MATAHARI TAK SENDIRI
Edit Posted by Audrey Tatia with No comments
Tak selamanya rasa cinta dibalas dengan cinta, begitupun ketulusan! Kalaulah hati tak dapat menerimanya saat ini mungkin suatu saat bisa. Tak ada seorangpun yang baik menerima kecewa dan sakit hati. Biarlah semuanya menjadi bagian proses pendewasaan diri. Jika ada yang memuji keindahan bulan dan bintang ketika malam, maka matahari juga tak kalah indah dikala siang.
Aku masih bisa bertahan dan akan terus berjalan sampai ke ujung, sampai aku dapat temukan semua hikmah di balik rahasia. Meniti kehidupan adalah daun-daun ilmu yang berserakan.
Sudah sepuluh bulan berlalu, hati tak kunjung reda dari kegelisahan yang menghantui. Apakah kesadaran makna cinta yang dirajut dalam bahtera rumah tangga juga tertanam dalam hatimu? Sungguh, aku tak mengerti hatimu. Aku tetap menanti sesuatu yang tak aku tau ujungnya.
“Suamiku, kapan kau pulang?”
Disetiap malam aku menyendiri dalam gelap. tak peduli bintang ataupun bulan. Aku hanya ingin menangis. Mengadu setiap jengkal rasa yang mengumpul dalam perasaanku. Mencoba menyingkirkan rasa kesal dan pikiran negative tentangmu. Aku habiskan malam-malam bersama Tuhanku hanya untuk menangisi kepergianmu yang tak ada kabar. Melihat Si Kecil yang setiap malam mengigau memangil ayahnya, hatiku perih!
Aku tak pernah lupa untuk mendoakanmu agar kau tak lupa jalan pulang.
****
Seperti biasanya, pagi itu aku masih menantimu di sebuah jembatan di atas rel kereta. Pagi itu matahari bersinar begitu cerah, sedikit menyilaukan tetapi memberi kehangatan. Aku yakin hari itu kau akan pulang. Semangatku tak pernah berubah seperti pagi sebelumnya. Si Kecil pun sama, masih menatimu penuh harap.
Berjam-jam lamanya kami berdiri, tapi bayanganmu pun tak tampak. Si Kecil mulai menangis menanyakan ayahnya. Sedang aku tak ingin lagi menangis. Aku tetap tegar, ini bukan kali pertamanya aku mendengar kabar angin tentang kepulanganmu. Ahh, tapi aku tak pernah bisa mengambil kembali air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mataku.
“Ayaaahh…”
Si Kecil berlari memeluk rindu sang ayah. Wajah senduku berubah cerah. Akhirnya kau pulang. Aku tahu tak akan pernah ada suatu penantian yang berakhir sia-sia. Kulihat wajahmu pagi itu, tampan, kulihat kau tersenyum padaku dari kejauhan. Ujung kerudungku diterbangkan oleh semilir angin sejuk.
Lalu kita pulang kembali ke istana mungil, menghabiskan sisa waktu yang kita punya. Duduk bersama saling melepas rindu. Tak ada kebahagiaan yang berarti dalam hidup selain melihat gelak tawa Si kecil yang tak mau lepas dari pangkuanmu. Seolah dia ingin mengatakan agar engkau tetap bersamanya, bersamaku!
“Bun, maafkan ayah karena pulang tidak membawa apa-apa. Keadaannya sangat sulit. Ayah di PHK tanpa pesangon dari perusahaan tempat ayah bekerja.” Ucapmu malam itu.
“Bunda tidak mengharapkan apa-apa. Ayah pulang dengan keadaan sehat dan bisa berkumpul lagi itu sudah lebih dari cukup.”
Itu bukan ucapan klise yang keluar dari mulut seorang istri macam aku. Keadaannya memang sudah berbeda. Sudah menjadi impian setiap istri mana pun bisa hidup sejahtera dengan harta yang berkecukupan. Tapi aku tak lagi mengukur kebahagiaan dari itu semua. Lagi-lagi pikiranku adalah Si Kecil, anakku.
Malam pun semakin larut. Si Kecil terlelap dalam dekapanmu. Raut wajahnya yang polos berbinar kebahagiaan.
Saatnya aku yang melayanimu. Menyerahkan segala yang kumiliki untuk kau jamah dengan cinta. Merajut kasih di bawah sinar rembulan yang kupuji hanya malam ini.
****
Baru saja dua hari di rumah, kamu sudah minta ijin untuk pergi lagi. Alibimu saat itu kau akan mencari kerja di luar kota. Aih, aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Aku tak bisa menahanmu terlalu kekang. Memang sudah menjadi beban dan tanggung jawab dipundakmu untuk menafkahi aku dan Si Kecil. Seandainya aku bisa mengatakan bahwa aku tak ingin jauh darimu, biarlah kita hidup seadanya, asal selalu bersama. Tapi aku tak bisa merengek. Aku hanya bisa memberi saran, segala keputusan ada di tanganmu karena engkau imamku.
Si Kecil ngambek dan mengancam mogok makan mendengar ayahnya akan pergi lagi. Meski dibujuk dengan berbagai cara, dia tetap bersikukuh dengan sikapnya. Celotehan-celotehan yang polos merayumu agar ayahnya mengurungkan niat. Tapi kamu tetap keras kepala.
“ Fajar malu diledek teman-teman. Katanya Fajar tak punya ayah!”
Aku sangat mengerti perasaan si kecil. Aku berusaha menenangkan dengan mengusap dadanya. Nafasnya yang tersenggal-senggal karena menahan sakit hati. Dia terlalu kecil untuk menanggung ini semua. Si Kecil terus menangis hingga ia terlelap dipangkuanku. Sedang kamu tak ada rasa iba sedikit pun untuk sekedar menunda tekadmu. Kamu benar-benar berangkat pagi ini.
****
Sepeninggalanmu merantau, aku masih merasakan kegelisahan yang entah apa sebabnyasetiap malam kau hadir dalam bayangan mimpi buruk. Firasatku buruk. Namun aku tak ingin perasaan galau ini menjadi sugesti buruk pula padamu. Sehingga terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Naudzubillah! Aku pasrahkan segalanya kepada yang Maha Kuasa. Semoga Allah selalu menjagamu, disaat penjagaanku tak dapat menggapaimu.
Kegelisahanku bertambah-tambah karena hamper seminggu Si Kecil demam. Dia rindu dengan sang ayah. Berkali-kali aku mencoba menghubungimu, tapi selalu tak ada jawaban. Ratusan sms aku kirim tak jua kau hiraukan. Ada apa denganmu? Tak terpikirkah sedikitpun kau mengkhawatirkan anakmu? Adakah sesuatu buruk terjadi padamu? Ya Rabb, beri aku aku petunjukMu!
Siang itu handphoneku berdering. Ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal. Harapanku kali pertama saat membukanya, itu adalah kau, suamiku!
“Mulai detik ini kamu tidak usah menghubungi mas Tyo lagi. Mas Tyo sudah punya kehidupan baru disini. Tidak usah kau ganggu-ganggu keluargaku karena mas Tyo sudah tidak mencintaimu. Sepuluh bulan yang lalu mas Tyo menikahiku dan sekarang kami sudah punya anak. Urus saja hidupmu sendiri, tidak usah mengharapkan mas Tyo kembali. (ANITA)”
Astagfirullah! Inikah balasan pengabdianku padamu selama lima belas tahun? Tega kau campakkan aku seperti sampah busuk yang tak bernilai. Jiwaku terkoyak asa tak berharap. Keringlah air mataku menangisimu. Pupus sirna segala penantian. Terjawab sudah kegelisanku selama ini. Ini caramu membalas cintaku? Ah, sakit luar biasa kau tikam ulu hatiku.
Tak akan ada lagi hari dimana aku menantimu disebuah jembatan di atas rel kereta. Tak ada lagi senyum hangat penuh harapan menantimu pulang.
Cerai! Keputusan itu memberontak dalam pikiranku. Aku tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit. Yah, keputusan itu sempat hinggap dikepalaku. Doktrin teman-temanku yang anti terhadap poligami juga terus meracuni otakku. Mereka bilang tentang kehidupan yang tidak manusiawi dalam sebuah hubungan cinta segitiga. Bukan hanya ketidakadilan lagi yang akan kudapatkan tapi segala macam penyiksaan batin pun akan mengahantui hidupku. Wanita bukanlah sekedar bunga yang bisa dicicipi saripatinya lalu dibiarkan layu begitu saja. Menjadi single parent akan lebih baik daripada hidup menjadi pesakitan. Tak ada wanita yang tahan jika diduakan cintanya. Mereka memberikan keyakinan padaku bahwa aku sanggup memberi makan anakku sendiri. Segala rizki, jodoh dan maut bukan manusia yang mengatur.
Tapi, bagaimana dengan Si Kecil? Bagaimana perasaannya jika ia tahu kenyataan yang sebenarnya? Sungguh, aku tak sanggup membayangkannya.
“Bunda kenapa menangis? Jangan menangisi ayah lagi. Jika ayah sayang pada kita ayah pasti akan pulang.”
“Bagaimana kalau ayah tidak pulang - pulang?”
“Ayah pasti pulang, bun. Fajar yakin!”
Aku tersenyum getir! Tak mungkin aku melukai perasaannya yang begitu halus. Dia terlalu sayang pada ayahnya.
“Fajar, bunda mau tanya. Seandainya bunda dan ayah tidak bisa bersama lagi, Fajar akan memilih siapa? Bunda atau ayah?”
“Fajar tidak akan memilih siapa-siapa. Kalau itu terjadi Fajar akan pergi dari rumah dan memilih hidup sendiri.”
“Kenapa? Kan masih ada bunda yang sayang sama Fajar.”
Si Kecil menatapku lekat. Sinar matanya polos. Dia terlalu kecil untuk memahami ini semua.
“Kenapa bunda menanyakan hal itu? Apa ayah sudah tidak sayang lagi sama bunda? Apa ayah sudah punya keluarga baru?”
Pertanyaan ini bertubi-tubi membombardir perasaanku. Tak menyangka Si Kecil dapat membaca situasi ini. Bahkan ucapannya lebih dewasa dari usianya yang baru menginjak sepuluh tahun.
Aku mendekap anak semata wayangku dengan erat. Tak akan aku biarkan Si Kecil melakukan apa yang ada dalam imajinasinya. Aku harus tegar demi anakku. Aku yakin pernikahan yang sudah di ujung tanduk ini masih bisa aku selamatkan. Yah, aku harus memperjuangkannya. Ku bangun kembali kepercayaanku padamu. Meyakinkan diriku bahwa kau akan kembali.
Saat kami menangis bersama pintu rumah diketuk seseorang. Aku segera menyeka air mataku dan membukakan pintu. Betapa kagetnya saat kutahu yang datang adalah kau, suamiku. Dengan peluh keringat yang membasahi wajah tampanmu kusambut engkau dengan pelukan rindu. Yah, aku sangat merindukan engkau. Bagaimanapun sakit yang aku hadapi saat ini tetap saja nuraniku masih mengharapkan kau pulang. Karena aku tak mungkin mengingkari hati terdalam yang terlalu mencintaimu.
****
Mari melangkah ke depan untuk menggapai harapan. Beriringan dan saling bergandeng tangan. Lebih erat! Kita bangun kembali benteng yang lebih kokoh dari sebelumnya. Tak usah menengok ke belakang lagi, sudah cukup lelah kita melangkah. Jadikan semua pembelajaran agar menjadi hamba yang lebih baik.
Aku sambut kemenangan bahagia. Kemenangan seorang istri macam aku yang tidak mengerti apa-apa selain mencintai suami dengan segenap hati.
Pagi itu senyumku indah seindah matahari yang baru merekah. Kecupan hangat darimu menyapaku lebih awal dari matahari. Sehabis sholat subuh berjamaah kuberitakan padamu tentang kehamilanku yang memasuki dua minggu. Si Kecil bahagia sekali karena akan mendapatkan adik. Ini adalah kejutan bahagia yang berlipat-lipat. Hadiah dari Allah karena kita sudah melewati cobaan dariNya. InsyaAllah banyak hikmah yang kita peroleh.
Akan kujaga keluarga kecilku ini, tapi tentu saja dengan bantuan Allah. Yah, aku Siti Masriah, suamiku Muhammad Prasetyo, Si Kecil Muhammad Fajar Al-Maliki dan cabang bayi yang masih dalam kandung, kami adalah keluarga kecil bahagia saat ini. Berjanji akan selalu berjuang di jalan Allah. Lebih bersabar dan ikhlas menghadapi segala pemberian dariNya. Baik atau buruk sekali pun, InsyaAllah!
Kabar berita tentang keadaan Anita, wanita yang pernah dinikah siri oleh suamiku sudah kami terima lewat e-mail sebulan yang lalu. Dia menyesali perbuatannya karena telah menipu suamiku dengan menuduh suamiku mengahamilinya. Menurut pengakuannya dia adalah wanita nakal yang menjajakan diri di diskotik. Suamiku hanya korban.
Suatu malam sewaktu suamiku pulang dan aku memeluknya, dia berlutut meminta maaf lalu menjelaskan semuanya. Ternyata kenyataan yang sebenarnya tidak seperti yang aku bayangkan selama ini. Tak ada maksud sedikit pun suamiku akan berpoligami. Dia hanya mengambil sebuah keputusan salah, saat dirinya disudutkan pada permasalahan wanita. Ini kelemahannya. Seandainya dia jujur padaku dari awal mungkin aku tidak akan su’udzon. Ah, penyesalan memang selalu datang terakhir.
Demi membuktikan cintanya padaku malam itu juga dia menceraikan Anita dan lebih memilih aku.
“Demi Allah, bunda yang ayah pilih. Bunda satu-satu istri yang sholehah, penurut, penyabar dan taat. Apalagi yang kurang dari bunda. Maafkan ayah karena telah melukai hati bunda yang tulus. Maaf…”
Kulihat matanya yang berkaca-kaca itu retak dan meneteskan butiran hangat di pangkuanku. Sebenarnya aku pun sama, rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya. Hingga lepas segala beban yang menggerogoti jiwaku. Aku rapuh!
“Lantas bagaimana dengan Anita? Ada darah dagingmu disana yang juga butuh dirimu?” kataku menahan tangis.
“Sebelum pulang kesini ayah sudah mentalaknya. Besok ayah akan urus semua surat perceraian dengannya. Ayah dijebak, bun. Baru tiga bulan ayah mengenalnya saat dia mengatakan kalau dia hamil oleh ayah. Kemungkinan besar itu bukan darah dagingku.”
“Jadi ayah pernah tidur dengannya?”
Beberapa saat kau tak menjawab. Hanya sibuk menundukkan kepala. Tak sanggupkah engkau menengadah sejenak saja menatap mataku? Lalu kau jawab jujur. Apalagi lagi yang kau tutupi dari aku?
“Maaf… saat itu ayah khilaf!”
Ah, perih sekali hatiku saat kudengar kalimat itu keluar dari mulutmu. Tak kuasa aku membayangkan suami yang aku cintai bersetubuh dengan wanita lain. Dimana perasaanmu padaku saat kau melakukan itu semua?
Tapi ya sudahlah semua itu sudah terjadi. Tak mungkin bisa kita mengulangnya dan kembali mengubah cerita lama yang tak diinginkan. Saat ini kau telah kembali jadi milikku seutuhnya. Jangan lagi menyakiti hatiku. Hanya sekali saja dan jangan terulang aku melihatmu menangis, suamiku! Cukup penyesalan itu jadi pembelajaran bagimu. Aku mencintaimu lebih dari separuh nyawaku. Tak akan pernah berhenti aku mengabdi dan berbakti padamu. Meski ada bulan dan bertaburan bintang saat malam, aku tetaplah matahari untukmu. Tetap setia menyinari meski badai datang menghadang. Cintaku padamu tak akan pernah berubah dari segala musim dan waktu.
0 komentar:
Posting Komentar