SURGA DI PELOSOK BENGKULU UTARA
Bus
yang aku tumpangi baru saja menepi di Dermaga 2 Pelabuhan Merak, Banten.
Antriannya cukup panjang memasuki gerbang bagasi kapal Ferri. Suara peluit
kapal dan klakson bus saling berumpatan menggantikan kokok ayam. Subuh sudah
lewat. AC bus yang tidak dimatikan semakin mengekalkan dingin. Uap mengepul
dari mulut-mulut manusia yang mendongengkan tentang hidup. Sedangkan aku sibuk
dengan urusan perut. Sedari tadi cacing-cacing di dalamnya seperti menabuh drum.
Para
pedagang asongan berhamburan masuk ke dalam bus saling berdesakan. Asong dalam
Bahasa Sunda berarti ditawarkan langsung. Dan para pedagang itu menjelajahi
setiap kursi penumpang menawarkan barang dagangannya. Ada tukang bakwan, nasi
uduk, tahu sumedang, kerupuk, lontong,
mie instan, kopi, rokok, dan banyak lagi. Aku membeli satu cup Pop Mie yang sudah diseduh. Berharap
bisa meredam lapar dan mengusir dingin yang menggelitik.
"Nanti
siang, jalanan darat pasti macet ya, Pak?" keluhku pada Bapak yang sedang
melipat sarung.
"Nikmati
saja," ujar Bapak.
"Tapi
kan masih jauh Pak. Satu hari satu malam lagi. Berapa provinsi, kota,
kabupaten, dan desa yang akan kita lewati? Kalau macet mana tahan."
"Kamu
gak akan tahu betapa luasnya Indonesia kalau gak melihatnya sendiri. Coba
nikmati saja setiap rutenya. Kamu akan menemukan keindahan dimana-mana, bahkan
terpelosok sekalipun," kata Bapak
menyemangati.
Bus
berhasil parkir di dalam bagasi kapal, para pedagang asongan tak lagi menunggu
aba-aba untuk meninggalkan bus. Mereka berlompatan keluar pintu, lalu melompat
ke dalam bus berikutnya yang masih mengantri di belakang.
"Ayo
turun!" ajak Bapak.
"Kemana?"
tanyaku.
"Turun
dari bus terus naik ke kapal. Nunggu di sini gak akan betah. Pengap!" seru
Bapak.
Bapak
lebih dulu mengambil langkah keluar dari pintu bus dan aku mengekor dari
belakang.
Benar
kata Bapak, bagasi kapal seperti ruang hampa udara. Tak banyak oksigen yang
bisa kuhirup. Tetapi, berbeda rasanya ketika sampai di kabin penumpang. Seperti
menemukan surga dunia yang dihadiahkan Tuhan pagi itu. Takjub! Tiba-tiba saja
aku teringat syair lagu Tafakur yang dinyanyikan oleh Opick.
Sejauh-jauh mata memandang
Sedalam-dalam hati merasakan
Hanya setitik debu yang tertuang
Dalam syair pujian
Lepas hati memandang lautmu
Terheran diri pada langitmu
Berjuta kata tak cukup untuk
Melukis indahmu
Butiran
embun yang diterpa angin turun menyentuh
kulit dengan lembut. Sejuk. Matahari terbangun dari peraduannya menyingkap
awan-awan hitam sisa semalam. Bias-bias sinarnya menyemburatkan semangat. Aku
mengangkat kedua tangan, merekatkan jari-jari hingga kedua kelingking diperteekahn:
matahari itu terlihat seperti bola api yang bisa kugenggam.
Langit
dan laut begitu dekat hingga tak
terlihat dimana batasnya. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan biru yang
begitu luas. Kapal melaju menggilas air menyisakan riak-riak gelombang, lalu
angin mendesir di atasnya seperti menggesekkan suara biola.
"Selamat
pagi matahari, langit, laut, angin, embun. Selamat pagi Indonesia!" sapaku
seraya merentangkan kedua tangan mensyukuri keindahan ini.
Matahari
sudah naik sepenggalahan ketika kapal menepi di Pelabuhan Bakauheni, Provinsi Lampung.
Debur ombak di laut menyampaikan salam perpisahan. Aku turun dari kabin
penumpang dan duduk manis di dalam bus. Lagi-lagi aku harus bergelut dengan AC.
Jarak tempuh yang tersisa kurang lebih 850 kilometer lagi.
Jarak
Bandung ke Bengkulu memang tak dekat, tapi demi melepas rindu pada kampung
halaman aku siap lelah. Setelah menyeberang laut, bus melaju menjelajahi
jalanan yang tak selalu lurus, kadang mendaki jalanan bergunung, berbelok pada
tikungan, menuruni jalanan yang curam, atau menyusuri ladang, hutan, dan sawah.
Ketika tiba di kota, bus berkejaran dengan kendaraan lain. Suara klakson
bersahutan, bising mesin motor berseliweran, beringsut seperti siput memadati
lampu merah.
Tetapi
dalam perjalanan ini aku menikmati setiap detik dan menit, pergantian siang dan
malam, setiap tikungan dan tanjakan. Aku menyukai apapun yang terlihat oleh
mata, terdengar oleh telinga, dan tercium oleh hidung. Aku berbaur dalam
gejolak rasa yang kuterima: senang, kesal, marah, takjub, dan bahagia.
***
Keesokan
harinya bus berhenti di kecamatan Lais, kabupaten Bengkulu Utara. Beberapa
daerah di provinsi Bengkulu terdapat tempat-tempat bersejarah khususnya di
Dusun Raja, Lais adalah tempat berdirinya kerajaan Bagian Parit Lawang Seketeng
pada abad ke-14.
Aku
dan Bapak turun. Para kondektur membantu mengeluarkan barang bawaan kami dari
bagasi. Jam sudah menunjukkan waktu dzuhur, terik matahari menyengat tepat di
atas ubun-ubun.
"Mau
kemana, Pak?" tanya seorang pria yang mengaku tukang ojek.
"Unit
Dua," jawab Bapakku.
"Mau
naik ojek?" tawarnya.
"Sebentar
saya tanya anak saya dulu."
"Aku
gak mau. Barang bawaan kita banyak, Pak," aku mengajukan pendapat sebelum
ditanya.
"Dibawa
pake empat motor, Mbak. Satu motornya murah kok cuma lima puluh ribu,"
desaknya lagi.
"Waw...
Nyekek!" ujarku.
Tukang
ojek itu semakin mendesak. Ia memanggil beberapa kawan seprofesinya. Lalu
mereka bercakap-cakap dalam bahasa Rejang dan aku kurang mengerti. Dari
intonasi bicaranya yang terkesan keras dan kasar bisa ditebak kalau ia
menggunakan bahasa Rejang Kepahiang. Berdasarkan dialeknya bahasa Rejang
memiliki tiga variasi. Dua diantaranya bahasa Rejang dialek Curup dan Lebong
memiliki kemiripan dalam pengucapan dan lebih halus dibandingkan dialek
Kepahiang. Dan bahasa Rejang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu- Polenisia.
"Dari
Lais ke unit dua masih ada lima kilo lagi, Pak," seru tukang ojek lagi.
"Itu
dia. Jauh! Kalau pakai motor panas kepanasan, hujan kehujanan," lagi-lagi
aku yang menjawab.
"Tapi
lebih cepat sampai." sanggah tukang ojek.
"Kami
bukan mau cepat, tapi mau selamat."
"Udahlah,
jangan diperpanjang!" tegur Bapak menengahi.
"Kita
rental mobil aja, Pak," aku berbisik ke telinga Bapak.
Bapak
menepuk pundakku sambil tersenyum. Lalu beliau menghampiri tukang ojek yang
sudah bersiap-siap mengantarkan kami. Bapak tampak akrab mengobrol dengan
mereka. Kulihat beliau menawarkan rokok, tapi mereka menolak. Lalu terakhir
beliau menyalami mereka sebelum akhirnya menghampiriku lagi.
"Jadinya
naik apa, Pak?" tanyaku memastikan.
"Di
sana ada mobil yang bisa di rental!"
Bapak memberi isyarat untuk aku mengikutinya.
Setelah
tawar-menawar ongkos dengan pemilik mobil, kami pun diantarnya ke tempat
tujuan.
"Orang
Indonesia luar biasa pemaafnya, sekeki apapun kalau dikasih tangan pasti
dibalas hangat. Dan lagi super ramahnya,
senyum dikit aja langsung dikasih harga miring," kata Bapak
terkekeh.
Aku
hanya tersenyum menanggapinya. Dari kaca mobil aku menikmati pemandangan yang
memanjakan mata. Berhektar-hektar luasnya ladang kelapa sawit dan karet. Lalu
pohon durian tumbuh di sekitar ladang. Sedangkan langit, aku tak pernah bosan
membidiknya.
***
Setelah
tiga jam perjalanan akhirnya mobil yang membawa kami berhenti tepat di depan
rumah Nenek di Unit 2 Desa Tambak Rejo Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu
Utara. Rumah berdinding kayu itu masih berdiri kokoh menghadap ke Barat. Di
depannya pohon cemara semakin tua. Saat aku berhasil menginjakan kaki di
halaman ada rasa yang menggetarkan sukma begitu dahsyat. Masa-masa 13 tahun
yang lalu kembali mengusik ingatan. Tawa anak kecil nan mungil di atas kelenteng yang didorong oleh Neneknya
atau ketika ia belepotan tanah setelah bermain masak-masakan.
"Ambuuuuu...,"
panggilku berlari memeluk Nenek yang sudah menyambut di depan pintu. Ada Pakde
dan Bude, juga Adik dan Kakak Sepupu yang sudah bujang.
"MasyaAllah,
sudah besar sekarang. Eloknye salewei nih,"
ujar Nenek mencium pipiku.
Setelah
aku bersalaman dengan semuanya, lalu aku
diajak masuk ke dalam rumah. Keluarga besar dari Ibu rata-rata tinggal di desa
ini. Sejak masa Orde Baru saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto ada program pemerintah
berupa transmigrasi. Sebagian besar penduduk dari Pulau Jawa disebar ke
berbagai provinsi di luar Jawa untuk pemerataan jumlah penduduk. Termasuk
keluarga Ibuku yang diberi lahan oleh pemerintah dan bermukim di sini. Penduduk
di sini berasal dari berbagai daerah, maka bahasa yang digunakannya pun
beragam: ada bahasa Sunda, Jawa, Rejang dan Melayu. Bahkan ada yang
campur-campur. Saking banyaknya penduduk dari luar, jarang sekali penduduk asli
yang bisa ditemui yaitu suku Rejang, suku bangsa tertua di Sumatera.
Pada
tahun 80-an Ibu menikah dengan pria asal Bandung yang sekarang menjadi Bapakku.
Aku lahir di sini, tapi dibesarkan di Bandung.
"Gimana
sekolah anakmu, Dang?" tanya Pakde.
"Alhamdulillah,
sudah lulus jadi Sarjana Pendidikan dan sekarang sudah mengajar di
SMP," jawab Bapak.
"Syukurlah,"
ujar Pakde bangga.
"Mang
Ara mana, Mbu?"
Aku
tiba-tiba teringat pamanku yang paling bungsu. Aku ingin minta maaf karena tak
hadir dipernikahannya.
"Itu
di depan, lagi siap-siap mau keliling dagang
ikan," tunjuk Ambu pada sebuah rumah yang berjarak tiga meter.
Aku
beranjak menghampirinya.
"Lak maipe?" tanyaku pada istri Mang
Ara yang asli orang Rejang.
"Keliling
sadei," jawabnya dalam dialek
Rejang Lebong. "Singgah kilea! Do'o
lak mu'mey? Tapi coade lapen. Ade sambel
sama pucuk ubey tuey."
"Makasih.
Uku udah makan," jawabku
menolak.
"Do'o mau tampoya? Bisa dimakan nanti
untuk sambel teman lalapan. Kalau masih kurang ambil su'ang di kulkas."
"Kok
bau durian?"
"Ya,
isinya memang durian."
Aku
membuka plastik yang membungkus tampoya. Teksturenya lembek seperti selai
durian yang biasa aku oles di atas roti. Bau durian menyengat mengundang selera, tapi ketika sampai dilidah
rasanya jadi aneh.
"Wanginya
enak, tapi rasanya asin ya?"
"Bukan
begitu cara makannya! Itu kan bumbu ikan. Tampoya terbuat dari durian busuk
yang difermentasikan dibuat untuk menghilangkan bau anyir. Cara makannya
dimasak dulu dijadikan sambal," Mang Ara tiba-tiba nimbrung sambil
terkekeh.
"Hah?
Ueeekk...," aku memuntahkan tampoya yang hampir masuk ke tenggorokan.
Mang
Ara
kembali terkekeh.
****
Ini
kali ketiga aku duduk di saung terapung di belakang rumah Nenek. September
sudah di ujung. Musim hujan sudah bisa ditebak. Jika siang hari panas terik,
maka sore hujan rincik-rincik.
Hingga
matahari naik sembilan puluh derajat di atas kepala, awan putih semakin
bergumul memesrai gunung. Menatap langit seperti kanvas yang dilukis. Belum
lagi dedaunan serta merta ditingkahi angin. Telinga dimanjakan suara gemericik
air yang mengairi kolam-kolam ikan. Aduhai, indahnya!
Ada
seberkas kerinduan yang menggelitik sanubari. Ada sesuatu yang hilang. Kemana
perginya air terjun di depan rumah? Kenapa aku tak bisa lagi mencium bau tanah
basah?
Dulu,
aku berlari-lari dari puncak hingga kaki gunung melewati sawah-sawah membentuk terasiring.
Berenang sepanjang sungai atau mandi
dari pancuran bambu yang mengalir dari kulah mata air. Teriakan-teriakan Ayuk
Kati saat kebun miliknya dijarah. Di belakang rumah Ayuk Kati adalah
istana bagi anak-anak. Kebun jambu air, kersen, kedondong, jambu bol, dan
rambutan. Sekarang, kenangan masa kecil yang menyenangkan itu perlahan direbut
oleh zaman. Kebutuhan hidup semakin meningkat dan pikiran manusia berkembang.
Di depan rumah, sungai rata dengan jalan beraspal. Pohon-pohon buah digantikan
pohon kelapa sawit. Sawah-sawah disulap
menjadi tambak ikan.
Tiba-tiba
langit menjadi mendung. Awan hitam berarak-arak menutupi langit siap-siap
menurunkan hujan. Menambah suasana melankolis hari itu.
Bapak
datang membawa secangkir kopi tubruk.
"Ngapain
ngelamun di sini?" sapa Bapak sambil menghempaskan pantatnya di atas
papan.
"Menikmati
perubahan," jawabku datar.
"Memangnya
apa yang berubah?"
"Banyak.
Dulu aku harus berlari dari rumah Ambu sampai ke sini. Sekarang satu
menit sudah sampai."
"Dulu
kan langkah kakimu kecil. Sekarang lima kali lipatnya," goda Bapak.
Aku
terkekeh.
"Teori
apa itu? Yang benarnya akibat terjadi pengikisan tanah. Tanah-tanah dari atas
sana bergeser dibawa oleh arus air hujan karena enggak ada lagi akar pohon yang
menyerap air."
"Nah,
itu anak bapak pinter!"
Bapak
menyeruput kopinya. Hujan mulai turun.
"Pak,
aku heran deh. Apa orang-orang di sini udah enggak makan nasi ya? Kenapa
sawah-sawah disulap jadi kolam ikan?"
"Hahaha.
Sawah masih ada walaupun sisa satu dua petak. Mereka memilih mata pencaharian
yang lebih menguntungkan sesuai kebutuhan pasar. Ya, beginilah jadinya,"
terang Bapak.
"Terus
hasil penjualan ikan dibelikan apa? Beras kan?" tanyaku mendesak.
"Kadang aku gak ngerti cara berpikir orang Indonesia. Memperumit keadaan
yang sebenarnya jawabannya itu-itu saja."
"Makanya
banyak-banyak bersyukur. Alam sudah menyediakan segala kebutuhan manusia,
tinggal kita pandai-pandai mengolahnya. Masih untung sawah-sawah disulap jadi
kolam, setidaknya masih ada tanah yang bisa diserap air dan rumput untuk pakan
binatang ternak. Beda ceritanya kalau sawah-sawah disulap jadi beton dan gedung
pencakar langit."
Hujan
semakin deras dan awet. Bapak kembali menyeruput kopi yang masih mengepulkan
asap. Hujan dan kopi seolah berfalsafah, hei manusia nikmatnya suara hujan
mengecap manisnya kopi! Syukurmu lebih rendah daripada ampas, yang kamu renungi
hanya dunia tanpa akhir!
Aku
bergidik ngeri.
***
Malam
ini kembali merasakan suasana berbeda. Biasanya di rumahku di Bandung hanya dua
laki-laki yang kulihat: Bapak dan Adik. Di sini anak Bibi kelimanya laki-laki
dan sudah bujang. Ditambah sahabat-sahabatnya juga yang ikut melewati malam di sini.
Persahabatan
itu selalu penuh warna. Ada yang sibuk mengulik senar gitar di luar.
Gonjrang-ganjreng mengoyak sepi. Ada pula yang colak-colek bedak di wajah lawan
saat main catur. Saling melempar tawa menggerus malam.
Aku
menyendiri di kamar menulis setiap keseruan yang kudengar. Bagaimana bisa tidur
kalau jam segini masih saja berisik di luar?
***
Matahari
menyongsong dari balik gunung Arga Makmur, kabupaten Bengkulu Utara. Oktober
telah disambut. Seakan menjadi saksi perubahan-perubahan di sini. Menjulang
tinggi menara dan gardu listrik, kabel-kabel twis membentang panjang menyelip
di antara dedaunan. Sedangkan dulu hanya bercahayakan lampu tempel. Berjajar kendaraan roda dua di tempat parkir
SMP, kadang berseliweran juga di jalan menyalip kendaraan roda empat. Sedangkan
dulu anak-anak sekolah berlarian di pematang sawah menggantungkan sepatu di
leher berlomba dengan fajar atau tatkala senja mulai menghilang kami pergi ke
tajug membawa obor. Sekarang, tajug ini sepi bahkan jarang sekali kudengar
panggilan sholat sampai ke rumah. Entah karena pengeras suara tajug yang tak
bisa menjangkau jarak atau tak ada lagi yang mau mengisi tajug. Satu-satunya
ustad yang mengajariku mengaji dulu sudah pindah ke kota, katanya.
Dulu
untuk bisa sekolah tinggi setamatnya dari sekolah dasar kami harus ke kota.
Sekarang, padang ilalang tempatku bermain meniup gelembung dan menangkap capung
telah berwajah bangunan-bangunan kokoh untuk mencari ilmu. Tak ada lagi tanah
kosong di sini, rumah-rumah sudah ramai, kebun kelapa sawit dan kakao tertanam
menghiasi halaman rumah.
Ya,
13 tahun sudah kutinggalkan tanah kelahiranku ini. Meski berbeda karena masa
kecil itu tinggal kenangan, aku tetap merindukan angin di sini. Memeluk
cahayanya hingga aku tak pernah asing setiap menatap jalanan yang tak lagi
tanah merah.
"Mau
ikut ngojay?" tanya bapak mengagetkan.
"Kemana?"
aku balik bertanya.
"Aer
Buat."
"Hayu!"
aku girang bukan kepalang.
Aer
Buat adalah sungai yang masih tersisa setelah air terjun di depan dan siring
di belakang rumah yang sudah kering kerontang.
Sehabis
berenang di sungai aku selonjoran di bawah pohon kelapa. Sesekali panas masih
terasa menyengat. Tetapi alasan apapun tak akan menjadi halanganku untuk
menikmati pemandangan ini. Panas kali ini jadi sahabat karib dan bersamaku
memeluk angin membiarkan baju kering di badan. Aku tak bosan menatap langit.
Menyaksikan setiap detik pergerakan awan yang meninggalkan jejak bagai
serabut-serabut kapas. Angin sepoi-sepoi sesekali menggodaku menyubit-nyubit
kulit yang kuyup oleh air.
Bapak
dan sepupu-sepupuku sedang membakar ikan di tepi kolam. Kami akan menyantapnya
dengan rujak mangga dan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Nikmat
sekali.
***
Malam
sudah larut, tapi aku masih saja terjaga.
"Tadi
siang makan apa memangnya?" Bapak terus bertanya seraya mengusap-usap
punggungku yang dipenuhi bintik-bintik merah.
"Aku
makan apa yang bapak makan," ujarku.
"Terus
kenapa bisa jadi begini?"
"Mana
aku tahu, tadi sore baik-baik aja," aku menangis menahan gatal yang
menyerang seluruh tubuhku secara sadis.
"Coba
pakai ini!" Ambu menawarkan bedak anti gatal.
Aku
mengambilnya dan langsung menaburkan bedak tersebut ke seluruh tubuh.
"Itu
akibat mandi di Aer Buat. Limbah kolam-kolam ikan dibuang ke sana. Pantes aja
kalau gatel soalnya sama aja mandi dengan air campuran pelet ikan."
"Iihh
jorok!" Bapak terkekeh. Aku menekuk wajahku kesal.
"Tapi
kok Bapak enggak gatel?"
"Ya,
kulit setiap orang kan beda-beda."
"Gak
adil."
"Ya
udah, tidur sana. Besok kita mau hiking
ke rumah Pakde Leli di Korotidur. Besok kita obatin di sana. Insya Allah sembuh!"
***
Selepas
subuh Bapak sudah siap dengan perlengkapan hikingnya. Sepupu-sepupuku juga ikut.
"Perjalanan
ini akan memakan waktu seharian. Jadi, kita harus pastikan kondisi badan yang
fit juga bekal makanan yang cukup," Bapak memberi komando.
"Siap!"
Sepupu-sepupuku mengangkat tangannya memberi hormat.
Seharian
kita melewati ladang, kolam, sawah, rawa, mendaki dan menuruni bukit lalu
menyeberangi jembatan bambu goyang: lima batang bambu direkatkan oleh besi
batangan dan ketika diinjak bambu akan bergoyang dan berdecit. Beberapa kali
mendengar lolongan anjing kami abaikan.
Pukul
sepuluh pagi kami baru sampai di rumah Pakde Leli. Sejenak kami melepas lelah.
Pakde mengupas beberapa buah kelapa muda
lalu disuguhkannya pada kami. Ketika lelah sudah tidak terasa kami pun
melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun 9 Tingkat. Kalau akses jalan dari
Bandara Fatmawati ke Air Terjun 9 Tingkat kira-kira berjarak 120 kilometer.
Pepohonan
yang dilengkapi semak belukar menyapa kami di pintu masuk hutan. Meski terlihat
padat ternyata hutan ini sudah dilengkapi jalur jelas yang bisa dilalui.
Sepupu-sepupuku yang jadi pemandu sudah mengambil barisan paling depan.
Perjalanan
menjelajahi hutan selama sekitar satu jam
terbayar dengan pemandangan indah yang disajikan Curug 9. Air terjun
yang turun perlahan dari tingkatan satu ke tingkatan lainnya membuatku berdecak
kagum. Pepohonan dan bebatuan di sekitar air terjun memperindah pemandangan.
Lekukan arus air seakan menyusup di antara tumpukan pohon dan batu. Untung saja
hujan bulan Oktober masih jarang sehingga air terjun tidak meluap.
Kicauan
burung adalah nyanyian alam paling syahdu. Bumi dan segala isinya: tanah, batu,
daun, air, angin, langit, dan awan bertasbih
atas keagungan Tuhan.
"Subhanallah...
Surga dunia di pelosok Indonesia!"
Surga
adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan alam yang terekam oleh
mata. Biarpun setiap orang belum melihat bentuk surga yang sesungguhnya, tapi
di dunia ini kita telah mendapatkan keindahan itu. Seindah apapun buatan
manusia tak akan bisa mengalahkan keindahan alam yang disediakan oleh Tuhan
dengan gratis.
"Ayo
cepet nyemplung! Konon katanya air di sini bisa menyembuhkan penyakit kulit
seperti gatal-gatal," seru salah satu sepupuku.
"Oh
ya? Tapi aku gak percaya mitos ah," jawabku.
"Mitos
itu bukan untuk dipercaya. Pernyataan seperti itu ada karena pernah dibuktikan
oleh leluhur kita. Apa salahnya kita mencoba sebagai bentuk ikhtiar dengan niat
tetap percaya pada Tuhan, Maha Penyembuh."
"Betul
itu. Alam akan mendatangkan penyakit kalau kita tak pandai menjaga, tetapi alam
juga yang menyediakan obat yang dititipkan oleh Tuhan."
Tak
menunggu lebih lama lagi aku meluncur ke dalam air. Merasakan dinginnya yang
meresap melalui pori-pori kulit. Aku menyelam sampai ke dasarnya. Menafakuri
segala hal yang terjadi, yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan
tercium oleh hidung.
Langit
yang kutatap adalah sama. Bumi yang kupijak tidak berbeda. Di belahan mana aku terjaga?
Aku ingin anak cucuku kelak merasakan keindahan ini. Aku tak ingin mereka
sekadar mendengarkan dongeng atau belajar sejarah saja tanpa terjun langsung ke
dalamnya. Aku ingin mereka juga meresapi baunya tanah basah, bukan baunya asap knalpot.
Aku
ingin mereka dekat dengan alam. Dekat dengan Tuhan.
Tercatat
dalam perjalanan Bandung- Bengkulu Utara, 25 September – 3 Obtober 2013
0 komentar:
Posting Komentar