Jumat, 25 Desember 2015

BERKAH DI SETIAP BUTIR AIR HUJAN

Edit Posted by with No comments


 
 “Jika semua keinginan maunya dikabulkan, kita tak akan pernah tahu rasanya mendekati Allah dalam jutaan doa dan harapan.”
Sebait kalimat indah itu membuka mataku. Hatiku. Mendamaikan pikiranku.
Sore itu cuaca mendung mengabarkan tentang hujan. Alhamdulillah, hari-hari menuju bulan Ramadhan Alloh menurunkan banyak berkah. Aku urung pulang ke rumah. Tak kuasa melihat wajah kecewa Bapak dan Mamah yang sedari tadi berkelebatan di antara pikiranku yang sedang semrawut. Gara-gara usahaku nihil. Langahku diayun oleh hati yang tiba-tiba tergerak untuk mengunjungi sahabatku di pesantren ALBIDAYAH. 
Sahabatku tak akan merasa aneh. Sudah menjadi kebiasaan jika aku datang mendadak, kalaupun ada perencaan biasanya kunjungan itu gak pernah jadi. Alasannya, macam-macam.  Sibuklah, tiba-tiba ada halanganlah atau yang lainnya. Seolah-olah aku memang senang membuat kejutan.
Silaturahmi pembuka rezeki. Rezekinya bisa apa saja. Sahabat yang baik itu rezeki. Nasehat yang bijak itu rezeki juga.
Sebut saja Neng Tief. Dia hendak shalat ashar setelah memanggilku dengan sebutan sayangnya, “Eceeeuuu....,”
“Mau ikut ke makam?” tanya Neng Tief selesai shalat.
“Ziarah?”
“Yup,”
“Ikut!”
Tahu enggak, ketika mendapat kesempatan untuk melakukan kebaikan yang Alloh janjikan banyak pahalanya, bukankah itu rezeki juga?
Selepas shalat ashar aku pun ikut rombongan keluarga Neng Tief menziarahi makam pendiri pesantren ALBIDAYAH: KH. M. Sirodj, yang terkenal dengan sebutan Mama Cangkorah. Ah, nikmat sekali. Sore yang begitu pilu dan rasanya angin ikut pula mendendangkan lagu syahdu. Duduk di antara shaf bagian akhwat aku mengikuti doa yang dipimpin Pak Aas, ayahnya Neng Tief dan juga guru ngajiku.
“Ya Allah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan engkau,” ngilu sekali saat kuucapkan doa itu. Terbayang usaha yang sudah kulakukan hari itu. Betapapun jerihnya jika Allah belum berkehendak, maka harus bersabar. Membuktikan bahwa sekuat-kuatnya manusia, tetaplah ia hanya seorang hamba. Dan aku hanya seorang hamba yang lemah sedang Allah Maha Kuasa.
“Mama, mohon do’anya...,” lanjutku di depan makam beliau.
Kemudian kami pamit.
Di rumah Neng Tief aku bercerita banyak hal yang lucu. Kesusahanku hari itu tak kuceritakan padanya. Aku orangnya tak suka membebani orang lain, terlebih beban di kepalaku ini sangat membuatku pusing tujuh keliling. Meski mulut ini terus bercuap-cuap dan sesekali gelak tawa membahana, tetap saja hati dan pikiranku menjerit dan memelas, “Ya Allah, tolong aku!”
Sepertiga malam aku dibangunkan Neng Tief. Sesuai permintaanku. Karena biasanya jika menginap di pesantren-entah kenapa- tidurku selalu lelap. Padahal kalau hari-hari biasa di rumah aku termasuk orang yang susah tidur malam.
Shalat sunnat Lail kudirikan. Doa yang kupanjatkan masih sama seperti kemarin.
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu berfirman ; barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Abi ‘Ashim).
Sambil menunggu subuh aku lanjut bercerita dengan Neng Tief. Ya, semua orang tahu jika kedua sahabat karib saling bertemu selalu banyak hal yang dibicarakan. Terlebih kami bersahabat sudah lebih dari 10 tahun dan akhir-akhir ini jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
Jam 08.00 aku baru selesai sarapan, 5 menit kemudian aku mandi dan mengambil air wudhu.  Langit pagi itu cedeum ngabaeudan.  Dinginnya air membekukan suasana pagi itu. Namun, tak mengurungkan niatku untuk mendirikan shalat Dhuha.
Aku mengusap wajah setelah selesai memelas kepada Allah. Menyerahkan segala keresahan dan kebingunganku hanya pada Allah. Hanya Allah yang dapat menolongku. Aku butuh pertolonganNya.
Hujan lebat turun tanpa aba-aba. Luruh begitu saja. Lalu hujan berhenti sesaat.
“Lho,  hujannya cuma sebentar?” Neng Tief bergumam seraya tangannya mencolek lulur yang akan digosokkannya ke wajah. “Subhanallah, Ceu. Do’amu diijabah Allah.”
Aku mematung. Memaknai kalimat yang diucapkannya itu.
“Barusan kan Eceu berdoa, terus turun hujan. Itu salah satu tanda ijabahnya doa.”
“AMIN. Amin ya Rabbal ‘alamin.”
Ajaibnya sesampai di kantor aku mendapati semua doaku terkabul. Allahuakbar!

0 komentar:

Posting Komentar