SEPOTONG EPISODE BULAN DESEMBER
Edit Posted by Audrey Tatia with No comments
Gemiricik hujan mengalunkan nada pilu. Rintik-rintiknya menutup akhir tahun 2010.
Entah bagaimana awalnya Rey meneteskan butir-butir air mata pada diary yang digenggamnya erat. Ia tak dapat menutupi kegundahan hatinya yang membungbung tinggi dan menjadi beban berat dalam batinnya. Hanya menangislah satu-satunya cara untuk melampiaskan segala apa yang ia rasa.
“Setidaknya kau bicara pada Lisa tentang perasaanmu yang sebenarnya. Jelaskan padanya agar dia mengerti!”
“Tidak. Biarkan semuanya seperti ini.” tegas Dye tetap keras kepala.
“Tapi kamu seolah memberinya harapan…”
“Siapa yang memberi harapan? Dari awal aku mengenal Lisa aku anggap dia teman. Kalau pada akhirnya dia mempunyai perasaan padaku itu wajar. Dan aku tidak mau membahas ini karena takut menyakiti perasaannya.”
“Tapi…” Rey tak melanjutkan ucapannya.
“Sudahlah, hak aku untuk memilih dan menolak.”
Percakapan kemarin telah jadi memori kelam di hari-hari Rey. Meskipun waktu itu Rey hanya menyampaikan perasaan Lisa tetapi sebenarnya Rey sedang berkamuplase menjadi sosok Lisa. Setiap pertanyaan Rey adalah apa yang sebenarnya disampaikan oleh hatinya. Perasaan yang dirasakan Lisa sesungguhnya juga dirasakan oleh Rey. Mencintai seorang sahabat adalah perasaan yang menyiksa batin. Bahkan perasaan Rey terhadap Dye lebih lama dari Lisa.
Waktu delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mempertahankan perasaan yang terpendam. Banyak sekali cobaan dan hasrat untuk mengngkapkannya. Akan tetapi semua itu bisa dilewati Rey dengan prinsip yang teguh bahwa tak ingin mengubah persahabatan yang sudah terjalin dengan nyaman. Yakin bahwa mencintai tak harus memiliki. Hanya dengan saling berbagi dan dapat berkorban itulah ketulusan cinta yang sebenarnya.
“Hak aku untuk memilih dan menolak.” Ucapan Dye seakan terus terngiang ditelinganya meskipun bukan untuknya, tapi Rey sangat yakin dia akan merasakan hal yang sama jika dia ada dalam posisi itu. Bahkan mungkin lebih buruk.
Yah, kenyataan itu benar-benar terjadi! Ucapan itu berlaku juga untuknya. Bagai busur panah yang menancap dan membuat lubang dihatinya karena tak menyangka sesuatu yang ia takutkan selama ini terjadi. Dye tahu perasaannya!
“Sudahlah Rey jangan kau sesali sesuatu yang sudah terjadi. Memang sudah takdirnya Dye tahu perasaanmu dengan cara seperti ini.”
“Tapi aku juga punya hak untuk mencintai seseorang dengan caraku sendiri.”
“Sampai kapan kamu akan menyembunyikan perasaanmu? Sedangkan semua orang juga bisa menbaca matamu kalau kamu punya perasaan khusus pada Dye. Dan memang sudah saatnya kamu pun tahu bagaimana perasaan Dye sama kamu.” Jelas Danea.
“Tapi aku belum siap, apalagi dengan cara seperti ini. Dye tahu perasaanku dari buku diary dan itu privacyku.”
“Kalau menurutku sebenarnya tanpa membaca diarymu sekalipun Dye udah tahu sejak lama, hanya saja dia tidak bicara langsung padamu karena dia menghargai persahabatan kalian. Seperti halnya pada Lisa.”
Rey masih terisak. Sebentar dadanya terasa sangat sesak. Biasanya dengan mengurut dada Rey sudah merasa baikan, tapi kali ini tidak. rasa nyeri didadanya begitu kuat dan sakit.
“Sekarang Dye memang tahu tapi aku yakin dia tidak mengerti.”
Dye memang egois! Orang paling egois yang pernah dikenal Rey. Saat ini Dye lebih menjadi ‘babu’ atas orang yang dia pilih daripada Rey. Dye agungkan segala pengorbanan wanita itu padahal Dye baru mengenalnya. Tapi, Dye tidak pernah menghargai sedikitpun pengorbanan Rey selama ini.
Rey ingat Dye pernah mengatakan bahwa Rey hanyalah salah satu orang yang care padanya. Mungkin itu tidak akan pernah lebih. Lagipula Dye tidak pernah mau tahu tentang perasaan Rey. Bahkan setelah Dye tahu pun Dye mengatakan penyesalannya dicintai seorang ‘itik buruk rupa’. Rey sangat tahu meskipun ucapan itu tidak langsung ditujukan padanya, Rey mengerti maksud Dye sebenarnya adalah menyuruh Rey untuk berkaca! Berkaca arti dirinya dihadapan Dye. Akan tetapi nyatanya Rey lebih tahu diri tanpa Dye menyuruhnya sekalipun. Dalam hal ini Rey bukanlah orang yang paling bersalah. Diapun tak menganggap dirinya terlalu hina untuk mencintai seorang Dye.
Bertahun-tahun Rey memendam perasaan untuk Dye tanpa berani menyinggungnya sedikitpun, berusaha menjadi Fatimah yang mencintai Ali bin Abi Thalib. Karena Rey sangat tahu Dye tidak akan pernah bisa menerima ‘itik buruk rupa’. Rey tidak pernah berharap sekalipun itu dalam mimpinya untuk memiliki Dye. Rey hanya mencintainya dengan tulus tanpa mengharap balasan yang sama.
Ah, sudahlah terlalu perih untuk diingat. Rey memutuskan untuk diam saja. Tak akan ada gunanya ia mengklarifikasi dan memaksa Dye untuk mengerti. Sampai kapanpun orang egois seperti dirinya tidak akan pernah memahami arti ketulusan.
Tepat hari itu juga handphone Rey tidak berhenti bordering. Beberapa pesan masuk belum sempat dibacanya.
“Halo?” sapa Rey kemudian.
“Kok baru diangkat sih? Kamu dimana?” tanya seseorang diujung telepon.
“Aku di rumah Danea.”
“Suaramu kok aneh, kamu habis nangis ya? Kenapa?”
“Enggak kok. Aku enggak apa-apa.” Dusta Rey.
Sudah beberapa minggu ini Rey punya pengagum rahasia. Namanya Yoga. Awal dia menelpon Rey, dia tahu semua tentang Rey bahkan dia mencintai Rey sejak lima tahun yang lalu. Dia mengaku kalau sebenarnya dia adalah kakak kelas Rey sewaktu SMP. Baru kali ini dia berani mendekati Rey walau itu dengan cara misterius seperti ini. Dia bilang sayang pada Rey bahkan setiap hari memberi Rey perhatian melebihi perhatian ibunya.
Tapi, lama-lama Rey penasaran dan beberapa kali membujuknya untuk bertemu agar Rey tahu siapa orang yang begitu tulus mencintai orang sepertinya. Namun selalu gagal karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. Jika sudah begitu, Rey pun tak mungkin memaksanya lagi. Rey mengerti setiap orang punya caranya sendiri untuk mencintai. Dan Rey sudah cukup senang karena masih ada cinta untuknya.
“Kak..”
“Ehm, Kenapa?”
“Ini permintaanku yang terakhir dan aku tidak akan memaksa lagi. Ijinkan aku bertemu kakak!”
“Kalau sudah bertemu mau apa? Jika sudah waktunya aku akan langsung datang ke rumahmu bersama kedua orang tuaku.”
“Maksud kakak?”
“Aku akan melamarmu.”
“Tidak segampang itu, kak! Kakak tahu semua tentang aku tapi aku tidak tahu kakak…”
“Yang penting kamu tahu aku sayang sama kamu, Rey!”
Yah, beginilah rasanya dicintai, sangat bahagia. Serasa ada yang terus memantau dan menyemangati. Mengerti arti dan tujuan hidup. Ada inspirasi untuk mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun sesungguhnya Rey tak pernah melepas bayangan Dye dalam benaknya. Huft, so must go on! Masih ada yang menyayanginya dengan tulus. Hidup bukan hanya bertahan untuk satu orang saja.
Setiap kali Rey bersedih mengingat perlakuan dingin Dye, sejenak Yoga hadir bagai peri pembawa kegembiraan. Mengubah hari-harinya lebih indah. Sampai suatu hari Rey berhasil membujuk Yoga untuk menemuinya di dekat dermaga. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang aneh dengan syarat yang diajukan Yoga agar mereka bisa bertemu.
“Aku akan menunggumu jam sepuluh pagi. Tapi ada syaratnya…”
“Apa itu kak?”
“Kamu harus datang sendiri.”
“Kenapa?”
“Ya..aku hanya ingin bertemu denganmu saja bukan dengan orang lain.”
Rey mengiyakan. Ia tak ingin menanyakan hal-hal yang aneh tentang syarat yang diberikan Yoga yang bisa mengubah keputusan Yoga untuk bertemu dengannya. Rey sangat bahagia akan bertemu dengan kekasih misteriusnya. Kebahagiaan ini ia kabarkan juga pada sahabatnya, Danea. Tentu saja Danea merasa senang melihat sahabatnya bangkit dari keterpurukan. Rey mengatakan pada Danea ia berjanji akan menerima seperti apapun Yoga nantinya. Ia tak lagi memikirkan tampang, cukup dia mencintai Rey dengan tulus dia akan menerima Yoga apa adanya.
“Tapi Rey kamu kan hanya tahu Yoga dari telepon. Semuanya bisa dimanipulasi lho! Kamu belum benar-benar mengenal siapa dia…” ungkap Danea menjelaskan kekhawatirannya.
“Yaa, aku tahu itu. Makanya besok aku akan mencari tahu siapa dia.”
“Perlu aku temani?”
“Enggak usah. Yoga menyuruhku datang sendiri.”
“Tapi…”
“Aku bisa jaga diri…” Rey meyakinkan Danea agar tidak khawatir.
****
Pagi itu Rey datang ke demaga lebih awal. Matahari masih hangat menyinari hari yang mulai cerah. Rasa penasaran campur bahagia ia rasakan kala itu.
“Kamu dimana?”
Rey mengirim pesan singkat pada nomor Yoga. Beberapa lama tak ada balasan. Rey kirim ulang pesan itu, masih tak ada balasan juga. Rey mencoba menghubungi nomornya berharap bukan kesengajaan Yoga tak membalas pesannya.
Ada pesan dari Yoga. “Aku udah sampai, kamu dimana?”
Rey mengerutkan kening. Seharusnya dia yang bertanya demikian. Sungguh, aneh! Rey tidak langsung membalas pesan itu dia berusaha mencari-cari disekitarnya. Siapa tahu Yoga benar-benar sudah datang hanya saja Rey tidak melihatnya. Rey melayangkan pandangannya mengitari setiap sudut dermaga tempatnya berdiri saat itu namun tidak ada seorang pun disana. Sepi. Lagipula jika ia mencari sosok Yoga, tak ada bayangan sedikitpun dalam benaknya. Bagaimana wajahnya? Tinggi badannya? Atau apapun! Yang Rey tahu hanya suara Yoga.
“Aku ada di dermaga dekat dengan pohon akasia di sebelah timur.” Jelas Rey dalam sms.
“Aku ada di dekatmu, Rey!”
Rey kaget mendapat balasan sms seperti itu. Antara tidak mengerti dan takut. Rey merasakan ada hal aneh sedang terjadi padanya. Rey melirik kesamping kiri dan kanan. Tak ada apa-apa kecuali dirinya yang benar-benar sedang berdiri sendiri.
“Kakak jangan bercanda. Aku enggak lihat siapa-siapa disini.”
“Kamu memakai kemeja putih, jeans abu-abu dan kerudung yang senada, kan?”
“Iya. Kakak dimana?”
Rey terus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya Yoga inginkan darinya? Serumit inikah memahami cinta? Caranya mencintai benar-benar tidak logis. Atau ini adalah bagian dari sebuah permainan? Ah, Rey tidak mengerti.
Satu jam Rey menunggu tanpa ada kepastian. Sms yang terakhir dikirimnya tak juga ada balasan. Rey benar-benar merasa dipermainkan. Ia sudah mengelilingi dermaga untuk mencari sosok yang ia harapkan kedatangannya. Tapi siapa dia? Rey tak mengenalinya. Ia hanya bermodalkan nama dan suara? Huft, ratusan orang didunia ini memiliki nama dan suara yang sama.
Tiba-tiba seseorang keluar dari balik pohon akasia. Dia jelmaan dewa yang datang kemudian merangkulku.
“Danea…”
“Aku tahu kamu akan menangis lagi makanya aku diam-diam mengikutimu.” Jelas Danea seolah tahu apa yang akan Rey tanyakan.
“Aku seperti mengharapkan angin. Sesakit inikah cinta untukku?”
“Ada banyak hari yang lebih indah yang akan kau dapatkan daripada menangisi hari ini. Bangunlah! Semuanya akan berlalu.”
Rey tetap menangis. Entah siapa yang akan dia salahkan? Semuanya begitu abstrak untuk ia artikan maknanya. Dia terus menanyakan dirinya pada Tuhan? Salah apa yang telah diperbuatnya sehingga harus mendapat hukuman seberat ini. salahkah bila dia mencintai atau dicintai?
Akhirnya Rey benar-benar angkat tangan dengan masalah yang menimpanya. Memutuskan untuk kembali pada perasaan yang hampa tanpa harus mengingat dan merasakan sesuatu yang menyakitkan seperti ini. Mencintai atau dicintai keduanya sulit untuk dijalani jika pada akhirnya akan sesakit ini. Segala sesuatu yang ada di dunia ini terkadang banyak yang mengecewakan.
Cinta! Ah, lima huruf yang menghadirkan khayalan masa indah sekaligus mengingatkan berbagai persoalan sebagai bumbu-bumbu pelengkapnya. Cinta, kata yang tidak pernah habis untuk diartikan. Semua orang mencoba mengartikannya dengan persepsi dan caranya sendiri. Akibatnya kata yang paling banyak artinya kata itu tak lain adalah cinta.
0 komentar:
Posting Komentar