Selasa, 02 September 2014

Renungan Selasa Pagi

Edit Posted by with No comments
Seperti hari sebelumnya ketika datang ke kantor ia menyapa dengan ramah. Senyum tak pernah lepas dari bibir. Serta sorot mata yang teduh. Lalu ia mulai berkata:

Keberhasilan seorang guru adalah ketika melihat anak didiknya bisa berhasil di bidangnya. Hebatnya seorang guru ketika ada anak didiknya bisa melampui kehebatan gurunya. Tugas seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu yang dikuasainya, namun tugas terbesarnya adalah menggali segala potensi dalam diri muridnya hingga ia terbentuk seperti apa yang diinginkan (cita-cita) dengan sebaik-baiknya.
Guru sudah seharusnya bangga ketika mendengar seseorang bisa menghasilkan karya apalagi dalam bentuk tulisan. Seseorang bisa dikatakan hebat ketika ia sudah bisa menulis, orang sepintar apapun kalau tidak menulis itu tidak ada apa-apanya. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya. Persis seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: Seseorang yang tidak menulis akan hilang dari pusaran masyarakat.
Manusia hidup harus punya nilai tambah atau edit value.  Jika kita hidup diantara orang-orang mati, maka hidup adalah edit value. Namun jika kita hidup diantara orang-orang hidup maka hidup adalah standar. Cantik/ganteng berada diantara orang-orang jelek maka cantik/ganteng adalah edit value. Tapi jika kebanyakan orang cantik/ganteng maka cantik/ganteng adaah nilai standar. Sepeti menulis, guru bahasa indonesia tak terhitung jumlahnya dan bukan sedikit pula orang yang tahu teori menulis namun tetap bernilai nol besar ketika ia tidak menghasilkan karya tulisannya. Menggali potensi diri atau bakat lalu menonjolkannya ditengah-tengah masyarakat lalu jadikan itu sebagai edit value.
Banyak cara untuk mencari edit value dalam diri kita. Salah satunya adalah memiliki waktu yang proposional. Jangan hanya fokus pada satu titik saja. Tentu sangat menyenangkan ketika kita menyenangi satu hal. Memaksilkan kemampuan, tenaga, dan waktu. Tapi ingat sebuah hadits yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa lepas dari tiga hal: kecerobohan, prasangka, dan iri/dengki. Hanya kadar dan cara mengatasinya yang berbeda. Kecerobohan, manusia tempatnya khilap dan dosa. Ketika kita asyik mengerjakan suatu pekerjaan, menghabiskan waktu, bangga ketika diberi kepecayaan penuh, sehingga kita mengerjakannya dengan lapang, ridho, tentu barokah pun kita dapat. Namun ketika dihadapkan pada tanggung jawab menafkahi dan realita hidup yang sebenarnya. Semua itu akan berubah: pola pikir, kebutuhan, bergesekan dengan idealisme. Prasangka, manusia tak akan lepas dari prasangka kepada manusia yang lainnya. Baik maupun buruk.  Ambil satu contoh penilaian dari segi materi. Bandingkan ketika seseorang yang kerja keras membanting tenaga, mengerahkan kemampuan, tenaga, dan waktu namun ia mendapat penghasilan yang sekadarnya. Lalu ada seseorang yang tak bekerja sama sekali namun ia mendapat penghasilan di atas rata-rata. Sensitif sekali memicu prasangka buruk. Ketika tersadar akan realita tersebut isi dada dan pikirannya bukan lagi semangat memperoleh barokah. Sesak dengan prasangka yang tidak-tidak. Lalu tak dapat dipungkiri setelah itu ia akan merasa iri. Merasa apa yang ia kerjakan selama ini tidak ada harganya.  Sakit hati. Barokah sudah tidak dipedulikan lagi. Hanya kesal yang menggebu, gerutuan yang tak ada habisnya, jengkel merajai. Pada akhirnya kita akan terkurung dalam idealisme dan kebutuhan. Bertahan karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup. Terpaksa!
Namun berbeda ketika kita punya proposional. Memilah-milah waktu yang pas untuk bekerja memenuhi kebutuhan, waktu yang pas untuk memnuhi obsesi, dan waktu yang pas untuk mengembangkan potensi diri. Maka ketika kita merasa dihadapkan pada tanggung jawab dan realita hidup kita akan tahu kearah mana harus berjalan. Meminimalisir kecerobohan, prasangka, dan iri. Tentu kita sendiri yang lebih tahu kebutuhan mana yang lebih membutuhkan banyak waktu kita.

Terakhir ia menekankan bahwa apa yang ia katakan bukanlah nasihat apalagi saran, tapi ia mengijinkan aku merenungkan perkataannya.

Setelah itu aku benar-benar merenung. Tak habis pikirku, mengapa ia datang seperti Tuhan yang serba tahu.

Cangkorah, 02 September 2014

0 komentar:

Posting Komentar