*Penjual 1
Penjual ini terkenal dengan kejutekannya. Kalau berhadapan dengan
pembeli seringkali bermuka masam dan mahal senyum. Terkadang ia bicara
sinis dan tidak mengenakkan.
'Punteeennnn....' suara nyaring pembeli di teras warung.
'Spadaa....'
Tak ada yang menyahut. Si Pembeli selangkah lebih maju mendekat ke
pintu. Ia masih berprasangka baik, barangkali yang punya rumah tidak
mendengar salamnya.
'Sampurasuuuuunn....' nada suaranya naik beberapa oktaf.
Ada seseorang di dalam rumah hilir mudik tanpa menghiraukan teriakan
dari luar. Si Pembeli membuka pintu memastikan suaranya lebih jelas
didengar.
'Assalamualaikum.. Saya mau be...'
'Orang yang punya warungnya lagi ke luar!' ujar orang yang hilir
mudik tadi dingin seraya melengos ke dalam ruangan tanpa berniat
basa-basi.
Si Pembeli pun pergi dengan wajah jengkel dan kesal hati. Esoknya ia
datang lagi. Mungkin orang lain akan merasa kapok dan tidak akan
menginjakan kakinya di tempat orang-orang yang tidak berprikemanusiaan.
Tetapi hari ini Si Pembeli itu akan memberi sedikit peringatan jika saja
hal seperti kemarin terjadi lagi.
'Assalamu'alaikum... Bi, saya mau beli shampoo...' katanya memanggil
Si Penjual agar keluar rumah. Ia melihat seorang anak perempuan keluar
dari ruangan mendelikkan mata ke arahnya.
'Ada shampoo gak?'
'Bentarrr!!!!' bentak anak itu sambil melotot. Hampir saja bola matanya keluar.
'Hei nona saya tanya baik-baik Anda tidak bisa sopan sedikit, hah?
Habis kesombongan itu anda telan sendiri! Tak usah berdagang kalau tak
bisa melayani raja.'
Melihat Si Pembeli itu berbalik membentaknya buru-buru ia
mengambilkan shampoo. Pikirnya mungkin baru kali ini ada yang berani
menegur sikap kurang ajarnya. Seisi rumah berhamburan keluar mendengar
ada keributan. Si Pembeli tak menghiraukannya ia terus menasihati anak
yang baru saja tamat SMP itu. Ia yakin anak seusia itu sudah bisa
membedakan baik dan buruk.
'Anda tidak akan merasa rugi jika berbahasa dan berbudi yang baik.
Jika anda masih bersikap sombong selain apa yang anda dapat tidak akan
barokah, tidak akan ada seorangpun raja yang mau menginjakkan kaki
kesini! Renungkan itu...'
Si Pembeli menggebrak meja menaruh uang di atasnya. Ia pun pergi
saat orang-orang di dalam rumah itu membicarakannya. Mereka bukan
menasehati sikap sopan santun pada anak itu malah sibuk
menjelek-jelekkan Si Pembeli.
Keesokan harinya tersiar kabar anak penjual yang sombong itu
kecelakaan motor. Sebelah wajahnya baret dan matanya membengkak merah.
Terlihat lebih buruk dari biasanya yang malas sekali tersenyum.
Beberapa bulan setelah kejadian itu seringkali melihat Si Penjual
menyusuri kampung berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Yah, mungkin
ia harus menemui raja-raja.
*Penjual 2
Penjual yang satu ini terkenal dengan kepelitannya. Keked mengkene
merege hese cap jahe, begitu kata orang-orang karena kesal tiap kali
berbelanja ke sana selalu dipasang harga tinggi. Padahal ini di kampung
rata-rata penghasilannya menengah ke bawah. Kalaupun ada orang kaya
lebih memilih berbelanja ke supermarket untuk menjaga gengsi.
'Ceu.. Kedondong ini satu bijinya berapa?'
'Seribu lima ratus...'
'Hah? Di warung lain masih jual lima ratus ... Ini sih mahal banget!'
'Warung mana? Sama aja kok.. Di pasar harga udah pada naik. Kalau gak percaya cek aja sendiri.'
'Naik harga gak gini-gini amat. Dijual seribu juga masih wajar. Kalau mangga berapa satu bijinya?'
'Itu mangga Kaweni harganya lima ribu satu biji.'
'Ini sih bukan gak wajar lagi tapi kurang ajar. Ini mangga kan
belinya dari tukang buah keliling yang harganya lima ribu dapet satu
kilo. Kalau jual sama orang kampung jangan mahal-mahal Ceu nanti gak
laku lho..'
'Kalau gak niat beli gak usah tanya-tanya...'
Si Pembeli pergi tanpa membawa apa-apa. Ia pikir masih banyak
penjual yang punya rasa kemanusiaan. Menjual dengan harga yang pantas.
Tak memasang aturan yang aneh-aneh. Seperti tak boleh berhutang setelah
maghrib katanya pamali. Atau pagi-pagi hendak belanja harus pakai uang
pas kalau tidak mending tak usah jadi beli.
Tapi, suatu hari Si Pembeli itu datang lagi. Sedikit terpaksa karena hanya itu warung yang dekat dengan rumahnya.
'Gak usah belanja kesini. Disini barangnya mahal-mahal.'
'Sombongnya ... Tenang aja Ceu saya datang karena saya punya duit.'
'Mau belanja apa?'
'Susu yang di botol kecil itu berapa?' Si Pembeli itu menunjuk susu botol yang ia tahu harganya seribu rupiah.
'Yang itu? Dua ribu lima ratus...'
'Oohh... Gak kemurahan? Di warung lain udah jual lima ribu satu botol.'
'Yaah saya kan tidak ambil untung terlalu besar.'
'Percaya deh... Saya beli mie instan sama telurnya juga satu ya. Jadi totalnya berapa?'
'Lima belas ribu..'
'Oke.' Si Pembeli mengeluarkan uang tiga lembar lima ribuan dan menyerahkan kepada Si Penjual.
'Ceu tahu gak kalau raja itu kaya? Raja bisa beli apa saja yang dia
mau. Setiap kedatangannya membawa keuntungan bahkan raja juga akan
membagi kekayaannya secara cuma-cuma. Raja juga tidak bodoh. Sekali raja
tertipu raja anggap itu rasa kasihannya. Tapi kasihannya raja hanya
sekali selebihnya malapetaka.'
Bermaksud besar untung malah dapat buntung. Si Penjual itu kepergok
membuang barang dagangannya yang busuk karena berminggu-minggu tidak
laku dijual. Ia lebih baik bershodaqoh kepada cacing dan belatung
ketimbang harus menurunkan harga jualannya.
Hikmahnya berbudi bahasa yang baik itu tak rugi dan bershodaqoh tak akan menjadikan miskin.
'Likulli 'amalin tsawabun walikulli kalamin jawabun - Setiap pekerjaan itu ada upahnya dan setiap perkataan ada jawabannya'
*Truestory*
9 September 2013
Rabu, 25 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar