Keberhasilan seorang guru adalah ketika melihat anak
didiknya bisa berhasil di bidangnya. Hebatnya seorang guru ketika ada anak
didiknya bisa melampui kehebatan gurunya. Tugas seorang guru bukan hanya
mengajarkan ilmu yang dikuasainya, namun tugas terbesarnya adalah menggali
segala potensi dalam diri muridnya hingga ia terbentuk seperti apa yang
diinginkan (cita-cita) dengan sebaik-baiknya.
Guru sudah seharusnya bangga ketika mendengar seseorang bisa
menghasilkan karya apalagi dalam bentuk tulisan. Seseorang bisa dikatakan hebat
ketika ia sudah bisa menulis, orang sepintar apapun kalau tidak menulis itu
tidak ada apa-apanya. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan
karya. Persis seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: Seseorang yang tidak menulis akan hilang
dari pusaran masyarakat.
Manusia hidup harus punya nilai tambah atau edit value. Jika kita hidup diantara orang-orang mati,
maka hidup adalah edit value. Namun
jika kita hidup diantara orang-orang hidup maka hidup adalah standar.
Cantik/ganteng berada diantara orang-orang jelek maka cantik/ganteng adalah edit value. Tapi jika kebanyakan orang
cantik/ganteng maka cantik/ganteng adaah nilai standar. Sepeti menulis, guru
bahasa indonesia tak terhitung jumlahnya dan bukan sedikit pula orang yang tahu
teori menulis namun tetap bernilai nol besar ketika ia tidak menghasilkan karya
tulisannya. Menggali potensi diri atau bakat lalu menonjolkannya
ditengah-tengah masyarakat lalu jadikan itu sebagai edit value.
Banyak cara untuk mencari edit value dalam diri kita. Salah
satunya adalah memiliki waktu yang proposional. Jangan hanya fokus pada satu
titik saja. Tentu sangat menyenangkan ketika kita menyenangi satu hal.
Memaksilkan kemampuan, tenaga, dan waktu. Tapi ingat sebuah hadits yang
mengatakan bahwa manusia tidak bisa lepas
dari tiga hal: kecerobohan, prasangka, dan iri/dengki. Hanya kadar dan cara
mengatasinya yang berbeda. Kecerobohan, manusia tempatnya khilap dan dosa.
Ketika kita asyik mengerjakan suatu pekerjaan, menghabiskan waktu, bangga
ketika diberi kepecayaan penuh, sehingga kita mengerjakannya dengan lapang,
ridho, tentu barokah pun kita dapat. Namun ketika dihadapkan pada tanggung
jawab menafkahi dan realita hidup yang sebenarnya. Semua itu akan berubah: pola
pikir, kebutuhan, bergesekan dengan idealisme. Prasangka, manusia tak akan lepas dari prasangka kepada manusia
yang lainnya. Baik maupun buruk. Ambil
satu contoh penilaian dari segi materi. Bandingkan ketika seseorang yang kerja
keras membanting tenaga, mengerahkan kemampuan, tenaga, dan waktu namun ia
mendapat penghasilan yang sekadarnya. Lalu ada seseorang yang tak bekerja sama
sekali namun ia mendapat penghasilan di atas rata-rata. Sensitif sekali memicu
prasangka buruk. Ketika tersadar akan realita tersebut isi dada dan pikirannya
bukan lagi semangat memperoleh barokah. Sesak dengan prasangka yang
tidak-tidak. Lalu tak dapat dipungkiri setelah itu ia akan merasa iri. Merasa apa yang ia kerjakan selama
ini tidak ada harganya. Sakit hati. Barokah
sudah tidak dipedulikan lagi. Hanya kesal yang menggebu, gerutuan yang tak ada
habisnya, jengkel merajai. Pada akhirnya kita akan terkurung dalam idealisme
dan kebutuhan. Bertahan karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup. Terpaksa!
Namun berbeda ketika kita punya proposional. Memilah-milah
waktu yang pas untuk bekerja memenuhi kebutuhan, waktu yang pas untuk memnuhi
obsesi, dan waktu yang pas untuk mengembangkan potensi diri. Maka ketika kita
merasa dihadapkan pada tanggung jawab dan realita hidup kita akan tahu kearah
mana harus berjalan. Meminimalisir kecerobohan, prasangka, dan iri. Tentu kita
sendiri yang lebih tahu kebutuhan mana yang lebih membutuhkan banyak waktu
kita.
Terakhir ia menekankan bahwa apa yang ia katakan bukanlah nasihat apalagi saran, tapi ia mengijinkan aku merenungkan perkataannya.
Setelah itu aku benar-benar merenung. Tak habis pikirku, mengapa ia datang seperti Tuhan yang serba tahu.
Cangkorah, 02 September 2014
0 komentar:
Posting Komentar