Selasa, 02 September 2014

Endorsement Buku "Umrah dan Roti Terlezat di Dunia"

Edit Posted by with No comments


Membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini seperti menikmati sekumpulan makanan lezat di atas meja makan. Manapun makanan yang Anda ambil, hanya lezat yang akan terasa. Setiap satu makanan selesai dimakan, Anda akan melirik makanan lainnya, kemudian terbitlah rasa lapar –sekurang-kurangnya rasa penasaran—Anda. Lalu, tangan Anda meraih makanan selanjutnya untuk dinikmati.
Namanya juga makanan lezat, tentu tidak terdiri dari satu rasa. Pun begitu dengan cerpen-cerpen dalam antologi ini. Tiap penulis dalam antologi ini punya ciri dan gaya masing-masing. Dan cerpen-cerpen yang terdapat di dalam antologi ini menyuguhkan kisah yang menggiurkan untuk dinikmati!
(Dedi Setiawan, Ketua Forum Lingkar Pena Jawa Barat)


            ”...dakwah dapat diperkaya oleh imajinasi atau imajinasi bisa dirangsang oleh kewajiban berdakwah.”

(Topik Mulyana, Dosen Bahasa Indonesia Telkom University, Penulis Buku Melepas Dahaga dengan Cawan Tua)
Beberapa hal yang kadang jarang diperhatikan orang dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi sebuah cerita yang menarik dan berguna bagi pembaca. Sebagaimana halnya dalam buku antologi cerpen ini yang juga ditulis dengan apik.Terlebih sebagian cerpen dalam buku ini mempunyai akhir cerita yang mengejutkan dan menjawab kepenasaranan pembaca tentang rahasia daya tarik ide dalam cerpen tersebut. 
-Asep Juanda, Staf Teknis Peneliti Sastra Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat dan Mahasiswa Ilmu Sastra S2 UNPAD-

Renungan Selasa Pagi

Edit Posted by with No comments
Seperti hari sebelumnya ketika datang ke kantor ia menyapa dengan ramah. Senyum tak pernah lepas dari bibir. Serta sorot mata yang teduh. Lalu ia mulai berkata:

Keberhasilan seorang guru adalah ketika melihat anak didiknya bisa berhasil di bidangnya. Hebatnya seorang guru ketika ada anak didiknya bisa melampui kehebatan gurunya. Tugas seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu yang dikuasainya, namun tugas terbesarnya adalah menggali segala potensi dalam diri muridnya hingga ia terbentuk seperti apa yang diinginkan (cita-cita) dengan sebaik-baiknya.
Guru sudah seharusnya bangga ketika mendengar seseorang bisa menghasilkan karya apalagi dalam bentuk tulisan. Seseorang bisa dikatakan hebat ketika ia sudah bisa menulis, orang sepintar apapun kalau tidak menulis itu tidak ada apa-apanya. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya. Persis seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: Seseorang yang tidak menulis akan hilang dari pusaran masyarakat.
Manusia hidup harus punya nilai tambah atau edit value.  Jika kita hidup diantara orang-orang mati, maka hidup adalah edit value. Namun jika kita hidup diantara orang-orang hidup maka hidup adalah standar. Cantik/ganteng berada diantara orang-orang jelek maka cantik/ganteng adalah edit value. Tapi jika kebanyakan orang cantik/ganteng maka cantik/ganteng adaah nilai standar. Sepeti menulis, guru bahasa indonesia tak terhitung jumlahnya dan bukan sedikit pula orang yang tahu teori menulis namun tetap bernilai nol besar ketika ia tidak menghasilkan karya tulisannya. Menggali potensi diri atau bakat lalu menonjolkannya ditengah-tengah masyarakat lalu jadikan itu sebagai edit value.
Banyak cara untuk mencari edit value dalam diri kita. Salah satunya adalah memiliki waktu yang proposional. Jangan hanya fokus pada satu titik saja. Tentu sangat menyenangkan ketika kita menyenangi satu hal. Memaksilkan kemampuan, tenaga, dan waktu. Tapi ingat sebuah hadits yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa lepas dari tiga hal: kecerobohan, prasangka, dan iri/dengki. Hanya kadar dan cara mengatasinya yang berbeda. Kecerobohan, manusia tempatnya khilap dan dosa. Ketika kita asyik mengerjakan suatu pekerjaan, menghabiskan waktu, bangga ketika diberi kepecayaan penuh, sehingga kita mengerjakannya dengan lapang, ridho, tentu barokah pun kita dapat. Namun ketika dihadapkan pada tanggung jawab menafkahi dan realita hidup yang sebenarnya. Semua itu akan berubah: pola pikir, kebutuhan, bergesekan dengan idealisme. Prasangka, manusia tak akan lepas dari prasangka kepada manusia yang lainnya. Baik maupun buruk.  Ambil satu contoh penilaian dari segi materi. Bandingkan ketika seseorang yang kerja keras membanting tenaga, mengerahkan kemampuan, tenaga, dan waktu namun ia mendapat penghasilan yang sekadarnya. Lalu ada seseorang yang tak bekerja sama sekali namun ia mendapat penghasilan di atas rata-rata. Sensitif sekali memicu prasangka buruk. Ketika tersadar akan realita tersebut isi dada dan pikirannya bukan lagi semangat memperoleh barokah. Sesak dengan prasangka yang tidak-tidak. Lalu tak dapat dipungkiri setelah itu ia akan merasa iri. Merasa apa yang ia kerjakan selama ini tidak ada harganya.  Sakit hati. Barokah sudah tidak dipedulikan lagi. Hanya kesal yang menggebu, gerutuan yang tak ada habisnya, jengkel merajai. Pada akhirnya kita akan terkurung dalam idealisme dan kebutuhan. Bertahan karena tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup. Terpaksa!
Namun berbeda ketika kita punya proposional. Memilah-milah waktu yang pas untuk bekerja memenuhi kebutuhan, waktu yang pas untuk memnuhi obsesi, dan waktu yang pas untuk mengembangkan potensi diri. Maka ketika kita merasa dihadapkan pada tanggung jawab dan realita hidup kita akan tahu kearah mana harus berjalan. Meminimalisir kecerobohan, prasangka, dan iri. Tentu kita sendiri yang lebih tahu kebutuhan mana yang lebih membutuhkan banyak waktu kita.

Terakhir ia menekankan bahwa apa yang ia katakan bukanlah nasihat apalagi saran, tapi ia mengijinkan aku merenungkan perkataannya.

Setelah itu aku benar-benar merenung. Tak habis pikirku, mengapa ia datang seperti Tuhan yang serba tahu.

Cangkorah, 02 September 2014

Aku bertemu FLP

Edit Posted by with No comments


Aku masih ingat ketika masih duduk di bangku MTs (SMP) buku yang sering aku baca karya Helvi Tiana Rossa, Asma Nadia, Afifah Afra dan buku-buku berlogo FLP di sampulnya. Ah, dulu tak pernah terpikir untuk mencari tahu apa itu FLP? Dari gemar membaca iseng-iseng menulis cerita fiksi sendiri. Teman sekelas jadi korban todongan untuk membacanya. Tapi akhirnya yang ditodong ketagihan begitupun yang menulis. Setiap kali menulis aku seperti menemukan "duniaku" sendiri.

Waktu SMA aku berhasil menulis 50 puisi, 17 cerpen, 3 Novel, dan beberapa tulisan yang enggak sampai ending. Tapi, sayangnya enggak dimuat di media massa apalagi sampai cetak. Semua itu tulisan tangan. Jadi, kalau ada yang tanya tentang hobi, tentu dengan yakin aku jawab "menulis!" (dalam arti yang sesungguhnya. Alasan lainnya, ya BUNET (buta internet), kurang informasi, gak punya link penulis, dan akhirnya gatau harus diapakan karya tulisnya.

Sampai akhirnya di SMA ketemu mentor menulis namanya Kang Zai. Dari beliau aku lebih banyak lagi membaca buku-buku HTR, Asma Nadia, Afifah Afra dan semakin akrab dengan logo FLP. Kang Zai mengusulkan untuk mencoba mengirimkan ke majalah, koran, dan ikut lomba menulis. Sayangnya gak pernah ada tanggapan dari media massa, kalau pun ada isinya hanya penolakan :(

Sampai lulus SMA. Aku sempat menyerah. Mogok nulis! Terkadang suka iri kalau berkunjung ke toko buku, baca majalah, baca koran, googling. Aku kapaaannn yaa kayak gini? Saking lamanya mogok, buku puisi yang dipinjam temen lupa nagih! lupa kapan terakhir nulis cerpen tau-tau buku-buku habis dimakan rayap. Novel terbengkalai. Ide berlompatan melarikan diri.

Kecewa? Bangettt...... :(

Tapi panggilan itu mengusik lagi. Bukankah menulis itu hobi? Dimuat dan dicetak itu bukan tujuan akhir seorang penulis. Akhirnya aku tetap menulis tanpa beban apapun. Aku menuliskan FLP dalam dreamlist-ku. entah apa tujuannya saat itu yang jelas aku ingin menulisnya.

Kecewa itu adalah salah satu cara Tuhan dalam berkata "Aku punya sesuatu yang lebih baik buatmu." Apa itu?

Akhir tahun 2012 ada writring contest dari Festival Muslimah Indonesia. Aku iseng ikutan walaupun enggak menang. Rangkaian acara tersebut ternyata ada Wokshop Menulis di Hotel Dinar, Jl. Pelajar Pejuang, Bandung. Bisa bayangin ya orang udik kayak aku yang bunet bin kuper nekad ke Bandung naek angkot untuk ikut acara itu. Nyasar gak? So pasti! Nangis? Se-ember ..... :'(

 Eits, ternyata ada hikmahnya. Tau gak, ternyata penyelenggara acara workshop itu adalah FLP  Bandung dan pengisi acaranya Kang Teddy "SNADA" utusan dari Majalah Sahabat Pena.

Singkat cerita, aku bergabung di FLP Bandung dan karya pertamaku dimuat di Majalah sahabat Pena.

Aku bertemu FLP seperti bertemu kekasih yang lama tidak berjumpa. #eaaa

Ruang Guru SMA ALBIDAYAH, 29 Agustus 2014



Banner LeutikaPrio CommuniCare 2014

Edit Posted by with No comments


Alhamdulillah,  puji syukur kehadirat Allah SWT FLP Bandung menjadi komunitas terpilh versi LeutikaPrio CommuniCare 2014. Selain Banner yang dikirimkan, LeutikaPrio juga menerbitkan karya perdana Divisi Cerpen FLP Bandung: Antologi Cerpen "Umrah dan Roti Terlezat di Dunia".

 


Selamat untuk FLP. Selamat untuk para pejuang pena.