saya lupa kapan terakhir nulis ini dan saya juga lupa untuk melanjutkan. hahaha... yang jelas karena takut file di komputer/ flashdisk hilang akhirnya saya posting disini. Mudah-mudahan kalau dapat hidayah mau lanjutin tulisan ini lagi. Aamiin.
Berbisik Pada Embun
Jam segini dengar suara derum mesin mobil tiba-tiba teringat
Jatinangor. Teringat wajah tua. Suara tegeg orang Tegal. Semoga sehat wal
afiat. Jam 04.30 dini hari beliau biasanya sudah siap-siap membuka lapak di
pasar daerah Cileunyi dan kantin di UNPAD. Semangat yang tak pernah bosan meski
itu-itu saja rutinitasnya.
Kangen suara-suara
itu, ketika dialek Tegal dan Garut saling bercakap-cakap seperti kalian sedang
meributkan sesuatu padahal hanya sedang bercanda. Maaf, aku tak bisa menemanimu
melewati masa tua. Semoga Amah sekeluarga selalu ada dalam Lindungan-Nya.
###
“Neng, hari ini
ndak usah antar Azis ke sekolah ya, selesai beresi rumah langsung saja pergi ke
pasar bantu Amah.” ucap Mbak Dini mendikte pekerjaanku hari ini.
Aku mengangguk
pelan, tak ada bantahan atau menunda waktu sampai hilangnya rasa malas untuk
mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang biasa aku lakukan jika disuruh Ibuku
sendiri. Sudah dua minggu aku bekerja disini. Aku mencoba bertahan dan berusaha
untuk betah tinggal disini karena desakan keadaan. Mencari pekerjaan itu
sangatlah susah apalagi hanya bermodal
ijazah SMA sepertiku dan lagi keadaan keluarga yang tak mungkin aku
menyusahkan mereka terus-menerus.
Aku baru saja
lulus SMA tahun ini dan gagal mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan
tinggi. Aku tak mau membebankan ibu dan ayah. Mereka sudah tua dan lelah tak
sanggup aku melihat mata mereka yang berkaca tatkala aku merengek ingin lanjut
sekolah. Membiayai aku sampai tamat SMA saja sudah membuat mereka engap apalagi
harus masuk perguruan tinggi yang biayanya sampai puluhan juta. Belum lagi
keempat adikku yang masih kecil-kecil. Heumm, lebih baik aku mengalah saja. Aku
memutuskan untuk mencari pekerjaan sambil menunggu lowongan beasiswa tahun
depan.
Namun malang nasib
tak berpihak kepadaku. Sudah kucoba berulang kali memasukkan lamaran ke
beberapa perusahaan tapi tak ada satupun panggilan. Segala peraturan yang
ujung-ujungnya harus ditebus dengan uang tak mungkin aku iyakan. Lagipula ayah
terlalu kritis untuk hal ini dan beliau bilang, kalau ayah punya uang tak akan
ayah gunakan untuk menyuap perusahaan lebih baik ayah gunakan untuk kau lanjut
sekolah saja. Benar kata ayah. Tak putus aku berdoa siang malam agar aku
mendapat pekerjaan. Sampai akhirnya aku diajak seorang teman untuk menemui
saudaranya yang biasa menyalurkan para tenaga kerja, Pak Asep namanya.
Asalkan halal dan tak harus
mengeluarkan uang aku mau, pikirku waktu itu. Dan benar saja Pak Asep menawari
kami pekerjaan sebagai pramusaji di sebuah kantin universitas ternama di
Bandung. Hari itu kebetulan pemilik kantin tersebut datang berkunjung ke rumah
Pak Asep. Aku dan Novi diperkenalkan dengannya, jika kutebak usianya sudah
hampir setengah abad tapi penampilannya sangat necis seperti ABG tahun 80-an.
Dia memakai jaket kulit warna hitam lengkap dengan kacamata hitam yang
diselipkan disaku jaketnya. Kulitnya kecoklatan, matanya belo dan rambutnya
klimis seperti selesai disemir. Kumis baplangnya mirip ulat bulu yang dipajang
diantara hidung dan mulutnya menambah sangar wajahnya. Kami berbincang dengan
bapak yang memperkenalkan namanya Sambas itu. Dia mengajukan beberapa
persyaratan tersirat yang langsung kami iyakan akhirnya.
Kantin milik Pak Sambas ada di daerah Jatinangor, tepat di antara
gedung-gedung fakultas Universitas Padjajaran. Membutuhkan waktu selama 6 jam
untuk sampai kesana dengan mengendarai mobil bak milik Pak Sambas. Sepanjang
perjalanan beliau bercerita tentang dirinya yang seorang perantau cukup sukses
di Bandung yang menikahi gadis anak juragan pasar dan mempunyai tiga anak, dua
perempuan satu laki-laki. Anak pertamanya menikah dengan lelaki jawa dan
memberinya cucu perempuan. Anak keduanya masih duduk di bangku SMA. Dan si
bungsu Azis usianya sepantar dengan cucunya. Terlihat wajah Pak Sambas begitu
bangga tatkala menceritakan jagoan kecilnya itu katanya sudah lama sekali ia
menginginkan anak laki-laki.
Menjelang maghrib kami sampai di kantin milik Pak Sambas. Sebentar
rasa sakit menyelinap dalam hatiku ketika menyaksikan beberapa mahasiswa keluar
dari berbagai gedung fakultas. Seandainya aku berada dalam barisan diantara
mereka yang membawa buku-buku tebal di tangannya. Seandainya aku pun sama
seperti mereka yang tertawa lepas bersama teman-teman seperjuangan yang kenyang
mendapatkan pengetahuan dari para orang hebat yang berjejer gelar di depan dan
belakang namanya. Seandainya…. Ah, aku tak ingin larut dalam khayalan keinginan
tinggi yang akhirnya aku menyalahkan keadaan. Kata Ayah jangan berandai-andai sesuatu yang tidak bisa kita capai tanpa
tindakan.
Aku yakin ini adalah bagian dari perjuanganku. Bagian dari ceritaku
sebagai orang sukses. Takdir yang aku jalani sekarang ini adalah bagian dari
rencana Tuhan. Suatu saat akupun akan sama seperti mereka meski jalan yang kami
lewati berbeda. Lagi-lagi karena memang keadaannya aku harus berjuang dulu
mengumpulkan uang barulah bisa mencapai impian. Aku harus ikhlas menjalaninya.
Ayah juga pernah bilang, orang sukses lebih banyak menceritakan perjuangannya
yang penuh rintangan lalu ia bangga mendapat hasilnya.
Aku tersenyum memompa kembali semangat dan rasa percaya diriku. Malam
itu aku sudah mulai bekerja berbaur bersama beberapa pegawai yang lain di dapur
menyiapkan pesanan para pengunjung yang berdatangan. Pak Sambas tak henti
memperhatikan aku dan Novi ia seperti dosen yang sedang menilai mahasiswanya
mempraktekan ilmu yang baru saja diajakannya.
Setelah kantin sepi Pak Sambas memanggil aku dan Novi. Kami duduk
diantara kursi-kursi kosong dekat pintu masuk. Sambil sesekali menikmati udara
malam Jatinangor mataku tak bosan menjelajah setiap juru Universitas megah ini
dengan gedung-gedung fakultas yang tersebar di tanah yang entah berapa hektar
luasnya. Pohon-pohon yang tumbuh disekitar pinggiran jalan menambah sejuk
pemandangan.
Setelah menghela nafas lalu menghembuskannya perlahan Pak Sambas menyampaikan maksudnya
memanggilkan aku dan Novi. Ia meminta salah satu diantara kami ikut bersamanya
tinggal dirumah. Katanya sekarang kantin belum terlalu ramai dikunjungi
pengunjung karena mahasiswa yang asrama sedang liburan akhir semester. Jadi
kebanyakan diantara mereka pulang ke kotanya masing-masing. Sedangkan Pak
Sambas sangat membutuhkan seorang yang bisa membantu pekerjaan istrinya di
rumah terutama mengasuh anak kebanggaannya yang baru saja masuk SD.
Aku dan Novi saling melempar pandangan sedikit terkejut dengan
permintaan Pak Sambas. Setelah berunding
akhirnya Pak Sambas menunjukku yang diajak pulang. Aku ingin menolak tapi
rasanya lidah ini tidak sanggup mengatakan tidak. Akhirnya aku mengangguk saja.
Aku belum siap berjauhan dengan Novi, di tempat asing ini aku tak mengenal
siapapun kecuali dia. Setidaknya jika kita tetap bersama aku ada teman untuk
beradaptasi di tempat baru ini. Tapi Pak Sambas janji jika masa liburan
semester sudah selesai kita akan kembali dipekerjakan bersama-sama lagi.
Tapi seperti janji seorang ayah yang hanya merayu anaknya agar
berhenti menangis janji itu melebur seiring berubahnya waktu dan kejadian.
Setelah dua minggu aku bekerja di rumahnya membantu istrinya membereskan
pekerjaan rumah mengepel, memasak, mencuci pakaian dan menyetrika. Sesekali aku
juga membantu Amah menjaga lapak dagangan di pasar. Belum lagi aku mengasuh
Azis, putra kesayangan Pak Sambas dari mulai menyiapkannya berangkat sekolah
sampai menungguinya pulang sekolah. Terlebih Azis sudah cocok denganku mungkin
karena aku terbiasanya mengasuh keempat adikku di rumahnya jadinya aku mudah
akrab dengan anak kecil seusianya, Pak Sambas tak pernah lagi menyinggung soal
pekerjaan di kantin padaku. Hanya sesekali ia bertanya betah atau tidak tinggal
di rumahnya.
“Mah, kapan kita jalan-jalan naik mobil ini?” celoteh Azis menunjuk
mobil AVP yang sudah lama terparkir di depan rumah.
“Nanti ya cakep habis lebaran kita sekeluarga liburan ke rumah
nenek di Garut naik mobil ini.”
“Teh Neng diajak kan Mah?” Azis menggelayut manja memegang tangan
kananku.
“Kalau Teh Neng-nya mau kita ajak sekalian.”
Azis menatapku seperti memelas lalu aku tersenyum dan mengangguk. Ia
berjingkrak kemudian memelukku.
“Janji yaa..”
“InsyaAllah.”
“Ya sudah Amah berangkat ke pasar dulu Azis jangan nakal ya. Pulang
sekolah nanti ke pasar bareng Teh Neng.”
Amah masuk ke dalam mobil bak yang sudah ada Pak Sambas bersiap
dibelakang setir. Seperti ini rutinitas setiap pagi setelah menyiapkan
barang-barang yang diperlukan kemudian diangkut kedalam mobil bak keduanya berangkat
ke pasar bersamaan. Biasanya setelah mengantarkan Amah ke pasar Pak Sambas
langsung pergi ke kantin mengecek keadaan disana.
**** TO BE CONTINUE *****
0 komentar:
Posting Komentar