“Jika
semua keinginan maunya dikabulkan, kita tak akan pernah tahu rasanya mendekati
Allah dalam jutaan doa dan harapan.”
Sebait kalimat indah itu membuka mataku.
Hatiku. Mendamaikan pikiranku.
Sore itu cuaca mendung mengabarkan tentang
hujan. Alhamdulillah, hari-hari menuju bulan Ramadhan Alloh menurunkan banyak
berkah. Aku urung pulang ke rumah. Tak kuasa melihat wajah kecewa Bapak dan
Mamah yang sedari tadi berkelebatan di antara pikiranku yang sedang semrawut.
Gara-gara usahaku nihil. Langahku diayun oleh hati yang tiba-tiba tergerak
untuk mengunjungi sahabatku di pesantren ALBIDAYAH.
Sahabatku tak akan merasa aneh. Sudah menjadi
kebiasaan jika aku datang mendadak, kalaupun ada perencaan biasanya kunjungan
itu gak pernah jadi. Alasannya, macam-macam.
Sibuklah, tiba-tiba ada halanganlah atau yang lainnya. Seolah-olah aku
memang senang membuat kejutan.
Silaturahmi pembuka rezeki. Rezekinya bisa apa
saja. Sahabat yang baik itu rezeki. Nasehat yang bijak itu rezeki juga.
Sebut saja Neng Tief. Dia hendak shalat ashar
setelah memanggilku dengan sebutan sayangnya, “Eceeeuuu....,”
“Mau ikut ke makam?” tanya Neng Tief selesai
shalat.
“Ziarah?”
“Yup,”
“Ikut!”
Tahu enggak, ketika mendapat kesempatan untuk
melakukan kebaikan yang Alloh janjikan banyak pahalanya, bukankah itu rezeki
juga?
Selepas shalat ashar aku pun ikut rombongan
keluarga Neng Tief menziarahi makam pendiri pesantren ALBIDAYAH: KH. M. Sirodj,
yang terkenal dengan sebutan Mama
Cangkorah. Ah, nikmat sekali. Sore yang begitu pilu dan rasanya angin ikut pula
mendendangkan lagu syahdu. Duduk di antara shaf bagian akhwat aku mengikuti doa
yang dipimpin Pak Aas, ayahnya Neng Tief dan juga guru ngajiku.
“Ya Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan engkau,” ngilu sekali saat kuucapkan doa itu. Terbayang usaha yang
sudah kulakukan hari itu. Betapapun jerihnya jika Allah belum berkehendak, maka
harus bersabar. Membuktikan bahwa sekuat-kuatnya manusia, tetaplah ia hanya
seorang hamba. Dan aku hanya seorang hamba yang lemah sedang Allah Maha Kuasa.
“Mama, mohon do’anya...,” lanjutku di depan
makam beliau.
Kemudian kami pamit.
Di rumah Neng Tief aku bercerita banyak hal
yang lucu. Kesusahanku hari itu tak kuceritakan padanya. Aku orangnya tak suka
membebani orang lain, terlebih beban di kepalaku ini sangat membuatku pusing
tujuh keliling. Meski mulut ini terus bercuap-cuap dan sesekali gelak tawa
membahana, tetap saja hati dan pikiranku menjerit dan memelas, “Ya Allah,
tolong aku!”
Sepertiga malam aku dibangunkan Neng Tief.
Sesuai permintaanku. Karena biasanya jika menginap di pesantren-entah kenapa-
tidurku selalu lelap. Padahal kalau hari-hari biasa di rumah aku termasuk orang
yang susah tidur malam.
Shalat sunnat Lail kudirikan. Doa yang
kupanjatkan masih sama seperti kemarin.
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha
Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam,
lalu berfirman ; barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa
yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun,
pasti Aku akan mengampuninya”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan
Ibnu Abi ‘Ashim).
Sambil menunggu subuh aku lanjut bercerita
dengan Neng Tief. Ya, semua orang tahu jika kedua sahabat karib saling bertemu
selalu banyak hal yang dibicarakan. Terlebih kami bersahabat sudah lebih dari
10 tahun dan akhir-akhir ini jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
Jam 08.00 aku baru selesai sarapan, 5 menit kemudian
aku mandi dan mengambil air wudhu.
Langit pagi itu cedeum ngabaeudan. Dinginnya air membekukan suasana pagi itu.
Namun, tak mengurungkan niatku untuk mendirikan shalat Dhuha.
Aku mengusap wajah setelah selesai memelas
kepada Allah. Menyerahkan segala keresahan dan kebingunganku hanya pada Allah.
Hanya Allah yang dapat menolongku. Aku butuh pertolonganNya.
Hujan lebat turun tanpa aba-aba. Luruh begitu
saja. Lalu hujan berhenti sesaat.
“Lho, hujannya
cuma sebentar?” Neng Tief bergumam seraya tangannya mencolek lulur yang akan digosokkannya
ke wajah. “Subhanallah, Ceu. Do’amu diijabah Allah.”
Aku mematung. Memaknai kalimat yang
diucapkannya itu.
“Barusan kan Eceu berdoa, terus turun hujan.
Itu salah satu tanda ijabahnya doa.”
“AMIN. Amin ya Rabbal ‘alamin.”
Ajaibnya sesampai di kantor aku mendapati
semua doaku terkabul. Allahuakbar!
0 komentar:
Posting Komentar