Selepas maghrib hujan turun begitu deras. Sudah beberapa jam aku berdiam
diri di kamar. Sepulang kerja kondisi badan lagi minta ampun (gara-gara
teu aya poe kacing calang, ceunah!). Penghuni rumah belum lama datang
lalu pergi lagi. Bapak baru pulang kerja dan langsung pergi menjemput
adik di pabrik. Mamah sibuk memasak di dapur setelah memandikan adik
bungsu. Dua adikku yang lain pergi mengaji.
"Teh, ada Niya?" seru Mamah menyembulkan kepala dari balik pintu kamar.
"Gak ada. Tadi kan sama mamah," jawabku.
"Ehh kan tadi abis mandi ngomongnya mau nungguin bapak."
"Paling juga maen di depan."
Niya itu adik bungsuku berumur 4th. Biasanya kalau aku pulang kerja
dia paling suka menyabotase handphoneku nonton video "cerita dan lagu
anak islam". Tapi tidak sore itu.
Sampai adzan maghrib selesai berkumandang hujan semakin deras. Bapak
dan adik keduaku baru pulang. Tapi Niya belum juga pulang. Mamah mulai
khawatir. Beliau tak bisa lagi menyembunyikan kegelisahan dan
kepanikannya. Semua orang ditanyai berulang-ulang. Kami semua dibuat
kelimpungan.
"Coba cari ke masjid. Kali aja ikut ngaji sama kakak-kakaknya!" usul Mamah.
"Dede ke masjid, teteh ke RT sebelah, ke rumah uwa." kataku memberi komando.
"Mamah sama Bapak ke kebun," mamah menimpali.
Kami semua berjalan menyusuri hujan, tanpa payung tanpa alas kaki.
Hal-hal buruk merongrong pikiran kami. Dibumbui pula oleh perkataan
tetangga yang menakuti.
"Makanya punya anak kecil jangan dilepas kalau udah sore,"
"Hag! Diculik mungkin, teh! Hahaha"
Ini nih yang mesti setiap orang camkan baik-baik. Yaa, barangkali
memang husnudzonnya aku niat mereka ngomong begitu baik, cuma sekadar
menasehati dan bercanda. Tapi, alangkah lebih baik setiap niat baik itu
tahu waktu dan kondisinya. Kalau begini malah membuat keadaan tambah
runyam.
Hujan masih awet ketika kami kembali berkumpul di depan rumah
membawa kabar yang nihil. Baju kami basah kuyup. Kepalaku tambah pening,
tapi aku abaikan. Dua adikku pulang dari masjid lebih awal, mereka
menggigil. Bahkan mereka menangis karena ketakutan. Takut kehilangan dan
takut terjadi sesuatu. Hanya bapak dan aku yang mencoba tenang (karena
kami dalam keadaan puncak lelah). Mungkin karena pikiranku dan bapak
selalu sepaham.
"Coba cari sekali lagi!" Aku masih ngotot. "Datangi setiap rumah!"
"Tadi bilang ahh Niya mah mau nungguin Bapak, gitu katanya. Duhh takutnya nyusul bapak ke pabrik," ujar Mamah panik.
"Astaghfirulloh .... Gak mungkin atuh Mah kan jauh."
"Ahh dulu kan si Ida juga begitu!"
Kami pun bergerak lagi memangkas hujan. Ada yang pergi ke arah timur
dan ada yang pergi ke arah barat. Saking paniknya kami lupa memakai
alas kaki. Beberapa rumah dan warung kami datangi. Setiap orang yang
lewat kami tanyai. Tapi jawabannya cukup tidak tahu. Sebagian tetangga
ikut panik tapi cuma bisa menonton. Tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba aku ingat nasihat guruku sewaktu aku kehilangan kunci
kantor (padahal kejadian itu sudah lama sekitar 3th yang lalu ketika
magang di kantor kecamatan). Katanya begini: berdzikirlah
sebanyak-banyaknya lalu cari sambil membaca sholawat, InsyaAllah ketemu.
Alhasil, kunci tersebut seperti menampakkan diri di atas kasur
tertutupi jilbab, padahal sebelumnya aku yakin sudah mengobrak-abrik
seisi kamar.
Pada saat itu juga aku mempraktekkan lagi nasihat itu. Melenyapkan
segala pikiran buruk, yang ada hanya prasangka baik kepada Alloh.
Merendahkan diri di hadapan-Nya, menunjukkan ketidakberdayaan dan
mengharap pertolongan-Nya. Mata, telinga, hati aku pusatkan hanya kepada
Alloh. Ayunan langkah kaki seiring dengan alunan sholawat yang
membasahi bibir. Berharap dengan teramat sangat Alloh membimbing
langkahku ke tempat yang aku cari.
"Assalamu'alaikum," ucapku memberi salam.
Aku berdiri di teras rumah tetangga hanya mengandalkan kata hati.
Ketika telinga ini menangkap suara anak-anak kecil sedang ketawa-ketiwi.
Mungkin bisa dibilang ini insting.
"Waalaikumsalam," jawab yang punya rumah.
"Punten A, ada Niya?"
"Tuh! Di dalem."
"Astagfirullohal'adzim... Dicari-cari ternyata ada disini!" aku
menghambur ke ruang tamu yang ditunjukkan si mpu rumah. Ketika aku
gendong dan mengajaknya pulang ia hanya melongo. Mungkin dalam pikiran
polosnya bertanya: ada apa?
Sesampainya di rumah semuanya sudah menunggu.
"Nanti lain kali kalau pergi kemana-mana ijin dulu yaa. Tuh liat
Mamah, Bapak, Aa dan teteh nangis nyariin Niya. Apalagi abis capek baru
pulang kerja," kataku memberi nasihat (tumben kan aku bisa ngomong
lempeng, xd)
Yang dikasih nasihat malah ngumpetin wajahnya memeluk erat leherku.
"Tadi Emak bilang Niya mau nginep di rumahnya. Mau maen sama
cucunya. Ditanya udah ijin belum? jawabnya udah. Tadinya Emak mau bilang
kesini tapi habis sholat maghrib. Gitu," ungkapku.
"Heran Dede mah tadi ketemu Emak di warung. Dede tanyain. Malah Dede
kelihatan bingung dan panik, tapi Emak gak bilang Niya ada di rumahnya.
Ngeselin!" curhat adikku.
"Udahlah gak usah diperpanjang."
"Tapi, sekarang bapak belum pulang nyusulin ke pabrik. Mana gak bawa motor, hujan-hujanan...."
Seseorang mengucapkan salam di depan rumah berhasil melegakan kami. Bapak baru saja pulang.
****
Cerita ini terjadi pada tanggal 29 Agustus 2013.
Ini baru cerita tentang Husniyatul Malikah, usia 4th (10hari lagi
genap 5th). Belum cerita tentang Si Aku, pada usia 2th diumpetin di
dalam lemari baju oleh tetangga. Alasan ngumpetinnya hanya karena gemes
(Apa bangett -_-"). Atau cerita Dede pada usia 6th yang bikin geger
sekampung nyariin dia, padahal yang dicariin mah lagi tidur ketutup sama
tumpukan baju yang abis jemuran.
Malam ini kami lagi-lagi mendongengkannya. Hangatnya keluarga adalah saat berkumpul dan berbagi.
*Bahagia itu sederhana*
Rabu, 25 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar