(buat RAR)
Aku
baru saja sampai rumah ketika kudapati Uyut membuka kasur lipat lalu duduk di
depan televisi. Tumben sekali beberapa hari Uyut lebih banyak menghabiskan
waktu disini: shalat, makan, tidur, mandi, dan bersantai. Rumah Uyut hanya
berjarak lima meter dan biasanya Uyut tidak betah lama-lama
mengosongkannya.
Uyut
memutarkan kepala hingga membuat sudut 45 derajat dan menjawab salam yang
kuucapkan.
"Kenapa
baru pulang?"
"Ada
latihan upacara dulu. Jadinya telat."
Setelah
menaruh sepatu di rak aku pergi ke kamar mencopot semua perangkat sekolah yang
masih melekat di badan. Tadinya aku ingin tanyakan apa saja yang sudah
dilakukan Uyut seharian ini, tapi urung ketika kulihat Uyut kembali fokus pada
tontonannya. Lagipula kulitku terasa lengket oleh keringat jadi aku buru-buru
menyambar handuk dan segera mandi.
Perempuan
berusia hampir mencapai 90 tahun itu masih terlihat bugar bila dikatakan renta.
Giginya masih berjajar rapi dan kuat untuk menggigit es batu. Tubuhnya masih
tegak tidak memerlukan tongkat untuk berjalan menahan badan atau tulang
punggung yang membungkuk karena osteoporosis. Hanya uban yang
menggantikan rambut dan kulit keriput yang takmampu disembunyikan lagi.
Aku
keluar dari kamar mandi dengan piyama dan handuk yang membungkus rambut basah.
Tanganku menjinjing tas plastik berisi body lotion, bedak, parfum, dan
pelembab wajah. Aku duduk di dekat Uyut.
"Satu
malam lagi Uyut tidur disini ya?" ujar Uyut meminta persetujuan.
"Setiap
malam juga takakan jadi masalah." jawabku santai.
"Justru
masalah kalau setiap hari tinggal di rumah orang."
"Ini
kan rumah cucunya Uyut. Ayah dan Ibu tidak mungkin mempermasalahkan."
"Tapi
Uyut punya rumah sendiri jadi tidak mau merepotkan."
"Untuk
alasan kasih sayang mereka tidak akan merasa direpotkan."
"Kau
masih kecil tahu apa tentang kasih sayang?"
"Dan
Uyut sudah tua jadi sebaiknya menerima apa yang sudah seharusnya aku, nenek,
ayah, dan ibu berikan."
Memang,
seharusnya aku tak menekankan perkataanku karena itu pasti menyinggung Uyut.
Aku merasa bersalah ketika beberapa saat Uyut
terdiam tanpa berkedip. Lalu Uyut menarik nafas panjang dan
menghembuskannya perlahan-lahan. Diulanginya beberapa kali hingga dadanya
terlihat kembang-kempis. Sesekali kudengar mulutnya mengucap istighfar,
barangkali Uyut merasa jengkel punya cicit yang sangat cerewet seperti aku atau
mungkin Uyut merasa sangat tua dan menyimpan banyak beban hidup yang
menggelayut di pikiran dan hatinya.
Aku
mengeluarkan body lotion dan menggosok-gosokannya ke tangan, kaki, dan
leher. Kemudian uyut meraih body lotion itu dan aku terkejut waktu Uyut
menirukan apa yang aku lakukan.
"Uyut
juga mau dandan supaya wangi." katanya sambil mempermainkan alisnya yang
turun-naik membuat keningnya mengkerut beberapa lipatan.
"Uyut
centil ih." godaku.
"Lho
apa salahnya?" Uyut terkesima.
"Uyut
kan sudah tua." ledekku lagi.
"Menjaga
kebersihan dan keindahan diri itu tak memilih tua atau muda. Apalagi manfaatnya
untuk sendiri." jawab Uyut berkilah.
"Oh,
aku kira ada maksud lain."
Aku tertawa geli.
"Jadi
uyut benar-benar mau pulang?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan
berharap Uyut berubah pikiran.
"Ya."
"Tidak
takut sendiri dan kesepian?"
"Tidak."
"Nanti
kalau mati lampu rumah Uyut akan gelap. Uyut tidak takut?"
"Tidak!"
"Nanti
Uyut capek mengerjakan segala hal sendirian."
Uyut
kembali menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat.
"Tinggal
istirahat. Apa yang mesti ditakutkan kalau menjadi sendiri toh apa yang
dibutuhkan aku bawa."
"Tapi
kan Uyut sudah tua." aku kembali mengucapkan kalimat itu tapi kali ini
bukan meledek.
"Ya,
aku tahu! Sudah tiga kali kau bilang seperti itu."
Aku
menyerah. Uyut bukan orang yang mudah dibujuk. Sikap keras kepalanya yang
seringkali membuat anak cucunya membiarkan Uyut berbuat sesuka-hatinya. Termasuk
ketika Uyut memilih tetap bertahan di rumah peninggalan suaminya yang
berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah merah. Padahal Uyut sering
ditawari tinggal di rumah anak cucunya atau tawaran yang terakhir untuk
merenovasi rumahnya jadi gedong, Uyut tetap menolak. Kata Uyut ada nilai
historis yang tidak bisa dirubah.
Maka
dari itu anak cucu Uyut memilih membangun rumah yang takjauh dari rumah Uyut.
Alasannya agar bisa menjaga dan memperhatikan Uyut tanpa harus Uyut merasa
dikekang.
Lagipula
orang tua yang sudah berhasil mendidik anak hingga sukses dan berkeluarga
rata-rata sangat sensitif. Ia merasa serba salah jika harus tinggal di rumah
salah satu anaknya sementara yang lain akan merasa iri. Dianggapnya ia pilih
kasih. Padahal ia memberikan porsi yang sama dalam membagi kasih sayangnya.
Sebab
takut terjadi kecemburuan sosial itulah
yang membuat Uyut takmau lama-lama menginap di rumah anak-cucunya. Walaupun
Uyut mengerti keinginan anak cucunya agar Uyut tinggal bersama mereka.
Aku
menebar bedak tabur di wajah keriput Uyut lalu menyemprotkan minyak wangi di
bajunya. Aku layani juga permintaan-permintaan aneh lainnya seperti ingin makan
dengan kuah mie instan. Asalkan Uyut mau tinggal lebih lama lagi aku benar-benar memanjakannya hari itu.
"Uyut
makannya lahap sekali. Lapar?" tanyaku heran.
"Biar
tahan kenyang sampai besok pagi sebelum pulang." jawabnya penuh semangat.
Wajahku
tertekuk. Lagi-lagi usahaku gagal.
"Habis
ini Uyut mau mandi. Tolong siapkan airnya ya?" pintanya merajuk.
"Nanti
Uyut kena rematik kalau mandi malam-malam." larangku.
"Biar
badannya bersih sebelum pulang."
Lagi-lagi
Uyut tetap teguh dengan keinginannya.
Sampai
malam menjelang larut aku tak mau lagi berkomentar karena setiap kalimat yang
diucapkan Uyut selalu menyelipkan kata pulang.
Aku
dan Uyut punya ritual yang berbeda sebelum tidur. Setelah mandi Uyut berbaring
di tempat tidur di tangannya melingkar tasbih lalu mulutnya komat-kamit
menggumamkan dzikir. Sedangkan aku untuk menunggu undangan kantuk aku biasa
menikmati malam dengan mendengarkan musikalisasipuisi Sapardi Djoko Damono
ditemani secangkir wedang jahe di teras rumah. Namun ada satu musikalisasipuisi
yang sedang aku putar berulang-ulang. Aku suka lirik sederhana tapi mampu
meneror penikmatnya dari puisi Amsal Penyair karya Rudi Ali Ruda:
"Perjalanan
ini tak akan pernah sampai. Hingga waktunya nanti kudapati arti pulang."
Kantuk
itu tak juga datang padahal malam hanya tersisa sepertiganya. Terdengar suara
burung hantu mengukuhkan sepi dan dingin. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan
tapi sangat menganggu. Aku beranjak masuk ke dalam rumah lalu melongok ke kamar
untuk mengajak Uyut shalat malam, tapi baru saja di depan pintu aku memutar
balik langkahku. Suara ngorok Uyut sangat keras tak tega aku membangunkannya.
Aku
duduk di atas sajadah sampai adzan subuh berkumandang. Suara ngorok Uyut tidak
terdengar lagi. Kupikir Uyut sudah bangun dan pergi ke kamar mandi. Tapi
kutunggu beberapa saat takjuga kudengar ada suara air yang mengalir dari keran.
Ketika aku mengecek ke kamar, barulah aku sadar kalau Uyut sudah benar-benar
pulang.
Aku
sudah bertemu bulan Mulud tahun ke sembilan sejak hari itu. Aku mengerti
mengapa Uyut taklagi datang berkunjung. Setiap bertemu tanggal di hari itu di
rumah peninggalannya melingkar anak, cucu, dan menantu. Berkirim doa agar suatu
saat dapat berjumpa.
Benar
apa yang dinasihatkan Imam Ghazali bahwa yang paling dekat dengan kita adalah
kematian. Sebab setiap yang bernyawa pasti akan mati.
"Aku
kangen Uyut." Sejak saat itu aku belajar mengeja kata pulang dalam arti
yang sesungguhnya.
Majalah
Sahabat Pena Edisi 443/12/2013
0 komentar:
Posting Komentar