Jumat, 25 Desember 2015

tulisan belum kelar .... Berbisik Pada Embun

Edit Posted by with No comments


saya lupa kapan terakhir nulis ini dan saya juga lupa untuk melanjutkan. hahaha... yang jelas karena takut file di komputer/ flashdisk hilang akhirnya saya posting disini. Mudah-mudahan kalau dapat hidayah mau lanjutin tulisan ini lagi. Aamiin. 
Berbisik Pada Embun
            Jam segini dengar suara derum mesin mobil tiba-tiba teringat Jatinangor. Teringat wajah tua. Suara tegeg orang Tegal. Semoga sehat wal afiat. Jam 04.30 dini hari beliau biasanya sudah siap-siap membuka lapak di pasar daerah Cileunyi dan kantin di UNPAD. Semangat yang tak pernah bosan meski itu-itu saja rutinitasnya.
            Kangen suara-suara itu, ketika dialek Tegal dan Garut saling bercakap-cakap seperti kalian sedang meributkan sesuatu padahal hanya sedang bercanda. Maaf, aku tak bisa menemanimu melewati masa tua. Semoga Amah sekeluarga selalu ada dalam Lindungan-Nya.
                                                                        ###
            “Neng, hari ini ndak usah antar Azis ke sekolah ya, selesai beresi rumah langsung saja pergi ke pasar bantu Amah.” ucap Mbak Dini mendikte pekerjaanku hari ini.
            Aku mengangguk pelan, tak ada bantahan atau menunda waktu sampai hilangnya rasa malas untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang biasa aku lakukan jika disuruh Ibuku sendiri. Sudah dua minggu aku bekerja disini. Aku mencoba bertahan dan berusaha untuk betah tinggal disini karena desakan keadaan. Mencari pekerjaan itu sangatlah susah apalagi hanya bermodal  ijazah SMA sepertiku dan lagi keadaan keluarga yang tak mungkin aku menyusahkan mereka terus-menerus.
            Aku baru saja lulus SMA tahun ini dan gagal mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi. Aku tak mau membebankan ibu dan ayah. Mereka sudah tua dan lelah tak sanggup aku melihat mata mereka yang berkaca tatkala aku merengek ingin lanjut sekolah. Membiayai aku sampai tamat SMA saja sudah membuat mereka engap apalagi harus masuk perguruan tinggi yang biayanya sampai puluhan juta. Belum lagi keempat adikku yang masih kecil-kecil. Heumm, lebih baik aku mengalah saja. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan sambil menunggu lowongan beasiswa tahun depan.
            Namun malang nasib tak berpihak kepadaku. Sudah kucoba berulang kali memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan tapi tak ada satupun panggilan. Segala peraturan yang ujung-ujungnya harus ditebus dengan uang tak mungkin aku iyakan. Lagipula ayah terlalu kritis untuk hal ini dan beliau bilang, kalau ayah punya uang tak akan ayah gunakan untuk menyuap perusahaan lebih baik ayah gunakan untuk kau lanjut sekolah saja. Benar kata ayah. Tak putus aku berdoa siang malam agar aku mendapat pekerjaan. Sampai akhirnya aku diajak seorang teman untuk menemui saudaranya yang biasa menyalurkan para tenaga kerja, Pak Asep namanya.
 Asalkan halal dan tak harus mengeluarkan uang aku mau, pikirku waktu itu. Dan benar saja Pak Asep menawari kami pekerjaan sebagai pramusaji di sebuah kantin universitas ternama di Bandung. Hari itu kebetulan pemilik kantin tersebut datang berkunjung ke rumah Pak Asep. Aku dan Novi diperkenalkan dengannya, jika kutebak usianya sudah hampir setengah abad tapi penampilannya sangat necis seperti ABG tahun 80-an. Dia memakai jaket kulit warna hitam lengkap dengan kacamata hitam yang diselipkan disaku jaketnya. Kulitnya kecoklatan, matanya belo dan rambutnya klimis seperti selesai disemir. Kumis baplangnya mirip ulat bulu yang dipajang diantara hidung dan mulutnya menambah sangar wajahnya. Kami berbincang dengan bapak yang memperkenalkan namanya Sambas itu. Dia mengajukan beberapa persyaratan tersirat yang langsung kami iyakan akhirnya.
Kantin milik Pak Sambas ada di daerah Jatinangor, tepat di antara gedung-gedung fakultas Universitas Padjajaran. Membutuhkan waktu selama 6 jam untuk sampai kesana dengan mengendarai mobil bak milik Pak Sambas. Sepanjang perjalanan beliau bercerita tentang dirinya yang seorang perantau cukup sukses di Bandung yang menikahi gadis anak juragan pasar dan mempunyai tiga anak, dua perempuan satu laki-laki. Anak pertamanya menikah dengan lelaki jawa dan memberinya cucu perempuan. Anak keduanya masih duduk di bangku SMA. Dan si bungsu Azis usianya sepantar dengan cucunya. Terlihat wajah Pak Sambas begitu bangga tatkala menceritakan jagoan kecilnya itu katanya sudah lama sekali ia menginginkan anak laki-laki.
Menjelang maghrib kami sampai di kantin milik Pak Sambas. Sebentar rasa sakit menyelinap dalam hatiku ketika menyaksikan beberapa mahasiswa keluar dari berbagai gedung fakultas. Seandainya aku berada dalam barisan diantara mereka yang membawa buku-buku tebal di tangannya. Seandainya aku pun sama seperti mereka yang tertawa lepas bersama teman-teman seperjuangan yang kenyang mendapatkan pengetahuan dari para orang hebat yang berjejer gelar di depan dan belakang namanya. Seandainya…. Ah, aku tak ingin larut dalam khayalan keinginan tinggi yang akhirnya aku menyalahkan keadaan. Kata Ayah jangan berandai-andai  sesuatu yang tidak bisa kita capai tanpa tindakan.
Aku yakin ini adalah bagian dari perjuanganku. Bagian dari ceritaku sebagai orang sukses. Takdir yang aku jalani sekarang ini adalah bagian dari rencana Tuhan. Suatu saat akupun akan sama seperti mereka meski jalan yang kami lewati berbeda. Lagi-lagi karena memang keadaannya aku harus berjuang dulu mengumpulkan uang barulah bisa mencapai impian. Aku harus ikhlas menjalaninya. Ayah juga pernah bilang, orang sukses lebih banyak menceritakan perjuangannya yang penuh rintangan lalu ia bangga mendapat hasilnya.
Aku tersenyum memompa kembali semangat dan rasa percaya diriku. Malam itu aku sudah mulai bekerja berbaur bersama beberapa pegawai yang lain di dapur menyiapkan pesanan para pengunjung yang berdatangan. Pak Sambas tak henti memperhatikan aku dan Novi ia seperti dosen yang sedang menilai mahasiswanya mempraktekan ilmu yang baru saja diajakannya.
Setelah kantin sepi Pak Sambas memanggil aku dan Novi. Kami duduk diantara kursi-kursi kosong dekat pintu masuk. Sambil sesekali menikmati udara malam Jatinangor mataku tak bosan menjelajah setiap juru Universitas megah ini dengan gedung-gedung fakultas yang tersebar di tanah yang entah berapa hektar luasnya. Pohon-pohon yang tumbuh disekitar pinggiran jalan menambah sejuk pemandangan.
Setelah menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan  Pak Sambas menyampaikan maksudnya memanggilkan aku dan Novi. Ia meminta salah satu diantara kami ikut bersamanya tinggal dirumah. Katanya sekarang kantin belum terlalu ramai dikunjungi pengunjung karena mahasiswa yang asrama sedang liburan akhir semester. Jadi kebanyakan diantara mereka pulang ke kotanya masing-masing. Sedangkan Pak Sambas sangat membutuhkan seorang yang bisa membantu pekerjaan istrinya di rumah terutama mengasuh anak kebanggaannya yang baru saja masuk SD.
Aku dan Novi saling melempar pandangan sedikit terkejut dengan permintaan Pak Sambas.  Setelah berunding akhirnya Pak Sambas menunjukku yang diajak pulang. Aku ingin menolak tapi rasanya lidah ini tidak sanggup mengatakan tidak. Akhirnya aku mengangguk saja. Aku belum siap berjauhan dengan Novi, di tempat asing ini aku tak mengenal siapapun kecuali dia. Setidaknya jika kita tetap bersama aku ada teman untuk beradaptasi di tempat baru ini. Tapi Pak Sambas janji jika masa liburan semester sudah selesai kita akan kembali dipekerjakan bersama-sama lagi.
Tapi seperti janji seorang ayah yang hanya merayu anaknya agar berhenti menangis janji itu melebur seiring berubahnya waktu dan kejadian. Setelah dua minggu aku bekerja di rumahnya membantu istrinya membereskan pekerjaan rumah mengepel, memasak, mencuci pakaian dan menyetrika. Sesekali aku juga membantu Amah menjaga lapak dagangan di pasar. Belum lagi aku mengasuh Azis, putra kesayangan Pak Sambas dari mulai menyiapkannya berangkat sekolah sampai menungguinya pulang sekolah. Terlebih Azis sudah cocok denganku mungkin karena aku terbiasanya mengasuh keempat adikku di rumahnya jadinya aku mudah akrab dengan anak kecil seusianya, Pak Sambas tak pernah lagi menyinggung soal pekerjaan di kantin padaku. Hanya sesekali ia bertanya betah atau tidak tinggal di rumahnya.
“Mah, kapan kita jalan-jalan naik mobil ini?” celoteh Azis menunjuk mobil AVP yang sudah lama terparkir di depan rumah.
“Nanti ya cakep habis lebaran kita sekeluarga liburan ke rumah nenek di Garut naik mobil ini.”
“Teh Neng diajak kan Mah?” Azis menggelayut manja memegang tangan kananku.
“Kalau Teh Neng-nya mau kita ajak sekalian.”
Azis menatapku seperti memelas lalu aku tersenyum dan mengangguk. Ia berjingkrak kemudian memelukku.
“Janji yaa..”
“InsyaAllah.”
“Ya sudah Amah berangkat ke pasar dulu Azis jangan nakal ya. Pulang sekolah nanti ke pasar bareng Teh Neng.”
Amah masuk ke dalam mobil bak yang sudah ada Pak Sambas bersiap dibelakang setir. Seperti ini rutinitas setiap pagi setelah menyiapkan barang-barang yang diperlukan kemudian diangkut kedalam mobil bak keduanya berangkat ke pasar bersamaan. Biasanya setelah mengantarkan Amah ke pasar Pak Sambas langsung pergi ke kantin mengecek keadaan disana. 
**** TO BE CONTINUE *****

0 komentar:

Posting Komentar