Rabu, 25 Desember 2013

WISATA ZIARAH KE CIREBON (10/9)

Edit Posted by with No comments
Bus pariwisata sudah berjajar di sekitar komplek Pesantren Darussurur Kp Saradan Rt. 05 / 03 Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan Kota Cimahi (10/9) pagi hari. Bus yang akan membawa rombongan dari Batujajar berada di ujung Timur di depan masjid. Tujuan wisata ziarahnya Cibulan & Cirebon.

Tak jauh dari Pesantren terlebih dahulu kami berziarah ke makam Buya Yahya, sesepuh Ponpes Darussurur. Ustad Bukhori memimpin doa ziarah. Peziarah laki-laki dan perempuan tidak boleh bercampur. Laki-laki berada dijajaran paling depan. Dikarenakan ruangan pemakaman penuh sesak oleh peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah sebagian dari kami memilih ruangan di sebelah Selatan. Kami duduk diantara makam-makam. Diatas tanah makam bertabur bunga-bunga yang sudah mengering.

Selesai berdoa Ustad Bukhori memberi beberapa wejangan, 'Ziarah hukumnya sunnah jadi baiknya tidak meninggalkan kewajiban dan menghindari perbuatan dosa. Seperti meninggalkan sholat, membuka aurat dan menggunjing. Adalah dosa besar bagi yang tidak melaksanakan sholat. Jika ada seorang diantara seratus orang yang meninggalkan sholat maka seratus orang tersebut sama-sama berdosa. Perjalanan menuju Cirebon kurang lebih 85 kilometer. Maka ada keringanan (rukshoh) dalam sholat bagi yang melakukan perjalanan jauh. Yaitu boleh diqoshor atau dijamak,' tuturnya dalam bahasa sunda yang meletup-letup. Lalu ustad Bukhori juga mengingatkan kembali niat sholat qoshor dan jamak.

Teriring doa dari Ustad Bukhori agar kami selamat dalam perjalanan menuju tujuan hingga pulang kami pun berangkat. Di dalam bus kami tak henti bersenandung sholawat sepanjang perjalanan.


situs Patilasan Prabu Siliwangi
CIBULAN
Menjelang ashar kami sampai di tempat tujuan pertama: Cibulan. Objek wisata pemandian air dingin di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Cibulan merupakan salah satu objek wisata tertua di Kuningan. Diresmikan pada 27 Agustus 1939 oleh R.A.A. Mohamand Achmad.

Ada dua kolam besar yang berbentuk persegi panjang. Kolam pertama berukuran 35x15 meter persegi dengan kedalaman sekitar 2 meter. Sedangkan, kolam kedua berukuran 45x15 meter persegi yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkedalaman 60 sentimeter dan bagian kedua berkedalaman 120 sentimeter. Setiap kolamnya dihuni oleh puluhan ikan yang berwarna abu-abu kehitaman dan disebut sebagai kancra bodas atau ikan dewa (cyprinus carpico). Ukurannya berbagai macam mulai dari yang panjangnya 20-an sentimeter hingga 1 meter. Ikan Dewa adalah sejenis ikan yang dikeramatkan oleh penduduk di sekitar wilayah Desa Manis Kidul karena dipercaya mempunyai keistimewaan tertentu.

Cerita yang berkembang di masyarakat sekitar Manis Kidul dan masyarakat Kuningan ikan dewa dahulunya adalah prajurit-prajurit yang membangkang pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Prajurit-prajurit itu dikutuk menjadi ikan.
Konon sejak dulu ikan dewa jumlahnya tetap, tidak berkurang maupun bertambah. Jika kolam dikuras ikan-ikan itu menghilang dan ketika kolam diisi air ikan-ikan itu kembali dengan jumlah semula.

Selain kolam dengan ikan dewanya yang jinak, disudut barat pemandian terdapat tujuh sumber mata air yang dikeramatkan yang bernama Tujuh Sumur. Masing-masing sumur mempunyai nama : Sumur Kejayaan, Sumur Kemulyaan, Sumur Pengabulan, Sumur Cirancana, Sumur Cisadane, Sumur Kemudahan, dan Sumur Keselamatan. Tujuh mata air yang berbentuk kolam-kolam kecil ini terletak mengelilingi sebuah petilasan yang konon merupakan petilasan Prabu Siliwangi ketika beristirahat sekembalinya dari perang melawan Kasultanan Mataram.
Petilasan itu berupa susunan batu seperti menhir dan dua patung harimau loreng (lambang kebesaran Raja Agung Pajajaran).

Sementara yang lain asyik berenang di kolam pemandian saya diikuti beberapa orang ibu-ibu masuk ke Situs Patilasan. Kami berkeliling membawa kompan (botol air) mengambil air dari Tujuh Sumur. Disetiap sumur sempat membasuh wajah dan sesekali air yang segar itu saya minum. Pada sumur ke tujuh ada beberapa orang yang menceburkan diri dan mandi. Airnya bersih dan bening. Mengakrabi suasana sejuk Cibulan kami juga harus menyediakan uang recehan untuk dimasukan ke dalam kencleng yang terdapat di setiap sumur, pun di pintu masuk dan di dalam Patilasan.

Masuk waktu ashar kami menjalankan kewajiban di Mushola setempat. Sholat dzuhur dan ashar diqoshor. Setelah itu kami berbelanja oleh-oleh yang ada di Cibulan.

Jam 5 sore bus kembali melaju menuju penziarahan kedua: Petilasan Sunan Kalijaga.

PETILASAN SUNAN KALIJAGA

Cerita tentang Wali Songo tak lepas dari satu walinya yang paling berpengaruh, yaitu Sunan Kalijaga, yang juga mempunyai jejak di Cirebon. Petilasan Sunan Kalijaga terletak di Barat Sungai Sipadu, di Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Daerah ini juga dikenal sebagai Taman Kera, karena ada ratusan kera yang hidup di situs ziarah sekaligus taman konservasi ini.

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon.

Menurut cerita, sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Sesampainya kami di Situs Petilasan Sunan Kalijaga kami tak menunggu waktu lebih lama lagi. Langsung melaksanakan sholat maghrib dan isya dijamak taqdim di masjid yang berada tepat di depan Petilasan. Selepas itu kami pun berziarah membaca doa dan sholawat dipimpin Ustad Dadang, ketua panitia rombongan.

Karena hari sudah gelap tak satupun kera yang dapat kami jumpai hanya plang di samping gapura yang jelas terbaca: 'Hanya monyet yang membuang sampah sembarangan.'

Sekitar pukul delapan malam bus kembali membawa kami ke tempat peziarah selanjutnya: Makam Sunan Gunung Jati.

MAKAM SUNAN GUNUNG JATI

Foto: Bangsal Pesambangan kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Bangsal Pesambangan kompleks makam Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati (1478-1568), atau Syarif Hidayatullah merupakan wali paling berpengaruh dalam pengislaman Jawa wilayah bagian barat. Ia juga pendiri dan raja pertama Kasultanan Cirebon.

Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah berusia lebih dari enam abad itu terdiri dari sembilan tingkat pintu utama, yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai di puncak kesembilan.

Wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di tingkatan pintu keempat. Sedangkan pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, hanya sesekali dibuka khusus bagi anggota keluarga Kerajaan Cirebon, atau orang yang mendapat izin khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada momen-momen tertentu seperti pada malam Jumat Kliwon, Maulud Nabi, Gerebeg Idul Fitri, dan Gerebeg Idul Adha.

Di bangsal Pesambangan kompleks makam Sunan Gunung Jati, Gunung Sembung, Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat para peziarah membaca doa dan sholawat dipimpin oleh Ustad Dadang. Suaranya mendengung, menggema di seluruh kompleks makam. Kami duduk bersila menghadap ke arah pintu Lawang Gedhe, yang seporos lurus ke arah kuburan Sunan Gunung Jati di puncak gunung. Air mineral yang kami bawa disimpan di depan pintu Lawang Gedhe tempat kami berdoa. Kami percaya selama ritual doa berlangsung, air dalam botol itu akan mendapatkan limpahan energi spiritual, yang kalau diminum, Insya Allah mendapat barakah doa dan bisa membantu menyembuhkan penyakit.

Kami pun percaya bahwa makam waliyullah bisa memberikan berkah, napak tilas perjuangannya menyebarkan islam, serta mengingat bahwa kehidupan dunia itu sementara. Tugas utama hidup adalah ibadah. Berziarah merupakan salah satu ibadah berharap keberkahannya waliyullah dapat membantu mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kedua telapak tangan bertengadah, hati menghadap kepada Allah, segala urusan dunia ditiadakan, melarutkan nafas yg benar-benar lembut dalam kepasrahan, khusyuk melafalkan kalimat-kalimat doa, dzikir bergemuruh, melantun sholawat, berguncang Arsy.

Di dalam kosmologi Jawa, malam dipercayai merupakan waktu terbaik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Ditutup salam kepada Ahli kubur kami serombongan pamit. Berdesak-desakan keluar kompleks makam kami pun berbaur dengan puluhan pengemis dan para juru kunci makam.

Katanya, selain warga muslim, banyak juga warga Cina yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di makam mereka berdoa, membakar hio, dan bersedekah uang kepada para pengemis di sekitar lokasi. Salah satu istri Sunan Gunung Jati, bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar Yung Lo dari Cina. Jadi, kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur mereka juga.

Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe, sementara peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu.

Di dalam kompleks juga terdapat Masjid Dog Jumeneng, atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, yang berkapasitas 3.000 orang. Masjid ini dulu dibangun orang-orang Keling, yaitu orang-orang India Tamil, setelah mereka takluk dalam usaha penyerangan yang gagal terhadap kekuasaan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula Paseban Besar, tempat menerima tamu; Paseban Soko, tempat musyawarah; dan Gedung Jimat, tempat penyimpanan guci-guci keramik kuno dari era Dinasti Ming, Cina, dan keramik-keramik gaya Eropa, terutama Belanda.

Pantas saja tampak menarik ketika melihat dinding yang mengelilingi makam dihiasi ornamen-ornamen keramik.

Perjalanan kami tak berhenti disitu berlanjut dengan jalan kaki menyusuri gang kecil, menyebrang jalan raya dan mendaki gunung. Masih perlu uang receh untuk jasa penyebrangan dan puluhan pengemis yang berjajar di setiap anak tangga sampai ke puncak gunung.

Makam penuh sesak oleh para peziarah yang datang dari berbagai tempat. Kami serombongan hanya kebagian tempat di depan gapura. Tak menunggu malam terlalu larut Ustad Dadang kembali memimpin doa. Saya duduk diatas rerumputan melepas lelah sejenak karena sepanjang perjalanan tadi harus menggendong adik bungsuku yang turut ikut dalam wisata ziarah kali ini. Sesekali begitu takjub menyaksikan bintang-bintang yang bertaburan di langit dan bulan sabit yang mengintip dari sela-sela ranting pohon. Sementara telinga akrab dengan kalimat-kalimat yang dibacakan para peziarah.

Perjalanan kami berakhir dengan menghadiri haolan Mama Tolhah, begitu nama tersohornya. Setelah melewati beberapa bus yang berjajar di tepi jalan bus yang membawa kami serombongan terparkir paling ujung. Saking banyaknya yang datang kami harus berjalan kaki ke tempat haolan. Mata setengah terpejam ketika memasuki gang yang terlihat adalah orang-orang kebanyakan berbaju putih berduyun-duyun, berkerumun, samar terdengar pedagang menjajakan barang dagangannya ditimpali lantunan sholawat dan tabuhan musik dari pengeras suara.

Sampai di tempat Haolan cahaya menyembur dari arah panggung. Dua layar besar yang menampilkan orang-orang yang melantunkan sholawat dari dalam masjid. Khusus perempuan dipisahkan tempatnya diluar masjid yang disediakan tenda. Gelap hanya bercahayakan penerangan dari layar. Saking gelapnya saya baru sadar ketika duduk diatas pasir beralaskan tikar. Pasir yang lembut seperti pasir pantai.

Sesuai janji sebelum turun dari bus tadi kami berkumpul sebelum jam 12 malam. Tiga puluh menit sebelumnya kami sudah berkumpul di dalam bus. Rasa kantuk menyerang maka tidur sepanjang perjalanan pulang adalah cara untuk melunasi lelah.

11 September 2013 04.45 WIB
-Dinginnya subuh serasa mencubit-cubit kulit ketika menunggu ayah menjemput di Citunjung-

0 komentar:

Posting Komentar