Jumat, 25 Desember 2015

CERPEN - POTRET MERAH PUTIH

Edit Posted by with No comments


Tidak jauh beda dari cerpen sebelumnya... cerpen ini ditulis untuk diikutsertakan dalam lomba. belum menang juga, lagi-lagi cuma masuk nominator. hahaha.... ayo menulis sebanyak-banyaknya.

POTRET MERAH PUTIH
Ki Hajar Dewantara. Dalam pengasingan ia merintis cita-cita: memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Kembali dalam perjuangan ia tanggalkan gelar kebangsawanan. Bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Sudah lebih dari enam puluh tahun Belanda terusir, namun hidup tak seperti sudah merdeka. Entah langit mana yang dijunjung. Entah negeri mana yang dibangun. Yang ditawarkan hanya kepalsuan dan kengerian. Pendidikan menjelma hukum rimba.
“Orang yang meraih cita dengan susah payah, ketika sukses ia akan ingat perihnya.” Kalimat itu selalu diulang Amak setiap kali selesai bercerita tentang perjuangan pahlawan yang dikaguminya, Ki Hajar Dewantara.
Amak menambahkan dua batang kayu ke dalam tungku perapian. Punggungnya sedikit membungkuk lalu mulutnya menggelembung meniupkan angin. Butuh api besar untuk mendidihkan air dalam panci.
“Jika Sulung nanti jadi seorang profesor, Sulung akan ingat bahwa hari ini pernah makan singkong rebus bersama Amak,’ celoteh Sulung.
Amak tersenyum getir.
“Apa Ki Hajar Dewantara pernah makan singkong rebus, Mak?”
Amak tertegun.
Sulung mengambil lagi singkong rebus yang masih mengepulkan asap. Ada taburan parutan kelapa di atasnya sebagai topping. Ketika akan dilahap singkong ituterjatuh ke lantai. Ia ambil, diusapkan pada celana merah kusam lalu kembali didaratkan ke mulut. Gurih. Sisanya ia masukan ke dalam kantong keresek untuk bekal makan siang. Kalau Amak masak banyak ia suka membaginya dengan teman-teman sekolah. Bagi Sulung dan Amak, singkong rebus adalah makanan terlezat yang mereka punya. Ada rasa cinta dan syukur dalam setiap gigitannya.
“Amak tak tahu. Tapi, jika sajabeliau makan singkong rebus Amak pasti bakal ketagihan.”
“Ah, Amak ge-er,” Sulung terkekeh. Mulutnya dijejali singkong rebus.
###
Ia diberi nama Sulung.Di hatinya, Yang Maha Kuasa menanamkan asa. Biar tak punya ayah, tapi ia punya Amak yang bersusah payah merawat dan membesarkannya sendiri. Bekerja kesana kemari mencari rezeki walau yang didapat hanya cukup untuk sesuap nasi. Sulung tak menyerah pada keadaan.
Selepas salat subuh ia pamit. Diikatkannya tali kedua sepatu lalu digantung di pundaknya. Bertelanjang kaki menyusuri ruas pematang sawah. Mengerat sunyi. Melangkah sepasti matahari. Kalau beruntung ia bisa nebeng mobil pengangkut sayur atau truk yang lewat. Tapi, tak setiap hari ia berpapasan dengan keberuntungan itu.
Sebelum matahari menyingsing ia berusaha menyeberangi jembatan miring Citamiang. Berpijak pada bambu yang rapuh dan licin. Berpegang pada tali yang membentang 80 meter. Membelah kabut perak Sungai Cisanggiri. Ia harus berhati-hati karena nyawa yang jadi taruhan. Setiap pijakannya adalah doa dan harapan. Ia meminta perlindungan Tuhan agar tak membiarkan sungai Cisanggiri mengamuk di musim hujan. Sulung tak takut pada bahaya, ia hanya takut jika hari ini tak bisa sekolah.
Jika berhasil sampai ke seberang ia belum bisa bernafas lega. Di belakang teman-teman seperjuangannya mengekor panjang. Anak laki-laki dan perempuan berseragam merah putih. Ada yang digendong ayahnya, digandeng  pamannya, bahkan dipikul abangnya. Potret seperti ini terjadi setiap hari.
Matahari di balik gunung ufuk timur seolah mengintip langkah Sulung dan kawan-kawan. Kaki-kaki mungil itu menyapu gerimis di dedaunan.  Melukis jejak di tanah basah. Berangkat dengan penuh semangat untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Hari itu ada sorot kamera yang merekamnya .
***
Seorang wartawan menerobos pagar kantor kementrian. Ia memaksa ingin bertemu Pak Menteri.
“Saya ingin menagih janji Pak Menteri!” ujar wartawan itu lantang.
“Anda sudah membuat janji dengan Pak Menteri?” tanya seorang satpam yang berjaga.
“Saya tak membuat janji dengan Pak Menteri, tapi Pak Menteri sudah membuat janji dengan rakyat.”
“Maksud saya anda harus membuat janji untuk bisa bertemu dengan Pak Menteri,” satpam itu mengeja ucapannya.
“Kenapa begitu? Apa tidak boleh rakyat mau bertemu dengan menterinya?”
“Anda rakyat?”
“Bukan. Saya wartawan ingin menyampaikan aspirasi rakyat.”
“Aspirasi dalam bentuk apa?”
“Tulisan.”
“Oh, kebetulan Pak Menteri juga suka menulis.”
“Kalau begitu biarkan saya masuk dan bertemu Pak Menteri!” desak wartawan.
“Tidak bisa!” satpam itu memblokir langkah wartawan.
“Kenapa?”
“Karena anda tidak punya janji dengan Pak Menteri.”
“Sudah kubilang, Pak Menteri yang punya janji!” Wartawan geram.
Satpam merenung. Keningnya mengerut beberapa lipatan.
“Anda bisa datang lagi besok, silakan buat janji dulu di sini.” Satpam itu menyodorkan buku dan bolpoin.
“Saya tak mau membuat janji pada Pak Menteri. Saya ingin menagih janji Pak Menteri yang katanya akan memajukan pendidikan di negeri ini. Puluhan anak di desa Cisanggiri butuh bukti dari janji Pak Menteri.”
“Pak Menteri tidak ada di kantor. Beliau sedang sibuk dengan launching buku barunya. Jadi, silakan anda buat janji di sini!” seru Pak Satpam bersikukuh.
“Hah! Kalau begitu tolong berikan ini pada Pak Menteri. Semoga bisa menginspirasi tulisannya dan bisa bermanfaat.”
Wartawan itu melenggang pergi meninggalkan kantor kementrian.
***
Hujan tak berhenti dari semalam. Atap rumah Sulung bocor di mana-mana. Air hujan  menggenang di dalam rumah yang masih beralas tanah. Wadah-wadah tak cukup untuk menampungnya.
Sulung berjaga. Ia takut jika tertidur tiba-tiba datang banjir. Matanya terus mengawasi seragam dan buku-buku sekolah. Sampai pagi hujan tak mau berhenti. Malah semakin deras. Sulung berlari ke belakang rumah. Memotong daun pisang yang cukup lebar. Lalu ia pamit pada Amak dengan mencium tangan keriputnya.
“Hati-hati di jalan. Semoga Alloh selalu melindungimu.” doa Amak pagi itu.
Sulung pun pergi dengan senyum yang merekah di bibirnya.
Beberapa jam Sulung mematung menyaksikan jembatan Citamiang. Kakinya berlumuran lumpur sawah. Tangan kirinya memegang daun pisang yang dijadikan payung.
Sungai Cisanggiri mengamuk. Ia mengeluarkan suara gemuruh dahsyat. Arusderas hampir melahap jembatan Citamiang.
“Sulung, pulanglah! Besok saja berangkat sekolahnya, tunggu musim hujan reda atau pemerintah buatkan kita jembatan yang layak!” seorang Bapak berteriak.
Sulung tak menghiraukannya. Ia duduk di atas batu besar menunggu Sungai Cisanggiri meredam amarahnya. Tiba-tiba ia teringat nasihat gurunya di sekolah: Hari ini kita belajar mengeja, besok kita bisa membaca, dan lusa kita pandai membaca.
“Tak boleh ada hari yang terlewatkan,” gumam Sulung.
Lalu ia melangkah dengan pasti mendekati jembatan Citamiang. Semakin dekat semakin jelas ganasnya gemuruh yang dibawa aliran keruh berwarna cokelat itu. Hujan mencakari daun pisan yang dibawanya. Lalu angin menerbangkannya seperti layangan yang putus dari tali. Buih-buih gelombang menjilati bambu-bambu jembatan. Bergoyang-goyang. Tiba-tiba gelombang menerkam Sulung. Tubuh mungilnya diseret ke pusaran arus deras. Ia tak bisa teriak sebab air keruh lebih dulu menyumpal mulutnya. Seketika sungai Cisanggiri melumat tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
***
“Terima kasih, Pak Menteri sudah mau memenuhi janji pada rakyat,” ujar wartawan setelah menjabat tangan Pak Menteri. “Jembatan ini bukan hanya penghubung jarak Sungai Cisanggiri, tapi juga penghubung masa depan anak bangsa.”
Pak Menteri hanya tersenyum simpul. Kilatan blitz kamera mengabadikan gerak-gerik Pak Menteri ketika meresmikan jembatan Citamiang yang baru. Warga-warga desa Cisanggiri satu per satu menyalami Pak Menteri, bahkan ada yang memeluknya sambil menangis.
“Ini ada titipan surat untuk Bapak,” seorang wartawan memberikan sepucuk surat.
“Dari siapa?” tanya Pak Menteri.
“Almarhum Sulung.” jawabnya dengan suara bergetar.
Pak Menteri membuka surat itu. Lalu membacanya dengan suara pelan.
YTH. Bapak Ki Hajar Dewantara
Aku sangat kagum pada. Setiap pagi Amak bercerita tentang Bapak. Ah, senang sekali rasanya jika suatu pagi Bapak berkunjung ke rumahku, kita bisa makan singkong rebus buatan amak yang enak sekali.
Bapak, aku berjanji akan rajin sekolah. Seperti cita-cita Bapak untuk negeri ini.
Sulung – kelas VI SDN Cisanggiri
“Siapa Ki Hajar Dewantara?” Pak Menteri spontan bertanya “Apa dia saudara Ki Joko Bodo?”
Wartawan iu terkekeh sambil menyikut lengan Pak Menteri.
                 

0 komentar:

Posting Komentar