Kamis, 12 Juni 2014

CERPEN "PULANG"

Edit Posted by with No comments





(buat RAR)
Aku baru saja sampai rumah ketika kudapati Uyut membuka kasur lipat lalu duduk di depan televisi. Tumben sekali beberapa hari Uyut lebih banyak menghabiskan waktu disini: shalat, makan, tidur, mandi, dan bersantai. Rumah Uyut hanya berjarak lima meter dan biasanya Uyut tidak betah lama-lama mengosongkannya. 
Uyut memutarkan kepala hingga membuat sudut 45 derajat dan menjawab salam yang kuucapkan.
"Kenapa baru pulang?"
"Ada latihan upacara dulu. Jadinya telat."
Setelah menaruh sepatu di rak aku pergi ke kamar mencopot semua perangkat sekolah yang masih melekat di badan. Tadinya aku ingin tanyakan apa saja yang sudah dilakukan Uyut seharian ini, tapi urung ketika kulihat Uyut kembali fokus pada tontonannya. Lagipula kulitku terasa lengket oleh keringat jadi aku buru-buru menyambar handuk dan segera mandi.
Perempuan berusia hampir mencapai 90 tahun itu masih terlihat bugar bila dikatakan renta. Giginya masih berjajar rapi dan kuat untuk menggigit es batu. Tubuhnya masih tegak tidak memerlukan tongkat untuk berjalan menahan badan atau tulang punggung yang membungkuk karena osteoporosis. Hanya uban yang menggantikan rambut dan kulit keriput yang takmampu disembunyikan lagi.
Aku keluar dari kamar mandi dengan piyama dan handuk yang membungkus rambut basah. Tanganku menjinjing tas plastik berisi body lotion, bedak, parfum, dan pelembab wajah. Aku duduk di dekat Uyut.
"Satu malam lagi Uyut tidur disini ya?" ujar Uyut meminta persetujuan.
"Setiap malam juga takakan jadi masalah." jawabku santai.
"Justru masalah kalau setiap hari tinggal di rumah orang."
"Ini kan rumah cucunya Uyut. Ayah dan Ibu tidak mungkin mempermasalahkan."
"Tapi Uyut punya rumah sendiri jadi tidak mau merepotkan."
"Untuk alasan kasih sayang mereka tidak akan merasa direpotkan."
"Kau masih kecil tahu apa tentang kasih sayang?"
"Dan Uyut sudah tua jadi sebaiknya menerima apa yang sudah seharusnya aku, nenek, ayah, dan ibu berikan." 
Memang, seharusnya aku tak menekankan perkataanku karena itu pasti menyinggung Uyut. Aku merasa bersalah ketika beberapa saat Uyut  terdiam tanpa berkedip. Lalu Uyut menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Diulanginya beberapa kali hingga dadanya terlihat kembang-kempis. Sesekali kudengar mulutnya mengucap istighfar, barangkali Uyut merasa jengkel punya cicit yang sangat cerewet seperti aku atau mungkin Uyut merasa sangat tua dan menyimpan banyak beban hidup yang menggelayut di pikiran dan hatinya.
Aku mengeluarkan body lotion dan menggosok-gosokannya ke tangan, kaki, dan leher. Kemudian uyut meraih body lotion itu dan aku terkejut waktu Uyut menirukan apa yang aku lakukan.
"Uyut juga mau dandan supaya wangi." katanya sambil mempermainkan alisnya yang turun-naik membuat keningnya mengkerut beberapa lipatan.
"Uyut centil ih." godaku.
"Lho apa salahnya?" Uyut terkesima.
"Uyut kan sudah tua." ledekku lagi. 
"Menjaga kebersihan dan keindahan diri itu tak memilih tua atau muda. Apalagi manfaatnya untuk sendiri." jawab Uyut berkilah.
"Oh, aku kira ada maksud lain."
 Aku tertawa geli. 
"Jadi uyut benar-benar mau pulang?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan berharap Uyut berubah pikiran.
"Ya."
"Tidak takut sendiri dan kesepian?"
"Tidak."
"Nanti kalau mati lampu rumah Uyut akan gelap. Uyut tidak takut?"
"Tidak!"
"Nanti Uyut capek mengerjakan segala hal sendirian."
Uyut kembali menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat.
"Tinggal istirahat. Apa yang mesti ditakutkan kalau menjadi sendiri toh apa yang dibutuhkan aku bawa."
"Tapi kan Uyut sudah tua." aku kembali mengucapkan kalimat itu tapi kali ini bukan meledek.
"Ya, aku tahu! Sudah tiga kali kau bilang seperti itu."
Aku menyerah. Uyut bukan orang yang mudah dibujuk. Sikap keras kepalanya yang seringkali membuat anak cucunya membiarkan Uyut berbuat sesuka-hatinya. Termasuk ketika Uyut memilih tetap bertahan di rumah peninggalan suaminya yang berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah merah. Padahal Uyut sering ditawari tinggal di rumah anak cucunya atau tawaran yang terakhir untuk merenovasi rumahnya jadi gedong, Uyut tetap menolak. Kata Uyut ada nilai historis yang tidak bisa dirubah.
Maka dari itu anak cucu Uyut memilih membangun rumah yang takjauh dari rumah Uyut. Alasannya agar bisa menjaga dan memperhatikan Uyut tanpa harus Uyut merasa dikekang.
Lagipula orang tua yang sudah berhasil mendidik anak hingga sukses dan berkeluarga rata-rata sangat sensitif. Ia merasa serba salah jika harus tinggal di rumah salah satu anaknya sementara yang lain akan merasa iri. Dianggapnya ia pilih kasih. Padahal ia memberikan porsi yang sama dalam membagi kasih sayangnya.
Sebab takut terjadi kecemburuan sosial  itulah yang membuat Uyut takmau lama-lama menginap di rumah anak-cucunya. Walaupun Uyut mengerti keinginan anak cucunya agar Uyut tinggal bersama mereka. 
Aku menebar bedak tabur di wajah keriput Uyut lalu menyemprotkan minyak wangi di bajunya. Aku layani juga permintaan-permintaan aneh lainnya seperti ingin makan dengan kuah mie instan. Asalkan Uyut mau tinggal lebih lama lagi  aku benar-benar memanjakannya hari itu.
"Uyut makannya lahap sekali. Lapar?" tanyaku heran.
"Biar tahan kenyang sampai besok pagi sebelum pulang." jawabnya penuh semangat.
Wajahku tertekuk. Lagi-lagi usahaku gagal.
"Habis ini Uyut mau mandi. Tolong siapkan airnya ya?" pintanya merajuk.
"Nanti Uyut kena rematik kalau mandi malam-malam." larangku.
"Biar badannya bersih sebelum pulang."
Lagi-lagi Uyut tetap teguh dengan keinginannya.
Sampai malam menjelang larut aku tak mau lagi berkomentar karena setiap kalimat yang diucapkan Uyut selalu menyelipkan kata pulang.
Aku dan Uyut punya ritual yang berbeda sebelum tidur. Setelah mandi Uyut berbaring di tempat tidur di tangannya melingkar tasbih lalu mulutnya komat-kamit menggumamkan dzikir. Sedangkan aku untuk menunggu undangan kantuk aku biasa menikmati malam dengan mendengarkan musikalisasipuisi Sapardi Djoko Damono ditemani secangkir wedang jahe di teras rumah. Namun ada satu musikalisasipuisi yang sedang aku putar berulang-ulang. Aku suka lirik sederhana tapi mampu meneror penikmatnya dari puisi Amsal Penyair karya Rudi Ali Ruda:
"Perjalanan ini tak akan pernah sampai. Hingga waktunya nanti kudapati arti pulang."
Kantuk itu tak juga datang padahal malam hanya tersisa sepertiganya. Terdengar suara burung hantu mengukuhkan sepi dan dingin. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan tapi sangat menganggu. Aku beranjak masuk ke dalam rumah lalu melongok ke kamar untuk mengajak Uyut shalat malam, tapi baru saja di depan pintu aku memutar balik langkahku. Suara ngorok Uyut sangat keras tak tega aku membangunkannya.
Aku duduk di atas sajadah sampai adzan subuh berkumandang. Suara ngorok Uyut tidak terdengar lagi. Kupikir Uyut sudah bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi kutunggu beberapa saat takjuga kudengar ada suara air yang mengalir dari keran. Ketika aku mengecek ke kamar, barulah aku sadar kalau Uyut sudah benar-benar pulang.  
Aku sudah bertemu bulan Mulud tahun ke sembilan sejak hari itu. Aku mengerti mengapa Uyut taklagi datang berkunjung. Setiap bertemu tanggal di hari itu di rumah peninggalannya melingkar anak, cucu, dan menantu. Berkirim doa agar suatu saat dapat berjumpa.
Benar apa yang dinasihatkan Imam Ghazali bahwa yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Sebab setiap yang bernyawa pasti akan mati.
"Aku kangen Uyut." Sejak saat itu aku belajar mengeja kata pulang dalam arti yang sesungguhnya.
Majalah Sahabat Pena Edisi 443/12/2013

0 komentar:

Posting Komentar