Jika karena hanya satu hal: aku akan mencari banyak alasan untuk tetap tinggal.
Kalau dua atau tiga hal: aku akan mencari cara untuk tetap bertahan.
Tetapi, walau banyak hal telah melampaui batas sabar, setidaknya aku masih punya satu alasan satu cara: Diam.
Sudah aku bilang aku sangat mencintai sepi. Sampai-sampai aku merasa saudara kembar dengannya.
Aku bisa bertahan dalam diam yang cukup lama, berteman dengan detak
jantung dan helaan nafas. Duduk diatas rumput hijau sesaat mematung
sekadar menikmati kehadiran angin: memejamkan mata merasakan ia membelai
kulit, mendengarkan siutnya, menyaksikan ia tatkala menggugurkan daun
kering lalu menerbangkannya hingga perlahan jatuh menyentuh tanah.
Teduh. Angin itu tidak terlihat tidak bisa dipegang. Namun ia
mengabarkan bahwa selalu ada yang memperhatikan dari arah tak berhingga.
Atau duduk berlama-lama di atas hamparan sajadah, menenggelamkan
wajah, hanya sanggup tangan yang bertengadah. Tak ada suara. Diam. Sepi.
Tapi tahukah ada yang sedang bergemuruh, ada yang sedang merintih
sakit, ada yang sedang menangis sesenggukan, ada yang sedang menjerit,
ada yang sedang meminta tolong, ada yang sedang mengadu, ada yang sedang
bercerita panjang lebar. Biarpun terpendam sesungguhnya ada yang
mendengar ada yang memahami ada yang merindu untuk lebih dekat. Ia
mengingatkan lewat sabar.
Tak ada tempat yang nyaman sampai aku temukan sepi. Bahkan setelah
mengusap air mata sebab menahan sesak, sebab tak ingin membalas, sebab
aku tersenyum dalam bungkam, sebab menerimanya pasrah. Aku tak ingin
menyakiti sebab disakiti itu tak enak rasanya. Biarpun tak ada yang bisa
mengerti tetapi wahai ada yang selalu merangkul penuh kasih. Ia
membisik ke dalam hati supaya ikhlas. Sesekali tengok saja ke langit
rasakan sensasi tatkala bulir-bulir air jatuh diwajah. Membentangkan
tangan dan menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga memenuhi ruang
dada. Lega. Langit memberitahu bahwa selalu ada yang menaungi selalu ada
yang melindungi tanpa batas.
Siapapun tahu matahari, bintang besar yang bersinar di siang hari.
Dan tahukah ada yang mengeluhkan teriknya yang menyengat. Menyeka
keringat sambil mengumpat. Lupa, suatu waktu pernah juga memuji
keindahannya bersamaan dengan suara debur ombar, semilir angin, dan
jari-jari kaki yang digelitiki pasir pantai. Mata dimanjakan oleh
semburat senja. Lalu menghabiskan sisa waktu untuk memperhatikannya
lamat-lamat hingga ia terbenam di barat. Bahkan saat musim hujan begitu
deras dan dingin menusuk-nusuk kulit, saat ia tak nampak pun begitu
dirindukan hangatnya. Apa saja bisa dikeluhkan apa saja bisa tak sesuai
keinginan apa saja bisa mengecewakan jika tak menerima dengan lapang dan
syukur. Ah, sesungguhnya pergantian musim itu menyadarkan atas kealfaan
bahwa ada yang mengatur ada yang mengetahui yang terbaik ada yang
mencukupi kebutuhan.
Sebenarnya aku ingin berteriak tapi apa daya suara tersekat
dikerongkongan. Aku ingin marah-marah, mencaci-maki, menyalahkan
keadaan, memuntahkan kekesalan dan kejengkelan, tetapi hei saat semua
sudah terlewat aku akan menertawakan kebodohan itu. Saat sepi menyatu
dalam ruh, saat ada yang menyelam sampai ke dasar sukma, saat tanya
seperti anak panah yang menancap tepat di dada. Hanya sebersit luka
perihnya pun melenguh. Berapa banyak berbuat salah, berapa kali telah
lalai & lupa pun selalu ada yang menerima dengan tangan terbuka,
selalu bersedia memaafkan. Tak pernah hitung-hitungan dalam memberi, tak
pernah lelah untuk menjaga, tak pernah membenci saat kembali.
Namun, tidakkah malu jika harus berkali-kali mengulang kesalahan.
Jangan terus-menerus mengharap ampunan. Karena suatu saat balasannya pun
berlipat-lipat...
Bayangkan bagaimana jika esok matahari terbit di barat? Hujan angin menjadi badai? Hanya bisa menumpuk sesal!
Pada akhirnya aku tahu, tak selamanya diam itu pilihan bijaksana,
terkadang harus bicara menggunakan hati agar lawan bicara mau mendengar,
paham dan mengerti.
25-Agustus-2013 'Aku sedang berkontemplasi... '
Rabu, 11 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar