Jumat, 25 Desember 2015

CERPEN - SURGA DI PELOSOK BENGKULU UTARA

Edit Posted by with No comments


SURGA DI PELOSOK BENGKULU UTARA
Bus yang aku tumpangi baru saja menepi di Dermaga 2 Pelabuhan Merak, Banten. Antriannya cukup panjang memasuki gerbang bagasi kapal Ferri. Suara peluit kapal dan klakson bus saling berumpatan menggantikan kokok ayam. Subuh sudah lewat. AC bus yang tidak dimatikan semakin mengekalkan dingin. Uap mengepul dari mulut-mulut manusia yang mendongengkan tentang hidup. Sedangkan aku sibuk dengan urusan perut. Sedari tadi cacing-cacing di dalamnya seperti menabuh drum.
Para pedagang asongan berhamburan masuk ke dalam bus saling berdesakan. Asong dalam Bahasa Sunda berarti ditawarkan langsung. Dan para pedagang itu menjelajahi setiap kursi penumpang menawarkan barang dagangannya. Ada tukang bakwan, nasi uduk, tahu sumedang, kerupuk, lontong,  mie instan, kopi, rokok, dan banyak lagi. Aku membeli satu cup Pop Mie yang sudah diseduh. Berharap bisa meredam lapar dan mengusir dingin yang menggelitik.   
"Nanti siang, jalanan darat pasti macet ya, Pak?" keluhku pada Bapak yang sedang melipat sarung. 
"Nikmati saja," ujar Bapak.
"Tapi kan masih jauh Pak. Satu hari satu malam lagi. Berapa provinsi, kota, kabupaten, dan desa yang akan kita lewati? Kalau macet mana tahan."
"Kamu gak akan tahu betapa luasnya Indonesia kalau gak melihatnya sendiri. Coba nikmati saja setiap rutenya. Kamu akan menemukan keindahan dimana-mana, bahkan terpelosok sekalipun,"  kata Bapak menyemangati.
Bus berhasil parkir di dalam bagasi kapal, para pedagang asongan tak lagi menunggu aba-aba untuk meninggalkan bus. Mereka berlompatan keluar pintu, lalu melompat ke dalam bus berikutnya yang masih mengantri di belakang.
"Ayo turun!" ajak Bapak.
"Kemana?" tanyaku.
"Turun dari bus terus naik ke kapal. Nunggu di sini gak akan betah. Pengap!" seru Bapak.
Bapak lebih dulu mengambil langkah keluar dari pintu bus dan aku mengekor dari belakang.
Benar kata Bapak, bagasi kapal seperti ruang hampa udara. Tak banyak oksigen yang bisa kuhirup. Tetapi, berbeda rasanya ketika sampai di kabin penumpang. Seperti menemukan surga dunia yang dihadiahkan Tuhan pagi itu. Takjub! Tiba-tiba saja aku teringat syair lagu Tafakur yang dinyanyikan oleh Opick.
Sejauh-jauh mata memandang
Sedalam-dalam hati merasakan
Hanya setitik debu yang tertuang
Dalam syair pujian

Lepas hati memandang lautmu
Terheran diri pada langitmu
Berjuta kata tak cukup untuk
Melukis indahmu
Butiran embun yang diterpa angin turun  menyentuh kulit dengan lembut. Sejuk. Matahari terbangun dari peraduannya menyingkap awan-awan hitam sisa semalam. Bias-bias sinarnya menyemburatkan semangat. Aku mengangkat kedua tangan, merekatkan jari-jari hingga kedua kelingking diperteekahn: matahari itu terlihat seperti bola api yang bisa kugenggam.
Langit dan laut  begitu dekat hingga tak terlihat dimana batasnya. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan biru yang begitu luas. Kapal melaju menggilas air menyisakan riak-riak gelombang, lalu angin mendesir di atasnya seperti menggesekkan suara biola.
"Selamat pagi matahari, langit, laut, angin, embun. Selamat pagi Indonesia!" sapaku seraya merentangkan kedua tangan mensyukuri keindahan ini.
Matahari sudah naik sepenggalahan ketika kapal menepi di Pelabuhan Bakauheni, Provinsi Lampung. Debur ombak di laut menyampaikan salam perpisahan. Aku turun dari kabin penumpang dan duduk manis di dalam bus. Lagi-lagi aku harus bergelut dengan AC. Jarak tempuh yang tersisa kurang lebih 850 kilometer lagi.  
Jarak Bandung ke Bengkulu memang tak dekat, tapi demi melepas rindu pada kampung halaman aku siap lelah. Setelah menyeberang laut, bus melaju menjelajahi jalanan yang tak selalu lurus, kadang mendaki jalanan bergunung, berbelok pada tikungan, menuruni jalanan yang curam, atau menyusuri ladang, hutan, dan sawah. Ketika tiba di kota, bus berkejaran dengan kendaraan lain. Suara klakson bersahutan, bising mesin motor berseliweran, beringsut seperti siput memadati lampu merah.  
Tetapi dalam perjalanan ini aku menikmati setiap detik dan menit, pergantian siang dan malam, setiap tikungan dan tanjakan. Aku menyukai apapun yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan tercium oleh hidung. Aku berbaur dalam gejolak rasa yang kuterima: senang, kesal, marah, takjub, dan bahagia.
***
Keesokan harinya bus berhenti di kecamatan Lais, kabupaten Bengkulu Utara. Beberapa daerah di provinsi Bengkulu terdapat tempat-tempat bersejarah khususnya di Dusun Raja, Lais adalah tempat berdirinya kerajaan Bagian Parit Lawang Seketeng pada abad ke-14.
Aku dan Bapak turun. Para kondektur membantu mengeluarkan barang bawaan kami dari bagasi. Jam sudah menunjukkan waktu dzuhur, terik matahari menyengat tepat di atas ubun-ubun.
"Mau kemana, Pak?" tanya seorang pria yang mengaku tukang ojek.
"Unit Dua," jawab Bapakku.
"Mau naik ojek?" tawarnya.
"Sebentar saya tanya anak saya dulu."
"Aku gak mau. Barang bawaan kita banyak, Pak," aku mengajukan pendapat sebelum ditanya.
"Dibawa pake empat motor, Mbak. Satu motornya murah kok cuma lima puluh ribu," desaknya lagi.
"Waw... Nyekek!" ujarku.
Tukang ojek itu semakin mendesak. Ia memanggil beberapa kawan seprofesinya. Lalu mereka bercakap-cakap dalam bahasa Rejang dan aku kurang mengerti. Dari intonasi bicaranya yang terkesan keras dan kasar bisa ditebak kalau ia menggunakan bahasa Rejang Kepahiang. Berdasarkan dialeknya bahasa Rejang memiliki tiga variasi. Dua diantaranya bahasa Rejang dialek Curup dan Lebong memiliki kemiripan dalam pengucapan dan lebih halus dibandingkan dialek Kepahiang. Dan bahasa Rejang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu- Polenisia.
"Dari Lais ke unit dua masih ada lima kilo lagi, Pak," seru tukang ojek lagi.
"Itu dia. Jauh! Kalau pakai motor panas kepanasan, hujan kehujanan," lagi-lagi aku yang menjawab.
"Tapi lebih cepat sampai." sanggah tukang ojek.
"Kami bukan mau cepat, tapi mau selamat."
"Udahlah, jangan diperpanjang!" tegur Bapak menengahi.
"Kita rental mobil aja, Pak," aku berbisik ke telinga Bapak.
Bapak menepuk pundakku sambil tersenyum. Lalu beliau menghampiri tukang ojek yang sudah bersiap-siap mengantarkan kami. Bapak tampak akrab mengobrol dengan mereka. Kulihat beliau menawarkan rokok, tapi mereka menolak. Lalu terakhir beliau menyalami mereka sebelum akhirnya menghampiriku lagi.
"Jadinya naik apa, Pak?" tanyaku memastikan.
"Di sana ada mobil yang bisa di rental!"
Bapak  memberi isyarat untuk aku mengikutinya.
Setelah tawar-menawar ongkos dengan pemilik mobil, kami pun diantarnya ke tempat tujuan.
"Orang Indonesia luar biasa pemaafnya, sekeki apapun kalau dikasih tangan pasti dibalas hangat. Dan lagi super ramahnya,  senyum dikit aja langsung dikasih harga miring," kata Bapak terkekeh.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Dari kaca mobil aku menikmati pemandangan yang memanjakan mata. Berhektar-hektar luasnya ladang kelapa sawit dan karet. Lalu pohon durian tumbuh di sekitar ladang. Sedangkan langit, aku tak pernah bosan membidiknya.
***
Setelah tiga jam perjalanan akhirnya mobil yang membawa kami berhenti tepat di depan rumah Nenek di Unit 2 Desa Tambak Rejo Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara. Rumah berdinding kayu itu masih berdiri kokoh menghadap ke Barat. Di depannya pohon cemara semakin tua. Saat aku berhasil menginjakan kaki di halaman ada rasa yang menggetarkan sukma begitu dahsyat. Masa-masa 13 tahun yang lalu kembali mengusik ingatan. Tawa anak kecil nan mungil di atas kelenteng yang didorong oleh Neneknya atau ketika ia belepotan tanah setelah bermain masak-masakan.
"Ambuuuuu...," panggilku berlari memeluk Nenek yang sudah menyambut di depan pintu. Ada Pakde dan Bude, juga Adik dan Kakak Sepupu yang sudah bujang.
"MasyaAllah, sudah besar sekarang. Eloknye salewei nih," ujar Nenek mencium pipiku.
Setelah aku bersalaman dengan semuanya, lalu  aku diajak masuk ke dalam rumah. Keluarga besar dari Ibu rata-rata tinggal di desa ini. Sejak masa Orde Baru saat Indonesia dipimpin oleh Soeharto ada program pemerintah berupa transmigrasi. Sebagian besar penduduk dari Pulau Jawa disebar ke berbagai provinsi di luar Jawa untuk pemerataan jumlah penduduk. Termasuk keluarga Ibuku yang diberi lahan oleh pemerintah dan bermukim di sini. Penduduk di sini berasal dari berbagai daerah, maka bahasa yang digunakannya pun beragam: ada bahasa Sunda, Jawa, Rejang dan Melayu. Bahkan ada yang campur-campur. Saking banyaknya penduduk dari luar, jarang sekali penduduk asli yang bisa ditemui yaitu suku Rejang, suku bangsa tertua di Sumatera.
Pada tahun 80-an Ibu menikah dengan pria asal Bandung yang sekarang menjadi Bapakku. Aku lahir di sini, tapi dibesarkan di Bandung.
"Gimana sekolah anakmu, Dang?" tanya Pakde.
"Alhamdulillah, sudah lulus jadi Sarjana Pendidikan dan sekarang sudah mengajar di SMP," jawab Bapak.
"Syukurlah," ujar Pakde bangga.
"Mang Ara mana, Mbu?"
Aku tiba-tiba teringat pamanku yang paling bungsu. Aku ingin minta maaf karena tak hadir dipernikahannya.
"Itu di depan, lagi siap-siap mau keliling  dagang ikan," tunjuk Ambu pada sebuah rumah yang berjarak tiga meter.
Aku beranjak menghampirinya.
"Lak maipe?" tanyaku pada istri Mang Ara yang asli orang Rejang.
"Keliling sadei," jawabnya dalam dialek Rejang Lebong. "Singgah kilea! Do'o lak mu'mey? Tapi coade lapen. Ade sambel sama pucuk ubey tuey."
"Makasih. Uku udah makan," jawabku menolak.
"Do'o mau tampoya? Bisa dimakan nanti untuk sambel teman lalapan. Kalau masih kurang ambil su'ang di kulkas."
"Kok bau durian?"
"Ya, isinya memang durian."
Aku membuka plastik yang membungkus tampoya. Teksturenya lembek seperti selai durian yang biasa aku oles di atas roti. Bau durian menyengat  mengundang selera, tapi ketika sampai dilidah rasanya jadi aneh.
"Wanginya enak, tapi rasanya asin ya?"
"Bukan begitu cara makannya! Itu kan bumbu ikan. Tampoya terbuat dari durian busuk yang difermentasikan dibuat untuk menghilangkan bau anyir. Cara makannya dimasak dulu dijadikan sambal," Mang Ara tiba-tiba nimbrung sambil terkekeh.
"Hah? Ueeekk...," aku memuntahkan tampoya yang hampir masuk ke tenggorokan.
Mang Ara kembali terkekeh.
****
Ini kali ketiga aku duduk di saung terapung di belakang rumah Nenek. September sudah di ujung. Musim hujan sudah bisa ditebak. Jika siang hari panas terik, maka sore hujan rincik-rincik. 
Hingga matahari naik sembilan puluh derajat di atas kepala, awan putih semakin bergumul memesrai gunung. Menatap langit seperti kanvas yang dilukis. Belum lagi dedaunan serta merta ditingkahi angin. Telinga dimanjakan suara gemericik air yang mengairi kolam-kolam ikan. Aduhai, indahnya!
Ada seberkas kerinduan yang menggelitik sanubari. Ada sesuatu yang hilang. Kemana perginya air terjun di depan rumah? Kenapa aku tak bisa lagi mencium bau tanah basah?
Dulu, aku berlari-lari dari puncak hingga kaki gunung melewati sawah-sawah membentuk terasiring. Berenang sepanjang sungai  atau mandi dari pancuran bambu yang mengalir dari kulah mata air. Teriakan-teriakan Ayuk Kati saat kebun miliknya dijarah. Di belakang rumah Ayuk Kati adalah istana bagi anak-anak. Kebun jambu air, kersen, kedondong, jambu bol, dan rambutan. Sekarang, kenangan masa kecil yang menyenangkan itu perlahan direbut oleh zaman. Kebutuhan hidup semakin meningkat dan pikiran manusia berkembang. Di depan rumah, sungai rata dengan jalan beraspal. Pohon-pohon buah digantikan pohon kelapa sawit.  Sawah-sawah disulap menjadi tambak ikan.
Tiba-tiba langit menjadi mendung. Awan hitam berarak-arak menutupi langit siap-siap menurunkan hujan. Menambah suasana melankolis hari itu.
Bapak datang membawa secangkir kopi tubruk.
"Ngapain ngelamun di sini?" sapa Bapak sambil menghempaskan pantatnya di atas papan.
"Menikmati perubahan," jawabku datar. 
"Memangnya apa yang berubah?"
"Banyak. Dulu aku harus berlari dari rumah Ambu sampai ke sini. Sekarang satu menit sudah sampai."
"Dulu kan langkah kakimu kecil. Sekarang lima kali lipatnya," goda Bapak.
Aku terkekeh.
"Teori apa itu? Yang benarnya akibat terjadi pengikisan tanah. Tanah-tanah dari atas sana bergeser dibawa oleh arus air hujan karena enggak ada lagi akar pohon yang menyerap air."
"Nah, itu anak bapak pinter!"
Bapak menyeruput kopinya. Hujan mulai turun.
"Pak, aku heran deh. Apa orang-orang di sini udah enggak makan nasi ya? Kenapa sawah-sawah disulap jadi kolam ikan?"
"Hahaha. Sawah masih ada walaupun sisa satu dua petak. Mereka memilih mata pencaharian yang lebih menguntungkan sesuai kebutuhan pasar. Ya, beginilah jadinya," terang Bapak.
"Terus hasil penjualan ikan dibelikan apa? Beras kan?" tanyaku mendesak. "Kadang aku gak ngerti cara berpikir orang Indonesia. Memperumit keadaan yang sebenarnya jawabannya itu-itu saja."
"Makanya banyak-banyak bersyukur. Alam sudah menyediakan segala kebutuhan manusia, tinggal kita pandai-pandai mengolahnya. Masih untung sawah-sawah disulap jadi kolam, setidaknya masih ada tanah yang bisa diserap air dan rumput untuk pakan binatang ternak. Beda ceritanya kalau sawah-sawah disulap jadi beton dan gedung pencakar langit."
Hujan semakin deras dan awet. Bapak kembali menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap. Hujan dan kopi seolah berfalsafah, hei manusia nikmatnya suara hujan mengecap manisnya kopi! Syukurmu lebih rendah daripada ampas, yang kamu renungi hanya dunia tanpa akhir!
Aku bergidik ngeri.
***
Malam ini kembali merasakan suasana berbeda. Biasanya di rumahku di Bandung hanya dua laki-laki yang kulihat: Bapak dan Adik. Di sini anak Bibi kelimanya laki-laki dan sudah bujang. Ditambah sahabat-sahabatnya juga yang ikut melewati malam di sini.
Persahabatan itu selalu penuh warna. Ada yang sibuk mengulik senar gitar di luar. Gonjrang-ganjreng mengoyak sepi. Ada pula yang colak-colek bedak di wajah lawan saat main catur. Saling melempar tawa menggerus malam.
Aku menyendiri di kamar menulis setiap keseruan yang kudengar. Bagaimana bisa tidur kalau jam segini masih saja berisik di luar?
***
Matahari menyongsong dari balik gunung Arga Makmur, kabupaten Bengkulu Utara. Oktober telah disambut. Seakan menjadi saksi perubahan-perubahan di sini. Menjulang tinggi menara dan gardu listrik, kabel-kabel twis membentang panjang menyelip di antara dedaunan. Sedangkan dulu hanya bercahayakan lampu tempel.  Berjajar kendaraan roda dua di tempat parkir SMP, kadang berseliweran juga di jalan menyalip kendaraan roda empat. Sedangkan dulu anak-anak sekolah berlarian di pematang sawah menggantungkan sepatu di leher berlomba dengan fajar atau tatkala senja mulai menghilang kami pergi ke tajug membawa obor. Sekarang, tajug ini sepi bahkan jarang sekali kudengar panggilan sholat sampai ke rumah. Entah karena pengeras suara tajug yang tak bisa menjangkau jarak atau tak ada lagi yang mau mengisi tajug. Satu-satunya ustad yang mengajariku mengaji dulu sudah pindah ke kota, katanya.
Dulu untuk bisa sekolah tinggi setamatnya dari sekolah dasar kami harus ke kota. Sekarang, padang ilalang tempatku bermain meniup gelembung dan menangkap capung telah berwajah bangunan-bangunan kokoh untuk mencari ilmu. Tak ada lagi tanah kosong di sini, rumah-rumah sudah ramai, kebun kelapa sawit dan kakao tertanam menghiasi halaman rumah.
Ya, 13 tahun sudah kutinggalkan tanah kelahiranku ini. Meski berbeda karena masa kecil itu tinggal kenangan, aku tetap merindukan angin di sini. Memeluk cahayanya hingga aku tak pernah asing setiap menatap jalanan yang tak lagi tanah merah.
"Mau ikut ngojay?" tanya bapak mengagetkan.
"Kemana?" aku balik bertanya.
"Aer Buat."
"Hayu!" aku girang bukan kepalang.
Aer Buat adalah sungai yang masih tersisa setelah air terjun di depan dan siring di belakang rumah yang sudah kering kerontang.
Sehabis berenang di sungai aku selonjoran di bawah pohon kelapa. Sesekali panas masih terasa menyengat. Tetapi alasan apapun tak akan menjadi halanganku untuk menikmati pemandangan ini. Panas kali ini jadi sahabat karib dan bersamaku memeluk angin membiarkan baju kering di badan. Aku tak bosan menatap langit. Menyaksikan setiap detik pergerakan awan yang meninggalkan jejak bagai serabut-serabut kapas. Angin sepoi-sepoi sesekali menggodaku menyubit-nyubit kulit yang kuyup oleh air.
Bapak dan sepupu-sepupuku sedang membakar ikan di tepi kolam. Kami akan menyantapnya dengan rujak mangga dan kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Nikmat sekali.
***
Malam sudah larut, tapi aku masih saja terjaga.
"Tadi siang makan apa memangnya?" Bapak terus bertanya seraya mengusap-usap punggungku yang dipenuhi bintik-bintik merah.
"Aku makan apa yang bapak makan," ujarku.
"Terus kenapa bisa jadi begini?"
"Mana aku tahu, tadi sore baik-baik aja," aku menangis menahan gatal yang menyerang seluruh tubuhku secara sadis.
"Coba pakai ini!" Ambu menawarkan bedak anti gatal.
Aku mengambilnya dan langsung menaburkan bedak tersebut ke seluruh tubuh.
"Itu akibat mandi di Aer Buat. Limbah kolam-kolam ikan dibuang ke sana. Pantes aja kalau gatel soalnya sama aja mandi dengan air campuran pelet ikan."
"Iihh jorok!" Bapak terkekeh. Aku menekuk wajahku kesal.
"Tapi kok Bapak enggak gatel?"
"Ya, kulit setiap orang kan beda-beda."  
"Gak adil."
"Ya udah, tidur sana. Besok kita mau hiking ke rumah Pakde Leli di Korotidur. Besok kita obatin di sana. Insya Allah sembuh!"
***
Selepas subuh Bapak sudah siap dengan perlengkapan hikingnya.  Sepupu-sepupuku juga ikut.
"Perjalanan ini akan memakan waktu seharian. Jadi, kita harus pastikan kondisi badan yang fit juga bekal makanan yang cukup," Bapak memberi komando.
"Siap!" Sepupu-sepupuku mengangkat tangannya memberi hormat.
Seharian kita melewati ladang, kolam, sawah, rawa, mendaki dan menuruni bukit lalu menyeberangi jembatan bambu goyang: lima batang bambu direkatkan oleh besi batangan dan ketika diinjak bambu akan bergoyang dan berdecit. Beberapa kali mendengar lolongan anjing kami abaikan.
Pukul sepuluh pagi kami baru sampai di rumah Pakde Leli. Sejenak kami melepas lelah. Pakde mengupas  beberapa buah kelapa muda lalu disuguhkannya pada kami. Ketika lelah sudah tidak terasa kami pun melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun 9 Tingkat. Kalau akses jalan dari Bandara Fatmawati ke Air Terjun 9 Tingkat kira-kira berjarak 120 kilometer.
Pepohonan yang dilengkapi semak belukar menyapa kami di pintu masuk hutan. Meski terlihat padat ternyata hutan ini sudah dilengkapi jalur jelas yang bisa dilalui. Sepupu-sepupuku yang jadi pemandu sudah mengambil barisan paling depan. 
Perjalanan menjelajahi hutan selama sekitar satu jam  terbayar dengan pemandangan indah yang disajikan Curug 9. Air terjun yang turun perlahan dari tingkatan satu ke tingkatan lainnya membuatku berdecak kagum. Pepohonan dan bebatuan di sekitar air terjun memperindah pemandangan. Lekukan arus air seakan menyusup di antara tumpukan pohon dan batu. Untung saja hujan bulan Oktober masih jarang sehingga air terjun tidak meluap.
Kicauan burung adalah nyanyian alam paling syahdu. Bumi dan segala isinya: tanah, batu, daun, air, angin, langit, dan awan  bertasbih atas keagungan Tuhan.
"Subhanallah... Surga dunia di pelosok Indonesia!"
Surga adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan alam yang terekam oleh mata. Biarpun setiap orang belum melihat bentuk surga yang sesungguhnya, tapi di dunia ini kita telah mendapatkan keindahan itu. Seindah apapun buatan manusia tak akan bisa mengalahkan keindahan alam yang disediakan oleh Tuhan dengan gratis.
"Ayo cepet nyemplung! Konon katanya air di sini bisa menyembuhkan penyakit kulit seperti gatal-gatal," seru salah satu sepupuku.
"Oh ya? Tapi aku gak percaya mitos ah," jawabku.
"Mitos itu bukan untuk dipercaya. Pernyataan seperti itu ada karena pernah dibuktikan oleh leluhur kita. Apa salahnya kita mencoba sebagai bentuk ikhtiar dengan niat tetap percaya pada Tuhan, Maha Penyembuh."
"Betul itu. Alam akan mendatangkan penyakit kalau kita tak pandai menjaga, tetapi alam juga yang menyediakan obat yang dititipkan oleh Tuhan."
Tak menunggu lebih lama lagi aku meluncur ke dalam air. Merasakan dinginnya yang meresap melalui pori-pori kulit. Aku menyelam sampai ke dasarnya. Menafakuri segala hal yang terjadi, yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan tercium oleh hidung.
Langit yang kutatap adalah sama. Bumi yang kupijak tidak berbeda. Di belahan mana aku terjaga? Aku ingin anak cucuku kelak merasakan keindahan ini. Aku tak ingin mereka sekadar mendengarkan dongeng atau belajar sejarah saja tanpa terjun langsung ke dalamnya. Aku ingin mereka juga meresapi baunya tanah basah, bukan  baunya asap knalpot.
Aku ingin mereka dekat dengan alam. Dekat dengan Tuhan.

Tercatat dalam perjalanan Bandung- Bengkulu Utara, 25 September – 3 Obtober 2013

0 komentar:

Posting Komentar