POTRET
MERAH PUTIH
Ki Hajar
Dewantara. Dalam pengasingan ia merintis cita-cita: memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priyayi maupun orang-orang Belanda. Kembali dalam perjuangan ia tanggalkan
gelar kebangsawanan. Bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Sudah
lebih dari enam puluh tahun Belanda terusir, namun hidup tak seperti sudah merdeka.
Entah langit mana yang dijunjung. Entah negeri mana yang dibangun. Yang
ditawarkan hanya kepalsuan dan kengerian. Pendidikan menjelma hukum rimba.
“Orang
yang meraih cita dengan susah payah, ketika sukses ia akan ingat perihnya.” Kalimat
itu selalu diulang Amak setiap kali selesai bercerita tentang perjuangan
pahlawan yang dikaguminya, Ki Hajar Dewantara.
Amak
menambahkan dua batang kayu ke dalam tungku perapian. Punggungnya sedikit
membungkuk lalu mulutnya menggelembung meniupkan angin. Butuh api besar untuk mendidihkan
air dalam panci.
“Jika
Sulung nanti jadi seorang profesor, Sulung akan ingat bahwa hari ini pernah
makan singkong rebus bersama Amak,’ celoteh Sulung.
Amak
tersenyum getir.
“Apa
Ki Hajar Dewantara pernah makan singkong rebus, Mak?”
Amak
tertegun.
Sulung
mengambil lagi singkong rebus yang masih mengepulkan asap. Ada taburan parutan
kelapa di atasnya sebagai topping.
Ketika akan dilahap singkong ituterjatuh ke lantai. Ia ambil, diusapkan pada
celana merah kusam lalu kembali didaratkan ke mulut. Gurih. Sisanya ia masukan
ke dalam kantong keresek untuk bekal makan siang. Kalau Amak masak banyak ia
suka membaginya dengan teman-teman sekolah. Bagi Sulung dan Amak, singkong
rebus adalah makanan terlezat yang mereka punya. Ada rasa cinta dan syukur
dalam setiap gigitannya.
“Amak
tak tahu. Tapi, jika sajabeliau makan singkong rebus Amak pasti bakal ketagihan.”
“Ah,
Amak ge-er,” Sulung terkekeh.
Mulutnya dijejali singkong rebus.
###
Ia
diberi nama Sulung.Di hatinya, Yang Maha Kuasa menanamkan asa. Biar tak punya
ayah, tapi ia punya Amak yang bersusah payah merawat dan membesarkannya
sendiri. Bekerja kesana kemari mencari rezeki walau yang didapat hanya cukup untuk
sesuap nasi. Sulung tak menyerah pada keadaan.
Selepas
salat subuh ia pamit. Diikatkannya tali kedua sepatu lalu digantung di
pundaknya. Bertelanjang kaki menyusuri ruas pematang sawah. Mengerat sunyi.
Melangkah sepasti matahari. Kalau beruntung ia bisa nebeng mobil pengangkut sayur atau truk yang lewat. Tapi, tak
setiap hari ia berpapasan dengan keberuntungan itu.
Sebelum
matahari menyingsing ia berusaha menyeberangi jembatan miring Citamiang.
Berpijak pada bambu yang rapuh dan licin. Berpegang pada tali yang membentang
80 meter. Membelah kabut perak Sungai Cisanggiri. Ia harus berhati-hati karena
nyawa yang jadi taruhan. Setiap pijakannya adalah doa dan harapan. Ia meminta
perlindungan Tuhan agar tak membiarkan sungai Cisanggiri mengamuk di musim
hujan. Sulung tak takut pada bahaya, ia hanya takut jika hari ini tak bisa
sekolah.
Jika
berhasil sampai ke seberang ia belum bisa bernafas lega. Di belakang
teman-teman seperjuangannya mengekor panjang. Anak laki-laki dan perempuan
berseragam merah putih. Ada yang digendong ayahnya, digandeng pamannya, bahkan dipikul abangnya. Potret
seperti ini terjadi setiap hari.
Matahari
di balik gunung ufuk timur seolah mengintip langkah Sulung dan kawan-kawan. Kaki-kaki
mungil itu menyapu gerimis di dedaunan. Melukis
jejak di tanah basah. Berangkat dengan penuh semangat untuk mendapatkan ilmu
yang bermanfaat.
Hari
itu ada sorot kamera yang merekamnya .
***
Seorang
wartawan menerobos pagar kantor kementrian. Ia memaksa ingin bertemu Pak
Menteri.
“Saya
ingin menagih janji Pak Menteri!” ujar wartawan itu lantang.
“Anda
sudah membuat janji dengan Pak Menteri?” tanya seorang satpam yang berjaga.
“Saya
tak membuat janji dengan Pak Menteri, tapi Pak Menteri sudah membuat janji
dengan rakyat.”
“Maksud
saya anda harus membuat janji untuk bisa bertemu dengan Pak Menteri,” satpam
itu mengeja ucapannya.
“Kenapa
begitu? Apa tidak boleh rakyat mau bertemu dengan menterinya?”
“Anda
rakyat?”
“Bukan.
Saya wartawan ingin menyampaikan aspirasi rakyat.”
“Aspirasi
dalam bentuk apa?”
“Tulisan.”
“Oh,
kebetulan Pak Menteri juga suka menulis.”
“Kalau
begitu biarkan saya masuk dan bertemu Pak Menteri!” desak wartawan.
“Tidak
bisa!” satpam itu memblokir langkah wartawan.
“Kenapa?”
“Karena
anda tidak punya janji dengan Pak Menteri.”
“Sudah
kubilang, Pak Menteri yang punya janji!” Wartawan geram.
Satpam
merenung. Keningnya mengerut beberapa lipatan.
“Anda
bisa datang lagi besok, silakan buat janji dulu di sini.” Satpam itu
menyodorkan buku dan bolpoin.
“Saya
tak mau membuat janji pada Pak Menteri. Saya ingin menagih janji Pak Menteri
yang katanya akan memajukan pendidikan di negeri ini. Puluhan anak di desa
Cisanggiri butuh bukti dari janji Pak Menteri.”
“Pak
Menteri tidak ada di kantor. Beliau sedang sibuk dengan launching buku barunya. Jadi, silakan anda buat janji di sini!” seru
Pak Satpam bersikukuh.
“Hah!
Kalau begitu tolong berikan ini pada Pak Menteri. Semoga bisa menginspirasi
tulisannya dan bisa bermanfaat.”
Wartawan
itu melenggang pergi meninggalkan kantor kementrian.
***
Hujan
tak berhenti dari semalam. Atap rumah Sulung bocor di mana-mana. Air hujan menggenang di dalam rumah yang masih beralas
tanah. Wadah-wadah tak cukup untuk menampungnya.
Sulung
berjaga. Ia takut jika tertidur tiba-tiba datang banjir. Matanya terus
mengawasi seragam dan buku-buku sekolah. Sampai pagi hujan tak mau berhenti.
Malah semakin deras. Sulung berlari ke belakang rumah. Memotong daun pisang
yang cukup lebar. Lalu ia pamit pada Amak dengan mencium tangan keriputnya.
“Hati-hati
di jalan. Semoga Alloh selalu melindungimu.” doa Amak pagi itu.
Sulung
pun pergi dengan senyum yang merekah di bibirnya.
Beberapa
jam Sulung mematung menyaksikan jembatan Citamiang. Kakinya berlumuran lumpur
sawah. Tangan kirinya memegang daun pisang yang dijadikan payung.
Sungai
Cisanggiri mengamuk. Ia mengeluarkan suara gemuruh dahsyat. Arusderas hampir
melahap jembatan Citamiang.
“Sulung,
pulanglah! Besok saja berangkat sekolahnya, tunggu musim hujan reda atau
pemerintah buatkan kita jembatan yang layak!” seorang Bapak berteriak.
Sulung
tak menghiraukannya. Ia duduk di atas batu besar menunggu Sungai Cisanggiri
meredam amarahnya. Tiba-tiba ia teringat nasihat gurunya di sekolah: Hari ini kita belajar mengeja, besok kita
bisa membaca, dan lusa kita pandai membaca.
“Tak
boleh ada hari yang terlewatkan,” gumam Sulung.
Lalu
ia melangkah dengan pasti mendekati jembatan Citamiang. Semakin dekat semakin
jelas ganasnya gemuruh yang dibawa aliran keruh berwarna cokelat itu. Hujan
mencakari daun pisan yang dibawanya. Lalu angin menerbangkannya seperti
layangan yang putus dari tali. Buih-buih gelombang
menjilati bambu-bambu jembatan. Bergoyang-goyang. Tiba-tiba gelombang menerkam
Sulung. Tubuh mungilnya diseret ke pusaran arus deras. Ia tak bisa teriak sebab
air keruh lebih dulu menyumpal mulutnya. Seketika sungai Cisanggiri melumat
tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
***
“Terima
kasih, Pak Menteri sudah mau memenuhi janji pada rakyat,” ujar wartawan setelah
menjabat tangan Pak Menteri. “Jembatan ini bukan hanya penghubung jarak Sungai
Cisanggiri, tapi juga penghubung masa depan anak bangsa.”
Pak
Menteri hanya tersenyum simpul. Kilatan blitz kamera mengabadikan gerak-gerik
Pak Menteri ketika meresmikan jembatan Citamiang yang baru. Warga-warga desa
Cisanggiri satu per satu menyalami Pak Menteri, bahkan ada yang memeluknya
sambil menangis.
“Ini
ada titipan surat untuk Bapak,” seorang wartawan memberikan sepucuk surat.
“Dari
siapa?” tanya Pak Menteri.
“Almarhum
Sulung.” jawabnya dengan suara bergetar.
Pak
Menteri membuka surat itu. Lalu membacanya dengan suara pelan.
YTH. Bapak Ki
Hajar Dewantara
Aku sangat kagum
pada. Setiap pagi Amak bercerita tentang Bapak. Ah, senang sekali rasanya jika
suatu pagi Bapak berkunjung ke rumahku, kita bisa makan singkong rebus buatan
amak yang enak sekali.
Bapak, aku
berjanji akan rajin sekolah. Seperti cita-cita Bapak untuk negeri ini.
Sulung – kelas VI SDN Cisanggiri
“Siapa
Ki Hajar Dewantara?” Pak Menteri spontan bertanya “Apa dia saudara Ki Joko
Bodo?”
Wartawan
iu terkekeh sambil menyikut lengan Pak Menteri.
|
0 komentar:
Posting Komentar