Rabu, 25 Desember 2013

Sedikit cerita: Indahnya hanya bergantung pada Alloh :)

Edit Posted by with No comments
Selepas maghrib hujan turun begitu deras. Sudah beberapa jam aku berdiam diri di kamar. Sepulang kerja kondisi badan lagi minta ampun (gara-gara teu aya poe kacing calang, ceunah!). Penghuni rumah belum lama datang lalu pergi lagi. Bapak baru pulang kerja dan langsung pergi menjemput adik di pabrik. Mamah sibuk memasak di dapur setelah memandikan adik bungsu. Dua adikku yang lain pergi mengaji.

"Teh, ada Niya?" seru Mamah menyembulkan kepala dari balik pintu kamar.

"Gak ada. Tadi kan sama mamah," jawabku.

"Ehh kan tadi abis mandi ngomongnya mau nungguin bapak."

"Paling juga maen di depan."

Niya itu adik bungsuku berumur 4th. Biasanya kalau aku pulang kerja dia paling suka menyabotase handphoneku nonton video "cerita dan lagu anak islam". Tapi tidak sore itu.

Sampai adzan maghrib selesai berkumandang hujan semakin deras. Bapak dan adik keduaku baru pulang. Tapi Niya belum juga pulang. Mamah mulai khawatir. Beliau tak bisa lagi menyembunyikan kegelisahan dan kepanikannya. Semua orang ditanyai berulang-ulang. Kami semua dibuat kelimpungan.

"Coba cari ke masjid. Kali aja ikut ngaji sama kakak-kakaknya!" usul Mamah.

"Dede ke masjid, teteh ke RT sebelah, ke rumah uwa." kataku memberi komando.

"Mamah sama Bapak ke kebun," mamah menimpali.

Kami semua berjalan menyusuri hujan, tanpa payung tanpa alas kaki. Hal-hal buruk merongrong pikiran kami. Dibumbui pula oleh perkataan tetangga yang menakuti.

"Makanya punya anak kecil jangan dilepas kalau udah sore,"

"Hag! Diculik mungkin, teh! Hahaha"

Ini nih yang mesti setiap orang camkan baik-baik. Yaa, barangkali memang husnudzonnya aku niat mereka ngomong begitu baik, cuma sekadar menasehati dan bercanda. Tapi, alangkah lebih baik setiap niat baik itu tahu waktu dan kondisinya. Kalau begini malah membuat keadaan tambah runyam.

Hujan masih awet ketika kami kembali berkumpul di depan rumah membawa kabar yang nihil. Baju kami basah kuyup. Kepalaku tambah pening, tapi aku abaikan. Dua adikku pulang dari masjid lebih awal, mereka menggigil. Bahkan mereka menangis karena ketakutan. Takut kehilangan dan takut terjadi sesuatu. Hanya bapak dan aku yang mencoba tenang (karena kami dalam keadaan puncak lelah). Mungkin karena pikiranku dan bapak selalu sepaham.

"Coba cari sekali lagi!" Aku masih ngotot. "Datangi setiap rumah!"

"Tadi bilang ahh Niya mah mau nungguin Bapak, gitu katanya. Duhh takutnya nyusul bapak ke pabrik," ujar Mamah panik.

"Astaghfirulloh .... Gak mungkin atuh Mah kan jauh."

"Ahh dulu kan si Ida juga begitu!"

Kami pun bergerak lagi memangkas hujan. Ada yang pergi ke arah timur dan ada yang pergi ke arah barat. Saking paniknya kami lupa memakai alas kaki. Beberapa rumah dan warung kami datangi. Setiap orang yang lewat kami tanyai. Tapi jawabannya cukup tidak tahu. Sebagian tetangga ikut panik tapi cuma bisa menonton. Tak bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba aku ingat nasihat guruku sewaktu aku kehilangan kunci kantor (padahal kejadian itu sudah lama sekitar 3th yang lalu ketika magang di kantor kecamatan). Katanya begini: berdzikirlah sebanyak-banyaknya lalu cari sambil membaca sholawat, InsyaAllah ketemu. Alhasil, kunci tersebut seperti menampakkan diri di atas kasur tertutupi jilbab, padahal sebelumnya aku yakin sudah mengobrak-abrik seisi kamar.

Pada saat itu juga aku mempraktekkan lagi nasihat itu. Melenyapkan segala pikiran buruk, yang ada hanya prasangka baik kepada Alloh. Merendahkan diri di hadapan-Nya, menunjukkan ketidakberdayaan dan mengharap pertolongan-Nya. Mata, telinga, hati aku pusatkan hanya kepada Alloh. Ayunan langkah kaki seiring dengan alunan sholawat yang membasahi bibir. Berharap dengan teramat sangat Alloh membimbing langkahku ke tempat yang aku cari.

"Assalamu'alaikum," ucapku memberi salam.

Aku berdiri di teras rumah tetangga hanya mengandalkan kata hati. Ketika telinga ini menangkap suara anak-anak kecil sedang ketawa-ketiwi. Mungkin bisa dibilang ini insting.

"Waalaikumsalam," jawab yang punya rumah.

"Punten A, ada Niya?"

"Tuh! Di dalem."

"Astagfirullohal'adzim... Dicari-cari ternyata ada disini!" aku menghambur ke ruang tamu yang ditunjukkan si mpu rumah. Ketika aku gendong dan mengajaknya pulang ia hanya melongo. Mungkin dalam pikiran polosnya bertanya: ada apa?

Sesampainya di rumah semuanya sudah menunggu.

"Nanti lain kali kalau pergi kemana-mana ijin dulu yaa. Tuh liat Mamah, Bapak, Aa dan teteh nangis nyariin Niya. Apalagi abis capek baru pulang kerja," kataku memberi nasihat (tumben kan aku bisa ngomong lempeng, xd)

Yang dikasih nasihat malah ngumpetin wajahnya memeluk erat leherku.

"Tadi Emak bilang Niya mau nginep di rumahnya. Mau maen sama cucunya. Ditanya udah ijin belum? jawabnya udah. Tadinya Emak mau bilang kesini tapi habis sholat maghrib. Gitu," ungkapku.

"Heran Dede mah tadi ketemu Emak di warung. Dede tanyain. Malah Dede kelihatan bingung dan panik, tapi Emak gak bilang Niya ada di rumahnya. Ngeselin!" curhat adikku.

"Udahlah gak usah diperpanjang."

"Tapi, sekarang bapak belum pulang nyusulin ke pabrik. Mana gak bawa motor, hujan-hujanan...."

Seseorang mengucapkan salam di depan rumah berhasil melegakan kami. Bapak baru saja pulang.

****
Cerita ini terjadi pada tanggal 29 Agustus 2013.

Ini baru cerita tentang Husniyatul Malikah, usia 4th (10hari lagi genap 5th). Belum cerita tentang Si Aku, pada usia 2th diumpetin di dalam lemari baju oleh tetangga. Alasan ngumpetinnya hanya karena gemes (Apa bangett -_-"). Atau cerita Dede pada usia 6th yang bikin geger sekampung nyariin dia, padahal yang dicariin mah lagi tidur ketutup sama tumpukan baju yang abis jemuran.

Malam ini kami lagi-lagi mendongengkannya. Hangatnya keluarga adalah saat berkumpul dan berbagi.

*Bahagia itu sederhana*

0 komentar:

Posting Komentar