SAYAPKU PATAH KETIKA AKAN TERBANG
Edit Posted by Audrey Tatia with No comments
Pujangga adalah seekor burung dari suasana hati yang terasing. Ia turun dari tempatnya yang tinggi menyambangi kita. Sekedar untuk bernyanyi. Apabila kita tidak menghargainya maka ia akan mengepakkan sayap-sayapnya, terbang kembali ke tempat tinggalnya semula.
Alvira menggenggam erat potongan kertas usang yang terselip di buku diarynya. Ia mengingat-ingat kapan ia menulis kalimat serumit itu?
BLUUUKK….
Seorang lelaki tidak sengaja menyenggol ujung lemari sehingga menjatuhkan buku-buku. Semua penghuni perpustakaan serentak menatap ke arahnya. Sebagian dari mereka kompak menyimpan kuat-kuat jari telunjuknya di depan bibir moyong lima senti.
“Sssttt……”
“Maaf!” lelaki itu berkata gugup dan membereskan kembali buku-buku yang berserakan di lantai.
Alvira yang melihat kejadian itu langsung meninggalkan perpustakaan dengan perasaan yang bercampur aduk. Marah, gusar dan jengkel! Moodnya untuk mendapatkan ketenangan terusik.
“Sejak kapan kamu suka ke perpustakaan?” tanya Alvira pada Rubi saat mereka beradu pandang di dalam kelas.
Rubi tak menjawab. Rubi hanya menatap Alvira lekat lalu mengedip santai. Sungguh, Alvira sangat membenci tatapan itu. Tatapan yang membuat seluruh daya dan kekuatan untuk bertahan dihadapannya musnah! Seandainya tatapan itu hanya untuk Alvira, mungkin ia akan menikmatinya. Yeah, sebenarnya Alvira menyukai Rubi. Segala apa yang ada pada Rubi! Tatapannya, senyumannya, bahkan kehadirannya sebagai siswa baru di sekolahnya. Namun ia terlalu cemburu melihat kedekatan Rubi dengan Sarah. Siswi populer yang berhak mendapatkan apapun yang dia inginkan. Termasuk lelaki yang disukainya. Sebulan yang lalu mereka langsung terpilih menjadi ‘best of couple’ dimalam innagurasi.
“Berhenti menatap aku seperti itu!” pinta Alvira sedikit keras.
“Memangnya apa yang kau lihat dimataku?”
Permainan cinta. Kau ikat hatiku dengan tatapanmu. Sejenak kau buat aku asing dengan perasaanku sendiri. Namun kamu tidak bisa tegas. Sebenarnya siapa yang kamu inginkan? Aku atau Sarah? Alvira berkecamuk dengan pikirannya. Tapi kata-kata itu tak mungkin ia ucapkan dengan jujur pada Rubi. Begitu kaku dan munafik.
“Apapun maksud dari tatapanmu itu jangan harap kamu bisa mewujudkannya!” ancamnya.
“Sejak dulu kamu tau apa yang aku inginkan. Belum cukupkah puisi-puisi yang kutulis untukmu sebagai ungkapan perasaanku? Lalu pengorbananku pindah dari Bandung ke Jakarta agar selalu bisa dekat denganmu. Kenapa kamu begitu bodoh tidak bisa mengartikan itu semua?!”
“Aku sudah memberimu kesempatan. Tapi kamu sia-siakan seolah aku tidak berarti buatmu. Kamu terima Sarah padahal ada aku yang kau sebut sebagai kekasihmu. Kamu tau apa rasanya dikhianati? Sakit!” ucap Alvira dengan sura parau karena menahan tangis. “Kehadiranmu saat ini bagiku sama halnya dengan angka NOL. Tidak berarti sama sekali.”
Rubi geram. Ia tak menyangka Alvira akan mengatakan itu padanya. Sementara Alvira berusaha tetap tegar dengan perasaannya. Alvira merasakan sesak didadanya. Ia sembunyikan mata yang berkaca itu dari Rubi. Setelah merasa cukup tak ada lagi yang ingin dia ucapkan, Alvira beranjak pergi.
Namun Rubi menarik tangan Alvira kasar. Alvira tak dapat mengelak. Tubuhnya terhempas begitu saja dihadapan Rubi membuat pandangan mereka saling bertabrakan. Tatapan Rubi berubah menjadi rasa marah yang berapi-api.
Alvira menyadari itu. Ia membuang pandangannya dan di tempat pembuangan itulah ia melihat seorang wanita berdiri diambang pintu.
“Sarah?”
Rubi mengalihkan pandangannya ke arah suara yang dituju Alvira. Lalu ia mendekati Sarah dan mengajaknya ke kantin. Selalu seperti itu yang terjadi. Rubi selalu menganggap enteng perasaannya. Seolah-olah semua ini hanyalah permainan. Itu yang membuat Alvira benci setengah mati.
Bel rumah Alvira berbunyi.
“Alviraaaa……. i’m coming!!!”
Suara khas Sarah melengking mengalahkan alarm di kamarnya. Alvira segera merapikan seragamnya dan segera keluar dari kamar. Ia tak akan membiarkan sahabatnya itu merajalela dirumahnya. Rutinitas Sarah setiap hari sudah menjadi cacatan kelam yang merusak mood Alvira untuk menjalani hari-harinya.
“Hai putri tidur … mendung sekali hari ini?!” sapa Sarah yang yang tiba-tiba nongol diambang pintu.
“Masih ngantuk….”
“Hari ini aku ada janji sama Rubi sarapan di kantin dan aku mau kamu ikut.” Kata Sarah sambil menarik tangan Alvira.
Di perjalanan menuju sekolah Alvira lebih banyak diam mendengarkan celotehan Sarah yang terus menceritakan kedekatannya dengan Rubi. Dia sangat tahu bagaimana perasaan Sarah yang begitu mengagumi Rubi. Baginya Rubi sosok lelaki yang sempurna. Namun Sarah tidak akan pernah tahu rasa sakit yang dideritanya. Sejak pertama kedatangan Rubi di sekolah Sarah sudah mengincarnya. Dengan memanfaatkan kepopulerannya sebagai ketua OSIS Sarah menggaet Rubi menjadikannya kapten basket sekaligus sebagai kekasihnya.
Tiba-tiba ada satu kalimat yang membuat Alvira tertegun.
“Maksudnya apa?”
“Kemarin Rubi menceritakan tentang pacarnya yang dari Bandung. Ternyata Rubi pindah ke Jakarta karena ingin dekat dengannya. Rubi sangat mencintai dia dari dulu sampai sekarang. “ Sarah mengulang perkataannya seraya berkonsentrasi menyetir.
“Awalnya aku risih mendengar itu semua. Rasanya aku ingin membunuh perempuan itu. Tapi, setelah aku tahu kalau perempuan itu KAMU… “ perkataan Sarah tertahan.
“Hah?!” Alvira gugup.
Tiba-tiba Sarah mengerem mobilnya dan memarkirnya di tepi jalan. Sarah memperbaiki posisi duduknya dan memasang wajah serius. Alvira merasa takut terjadi apa-apa pada dirinya. Ia teringat kisah di film-film tentang seorang sahabat yang membunuh sahabatnya sendiri hanya gara-gara masalah cinta.
“Ra, aku sangat mencintai Rubi dan kamu tahu itu. Apapun masa lalunya denganmu jangan pernah diungkit-ungkit lagi. Aku tidak perduli sampai saat ini kalian masih saling mencintai atau tidak. Aku tak ingin kehilangan Rubi…”
“…..” tak ada jawaban dari Alvira.
“Aku mau kamu melupakan Rubi!”
Alvira menunduk lesu. Dia tidak tahu bagaimana cara mengartikan kalimat Sarah. Apakah sebagai ancaman atau justru permintaan seorang sahabat? Tetapi dia merasakan hatinya remuk redam. Tak ada yang mengerti hatinya. Begitupun sahabatnya sendiri.
Rubi masih terus memandangi Alvira yang sedang duduk dibawah pohon rindang taman sekolah. Ia masih ragu untuk mendekati Alvira yang setengah mati membencinya. Tapi ia juga tak bisa menolak hasrat hatinya yang ingin selalu dekat dengan seseorang yang dicintainya.
“Kamu tidak bosan memandangi dia terus?!”
“Sarah….?” Ekspresi Rubi berubah menjadi kaku.
“Aku memberimu ijin satu jam untuk bersama dia. Sebelum dia benar-benar pergi….”
“Maksudnya?!”
“Alvira mengikuti program student exchange dan dia terpilih. Minggu depan dia berangkat ke London…!”
Rubi merasakan getaran yang hebat di dadanya setelah mendengar kabar itu. Dia benar-benar tidak sanggup untuk kehilangan Alvira yang kesekian kalinya. Kali ini dia sadar betapa menyesalnya dia karena sudah menyia-nyiakan wanita yang dicintainya.
Rubi berlari mendekati Alvira dan tersungkur di hadapannya.
“Maafkan aku?!”
“Aku sudah memaafkanmu dari dulu … kamu kenapa?” tanya Alvira yang heran melihat Rubi memelas.
“Apa benar kamu mau pergi?”
“Iya.”
“Please.... jangan tinggalin aku. Sampai saat ini aku masih sayang sama kamu! Aku tau kamu juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.”
“Maaf Rubi … tapi perasaanku perlahan memudar! Kamu sudah memilih Sarah, sahabatku. Dan aku memutuskan untuk mengalah.”
“Status kamu masih pacarku, Ra! Sampai kapanpun itu tak akan pernah berubah. Aku menyesal telah menyia-nyiakanmu. Aku akan tinggalin Sarah dan kembali sama kamu. Kita rangkai mimpi-mimpi kita yang dulu. Dan aku akan penuhi janji-janjiku yang sempat tertunda.”
“Sudah terlambat…..”
“Ra, aku mohon! Aku ingin seperti dulu lagi. Terbang bersama seperti merpati yang mengalahkan indahnya bintang-bintang. Itu yang selalu kamu ucapkan padaku.”
Alvira menarik nafas berat. Ia memunguti serpihan hatinya yang luluh lantak. Mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya agar tetap terlihat tegar dihadapan Rubi. Ia terlanjur menyepakati perjanjiannya dengan Sarah yang tetap ingin memiliki Rubi seutuhnya.
“Maaf…. Aku sudah tidak bisa terbang lagi bersamamu.”
Alvira meninggalkan Rubi yang masih berlutut di tanah. Dia sudah tak mau lagi menggadaikan perasaannya untuk sebuah permainan cinta. Dia merasa yakin akan tetap tegar dengan keputusannya meski hatinya merasakan sakit yang luar biasa.
Rubi tak bisa lagi mencegahnya. Kali ini dia benar-benar kehilangan Alvira. Perjalanan cintanya berakhir dengan pilu.
0 komentar:
Posting Komentar