Rabu, 15 Februari 2012

SEMINGGU TERAKHIRMU

Edit Posted by with No comments
“Matanya tajam membuat hatiku tertusuk, namun dia tak sadar dan tak rasakan itu!” kesalku dalam hati. Sesaat setelah bel berbunyi teman-teman meninggalkanku. Benar-benar hari yang menyebalkan. Semua orang tak peduli padaku seakan aku tak ada di dunia ini. Aku berjalan sendirian di lorong sekolah sambil merenungi apa yang telah aku lakukan. Tugas dari buku-buku tebal menambahi berat beban. Aku terus menunduk dan berjalan perlahan. Tak kusadari bahwa didepanku ada orang yang tergesa-gesa dan tidak sengaja menabrakku hingga menjatuhkan buku-buku tebal dan kertas-kertas tugas di pangkuanku. Diapun kaget. “Oh sorry… aku buru-buru! Maaf yaa…” ucapnya sambil membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Aku yang tak percaya akhirnya aku bisa bertemu dia sedekat ini. Terpaku di tempatku, membisu dan tak berbuat apa-apa. Lututku terasa lemas. Duniapun seakan berhenti berputar. Lalu dia memberikan buku-buku itu dan segera berlalu dari hadapanku setelah ia tersenyum manis padaku. **** Keesokan harinya di kelas aku melamun dan tak sadar teman-temanku sudah datang. “Sya… sorry ya, kemarin aku buru-buru ninggalin kamu di kelas soalnya aku udah terlambat les!” “Iya Sya, aku juga minta maaf ya soalnya kemarin aku ada urusan keluarga.” Delia dan Risma saling berpandangan. Mereka heran melihat aku yang lagi bengong dan tak menggubris omongan mereka. “Marsya…..?? haloww…” Delia mengguncang tubuhku. “Eh, kalian udah datang.” Kataku yang baru sadar dari lamunan. “Sya, kamu marah ya gara-gara kemaren kita tinggalin kamu di kelas?” “Enggak kok malahan aku berterima kasih …..” “Lho?!” “Justru kalau kalian enggak ninggalin aku, aku enggak bakalan ketemu sama…..” “Sama siapa hayoo??” “Ada deh! Want to know aja..” godaku. “Ya Marsya kok gitu sih?!” Aku membiarkan mereka penasaran dengan ceritaku. Aku hanya ingin menikmati kebahagiaanku sendiri saja tanpa ingin ada yang mengganggunya. Biarkan saja cerita cintaku mengalir dengan sendiri sampai aku menemukan ending kebahagiaan seperti di dongeng-dongeng. Pada jam istirahat aku melewati lorong sekolah itu kembali, mengenang kejadian kemarin. Ku terus melamun selama perjalanan ke kantin. Delia dan Risma berbisik di belakangku. “Del, kayaknya Marsya beneran ngambek deh sama kita gara-gara kemaren.” “Ihh, itu kan salah kamu kenapa enggak bilang dulu sama dia kalau kita mau pulang duluan…” Di tengah pertengkaran Delia dan Risma, tiba-tiba aku dibuat terpana oleh seorang cowok yang berjalan ke arahku. Andre, kakak kelasku yang aku taksir sejak awal masuk sekolah melintas tepat di depan mataku. Aku terpaku dan membeku. Delia dan Risma yang sedang asyik berjalan di belakangku, tiba-tiba menabrakku hingga terjatuh. “Ya ampun Marsya, kenapa enggak bilang kalau mau berhenti?” gerutu Risma. “Kamu kenapa jadi aneh begini?” “Aku enggak apa-apa kok. kalian berdua tenang aja.” Sejak saat itu aku seringkali melamun dimanapun aku berada karena bayangan Andre selalu ada di dalam pikiranku yang membuat aku tak sanggup lagi memandang kehidupan nyata. Keadaan ini membuat kedua sahabatku khawatir. Aku tak berani untuk berceritakan pada mereka kalau aku jatuh cinta pada Andre. Aku sadar aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Pastilah aku akan kalah saing dengan cewek-cewek cantik yang berusaha mendekati Andre. Aku melihat siapa diriku di depan cermin dan aku sadar semua itu. Aku tak mungkin bisa memiliki Andre. Jika sudah begitu tak ada yang dapat aku perbuat selain menangis. Tentu saja hal itu membuat teman-temanku khawatir dan cemas. **** Di tengah teriknya matahari, setelah aku turun dari angkot tiba-tiba ada sebuah mobil melaju dengan kencang menabrak motor dan mobil itu pun segera kabur. Aku yang saat itu menyaksikan kejadian itu menjerit histeris dan segera berlari ke arah pengendara motor yang terpental sejauh kurang lebih lima meter dari jalan raya. Jalanan sepi. Aku bingung harus minta bantuan pada siapa. Ketika aku mendekati pengendara motor itu terlihat dia masih sadar dan sesekali menggerakkan tubuhnya. Dia berusaha melepas helm dengan sekuat tenaga. Beberapa bagian tubuhnya terluka dan berlumuran darah. Aku mencoba membantunya melepas helm. Lalu aku mengeluarkan tissue untuk mengelap darah yang melumuri wajahnya. Aku menyelidiki pemilik wajah yang samar-samar aku kenali. “Andre?!!” Aku tak percaya jika yang kulihat adalah benar-benar Andre, kakak kelasku yang aku taksir. Kepalanya terluka karena benturan keras. Lengannya terkulai. Sesekali dia mengaduh karena menahan sakit sampai akhirnya dia pingsan. Tak sadar butiran hangat jatuh dari mataku. Aku tak sanggup menyaksikan kejadian ini. 20 menit kemudian aku sudah di rumah sakit. Aku duduk di kursi ruang tunggu dengan pakaian seragam yang berlumuran darah dan air mata yang mengalir. Andre ada di ruang UGD. Aku menunggu dan terus menunggu. Kemudian Delia dan Risma datang setelah mengetahui kejadian itu. Seketika tangisku meledak. “Aku takut kehilangan Andre…” kataku diantara isak tangis. “Kita ngerti banget apa yang kamu rasakan sekarang, Sya. Sabar ya…” “Iya Sya, mending kita banyak berdoa buat kesembuhan Andre.” Aku tetap tak bisa membendung air mataku. Rasa takut itu terus menyelimuti perasaanku. **** Sudah tiga hari Andre koma. Dia mengalami cidera hebat di bagian perut, tangan dan kepala. Entah berapa puluh jahitan yang dokter berikan. Selama Andre koma aku selalu ada menemaninya, mengajaknya bicara meski dia tak memberi respon. Aku hanya punya harapan dia bisa sembuh kembali. Aku berjanji tidak akan pernah mengganggu hidupnya dengan perasaan konyolku. Biarlah aku yang memendamnya sendirian saja. Ini hari keempat Andre di rawat di rumah sakit. Seperti biasa aku menemaninya semalaman suntuk. Tidur lelap disampingnya. “Marsya….” Malam itu aku terjaga saat aku mendengar seseorang memanggil namaku dengan lembut. Aku membuka mata. Namun saat aku bangun aku benar-benar terkejut melihat Andre sedang memandangku lekat. Dia sudah sadar dari koma. Aku ingin berteriak dan melompat tapi aku urungkan niatku karena itu tak mungkin aku lakukan di rumah sakit. Meskipun wajah Andre masih pucat tapi senyum manisnya menghapus semuanya. Seolah tak pernah ada rasa sakit yang pernah ia rasakan. Dan tatapannya masih sama seperti dulu, lekat dan tajam menusuk ulu hatiku. “Hei, kok bengong?” “Kamu tahu namaku?” “Iya, kamu Marsya adik kelasku di SMA Tunas Bangsa kan?” “Ehm…” aku senyum terpaksa. Yah, sedikit senang karena akhirnya Andre tahu namaku meski hanya dianggap sebagai adik kelas saja itu lebih dari cukup bagiku. “Terima kasih karena kamu mau menolongku dan menjagaku. Maaf sudah merepotkan!” “Oh iya, enggak apa-apa kok. Siapapun yang melihat kecelakaan seperti itu pasti akan melakukan hal sama. Bukan hanya aku.” “Kamu baik, cantik lagi. Kenapa ya aku baru menyadarinya?” Ucapan Andre membuat mimik wajahku berubah menjadi semu merah. Kamu kemana aja baru menyadari itu semua? Selama ini ada aku yang mengagumimu, bahkan setiap hari menguntitmu di sekolah. Huft, mungkin sudah takdirnya aku bisa dekat dengan Andre dengan cara seperti ini. Tidak romantis! Cukup lama kami mengobrol dan tak sadar banyak kesamaan diantara kami. Hobi membaca, tidak suka keramain, selalu jenuh dengan keadaan yang tidak pernah berubah dan terkesan monoton. Tidak hanya itu, makanan dan minuman favorit pun hampir sama. Bahkan alergi pada kucing juga sama. Selama Andre di rumah sakit entah kenapa aku selalu ingin menjenguknya. Bersamanya aku seperti menemukan duniaku yang hilang. Sesekali Delia dan Risma juga menemaniku ke rumah sakit. Kita bercanda bersama layaknya sahabat yang akrab. Aku sangat senang. Pokoknya tidak ada kebahagiaan yang bisa menggantikan kebahagiaanku saat itu yang berada di samping Andre. Meskipun aku masih ragu untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Andre. Ah, aku tak ingin merusak moment bahagia ini. Andre baru saja diperiksa oleh dokter saat aku datang. Wajahnya pucat. Entah apa yang terjadi. Tidak ada yang memberitahuku perihal keadaan Andre yang sebenarnya. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk. “Marsya…!” “Iya Dok, Ada apa?” “Bisa ikut saya sebentar?!” Aku mengangguk dan mengekor Dokter Faris keluar dari ruangan tempat Andre di rawat. “Jaga pacarmu baik-baik ya.” “Pacar? Maksud dokter? “Andre itu pacarmu kan? Tidak mungkin kamu setiap hari menjenguknya kalau bukan karena kalian pacaran.” “Eeng…” “Keadaan Andre semakin kritis. Aku harap Tuhan tak mengambil mukjizatNya dari Andre.” Potong dokter Faris membuat aku terhenyak. “Maksud dokter apa?” Dokter Faris menghela nafas panjang sebelum ia meneruskan ucapannya. “Jagalah Andre. Berikan kenangan terindah disisa waktunya.” Aku merasa aneh, tapi tanpa diminta pun aku akan selalu membuatnya tersenyum. Namun ternyata tidak seperti yang aku bayangkan. Sepulangku dari toilet aku tak menemukan Andre di ruangannya. Andre masuk UGD lagi. Lama sekali dia disana semakin menambah kekhawatiranku. Tiba-tiba Dokter Faris keluar dari ruangan itu dengan wajah suram dan aku tahu artinya. Dia berkata, “Tabahlah! Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain.” Hatiku hancur lebur bagai abu. Pupus sirna harapanku untuk selalu bersama Andre. Aku memang tak bisa memilikinya. Benar-benar tidak bisa. Aku menyesal karena tak ada disaat detik-detik terakhirnya. Mengapa kebahagiaan ini harus berakhir seperti ini? mengapa secepat itu kau pergi? Usai pemakaman Andre, aku tak langsung pulang. Delia dan Risma menemaniku sebentar dan kemudian pergi meninggalkanku. Saat itulah aku menangis disana. “Aku tahu seminggu terakhir itu adalah waktu singkat untuk mengenalmu lebih dekat. Demi mencoba memberikan kenangan manis untukku, kamu abaikan rasa sakit yang kamu derita bahkan kamu ingin terlihat kuat dihadapanku. Terima kasih untuk seminggu terakhir yang kau luangkan untukku. Maaf, aku tak sempat mengatakan bahwa sangat mencintaimu. Aku harap kamu dapat mengerti hatiku. Selamat jalan! Semoga kau dapatkan tempat terindah bersama Tuhan. Meskipun perih aku akan coba hadapi kenyataan pahit ini.”

0 komentar:

Posting Komentar