana latar belakangnya. Kesederhanaan Putu menuturkan cerita membuat pembaca bisa langsung menggambarkannya.
Tokoh ayah berusia 40 tahun yang diperankan Aku ini sikapnya tegas dan berpikir kolot, tapi pengertian. Sedangkan Lila adalah seorang gadis berusia 18 tahun yang terbawa arus pergaulan modern.
Putu menulis dengan judul dan tema yang tidak susah diingat dan tidak membuat pembacanya untuk berpikir keras mengartikan tulisannya. Judul cerpen Putu lebih dominan menggunakan satu kata: Maaf, Boikot, Roh, Babi dan lain-lain. Berbagai tema yang diangkat ke dalam cerpennya berusaha mengungkapkan kejadian yang dapat kita temui sehari-hari dengan ciri khasnya. Mungkin kejadian-kejadian itu pernah kita alami dan rasakan tapi tak sempat kita hayati lebih intens. Putu menjungkir-balikkan kejadian lalu menghadirkannya dalam sebuah cerpen dengan sudut pandang yang berbeda.
Pada Kamisan (5/9) lalu Kang Dedi L Setiawan membahas tentang humor dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya. Saya kutip beberapa kalimat dari esai beliau, "Kenikmatan yang didapat pembaca cerpen Putu tidak lepas dari hadirnya humor pada cerpen-cerpen tersebut. Humor disini, tentu bukan humor dalam makna yang sempit dan dangkal, yang umumnya diartikan sebagai lelucon, lawak, dagelan, dan kata-kata sejenisnya."
Pada cerpen berjudul Takut ini, saya menemukan humor pada akhir perdebatan Lila dan Ayahnya.
"Selama berbicara, untuk mendapatkan konsentrasi aku memandang ke sudut lain. Sekarang aku lihat Lila sudah tertidur memeluk guling. Mulutnya menganga sedikit. Mukanya masih penuh rias. Pipi dan bibir merah. Kelopak mata biru. Ia mendengkur lunak. Tampak sangat lelah. Barangkali ia sudah ajojing habis-habisan. Disamping itu ia memang banyak kegiatan. Phisiknya memang membutuhkan istirahat."
Putu juga piawai menghadirkan konflik. Seolah tidak ada batasan antara fiksi dan kenyataan Putu mengajak pembaca masuk ke dalam setiap cerita yang ditulisnya. Jika dilihat dari akar budaya kita, cerpen-cerpen Putu mengingatkan kita pada dunia dongeng.
Konflik batin yang dihadirkan Putu dalam cerpen Takut dirasakan oleh Ayah Lila. Malam itu ia jengkel melihat Lila yang tertidur tanpa merasa bersalah. Ia taklagi mau menyelimuti putrinya, menutup jendela, menyalakan obat nyamuk, atau mencopot sepatu yang dipakai Lila saat tidur. Ia merasa harga dirinya bangkit. Ia takingin kehilangan wibawa seorang ayah.
Saat pagi istrinya memergoki ia bergegas pergi ke kantor lebih awal. Istrinya mengatakan bahwa ia mengerti keadaan perasaan suaminya yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam. Istrinya menyaksikan ketika ia menasehati Lila, lalu memutuskan tidur di sofa, mandi dan sarapan secara sembunyi-sembunyi karena takmau bicara dengan istri dan anaknya. Pada saat itu ia benar-benar membutuhkan ketenangan dan istrinya mengijinkan ia pergi kemana pun yang bisa memberikan ia ketenangan.
Pada akhir cerita Putu selalu menciptakan kejutan yang sebelumnya tidak terduga oleh pembaca. Seolah ada daya magis yang menarik pembaca agar penasaran dan terus membaca cerpen-cerpen Putu.
Nah, siapapun takakan menebak jika pada akhir cerpen Takut ini adalah sebuah khayalan seorang lelaki bujang yang takut untuk menikah karena takut menghadapi anak yang sikapnya seperti Lila dan takut tidak mendapatkan istri yang mengerti perasaan-perasaannya seperti yang ada dalam khayalannya.
Semua diungkapkan Putu dengan caranya sendiri tanpa mengindahkan kata-kata. Putu berusaha menyampaikan pesan dalam ceritanya dengan tidak menggurui namun pembaca sendiri yang akan mengakui kebenaran-kebanaran itu. Semacam teror mental yang membuat pembaca merenungi pemikiran atau fenomena yang pernah terjadi. Berbagai efek menyerang pembaca cerpen Putu. Pembacanya akan merasa disentil barangkali dengan sedikit senyum, gelengan dan anggukan. Terkadang cerpen Putu terkesan "meledek" pemikiran atau fenomena yang terjadi di masyarakat lalu membungkusnya dalam sebuah cerita secara apik.
Setelah membaca cerpen Putu jadi semakin semangat menulis biarpun tidak bagus tapi akan terus latihan dari yang paling sederhana. Merekam kejadian yang terlihat oleh bidikan mata lalu menuliskannya. Ide itu ada disekitar kita tinggal kita jeli untuk menuangkannya dalam sebuah cerita dengan sudut pandang yang berbeda.
Alam taro annal 'aqla zainu liahlihi wa lakin tamamal 'aqli tulut tajarib -(Tidakkah engkau lihat bahwa akal menghiasi pemiliknya. Namun kesempurnaan akal hanya tercapai dengan banyaknya berlatih). Al 'ilmu shoyyidun wal kitabah qoiduh -(Ilmu itu buruan dan catatan (tulisan) merupakan pengikatnya).
Keberhasilan Putu menghasilkan karya-karyanya tidak lepas dari hasil bacaan dan terus melatihnya. Karya-karyanya sangat dipengaruhi oleh pengarang-pengarang dunia gaya bahasa, tema, keterpengaruhan namun dimodif sesuai ciri khas sendiri.
Kabarnya untuk melatih tulisannya, Putu sering mengikutsertakan cerpennya dalam lomba dengan nama samaran. Saya jadi teringat Kamisan yang diisi oleh Kang Topik Mulyana sebagai pemateri, beliau bercerita tentang seorang sastrawan dunia -saya lupa namanya- yang ditemui temannya sedang mengurung diri di kamar sehari setelah menerima penghargaan Nobel. Ia sedang menulis lalu kertasnya disobek dan diremas-remas. Ia lakukan berulang-ulang. Ketika ditanya temannya apa yang dia lakukan, ia menjawab, "saya sedang latihan menulis mendeskripsikan keadaan kamar saya."
Terakhir, saya baca di sebuah website Koran Minggu cerpen Keadilan diciptakan Putu Wijaya di tengah perawatan intensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Cerita dituturkan Putu secara lisan, kemudian diketik salah seorang kerabatnya. Dia mengalami pendarahan otak yang mengakibatkan tangan dan kaki kirinya tak bisa digerakkan.
Kenyataan ini menyadarkan kita, sampai mana kita menyeriusi hobi menulis ini?
Tercatat Jum'at, 6 September 2013 di Kamar Hello Kitty.
-----------------------------------------------------------
NB:
Kang Dedi, nuhun pinjaman buku 'GRES' Putu Wijaya-nya :)
Kang Haris, nuhun juga buku 'Penari Matahari' D.A. Wibowo-nya walaupun gak rido kayaknya teh soalnya yang lain dikasih aku mah minta :p
Dua buku yang menemani saya di kamar. Batuk dan bersin yang meledak-ledak menjadi backsong suasana sepi disini.... Huhuhu.....
0 komentar:
Posting Komentar