Rabu, 25 Desember 2013

Balada Si Penjual dan Raja

Edit Posted by with No comments
*Penjual 1
Penjual ini terkenal dengan kejutekannya. Kalau berhadapan dengan pembeli seringkali bermuka masam dan mahal senyum. Terkadang ia bicara sinis dan tidak mengenakkan.

'Punteeennnn....' suara nyaring pembeli di teras warung.

'Spadaa....'

Tak ada yang menyahut. Si Pembeli selangkah lebih maju mendekat ke pintu. Ia masih berprasangka baik, barangkali yang punya rumah tidak mendengar salamnya.

'Sampurasuuuuunn....' nada suaranya naik beberapa oktaf.

Ada seseorang di dalam rumah hilir mudik tanpa menghiraukan teriakan dari luar. Si Pembeli membuka pintu memastikan suaranya lebih jelas didengar.

'Assalamualaikum.. Saya mau be...'

'Orang yang punya warungnya lagi ke luar!' ujar orang yang hilir mudik tadi dingin seraya melengos ke dalam ruangan tanpa berniat basa-basi.

Si Pembeli pun pergi dengan wajah jengkel dan kesal hati. Esoknya ia datang lagi. Mungkin orang lain akan merasa kapok dan tidak akan menginjakan kakinya di tempat orang-orang yang tidak berprikemanusiaan. Tetapi hari ini Si Pembeli itu akan memberi sedikit peringatan jika saja hal seperti kemarin terjadi lagi.

'Assalamu'alaikum... Bi, saya mau beli shampoo...' katanya memanggil Si Penjual agar keluar rumah. Ia melihat seorang anak perempuan keluar dari ruangan mendelikkan mata ke arahnya.

'Ada shampoo gak?'

'Bentarrr!!!!' bentak anak itu sambil melotot. Hampir saja bola matanya keluar.

'Hei nona saya tanya baik-baik Anda tidak bisa sopan sedikit, hah? Habis kesombongan itu anda telan sendiri! Tak usah berdagang kalau tak bisa melayani raja.'

Melihat Si Pembeli itu berbalik membentaknya buru-buru ia mengambilkan shampoo. Pikirnya mungkin baru kali ini ada yang berani menegur sikap kurang ajarnya. Seisi rumah berhamburan keluar mendengar ada keributan. Si Pembeli tak menghiraukannya ia terus menasihati anak yang baru saja tamat SMP itu. Ia yakin anak seusia itu sudah bisa membedakan baik dan buruk.

'Anda tidak akan merasa rugi jika berbahasa dan berbudi yang baik. Jika anda masih bersikap sombong selain apa yang anda dapat tidak akan barokah, tidak akan ada seorangpun raja yang mau menginjakkan kaki kesini! Renungkan itu...'
Si Pembeli menggebrak meja menaruh uang di atasnya. Ia pun pergi saat orang-orang di dalam rumah itu membicarakannya. Mereka bukan menasehati sikap sopan santun pada anak itu malah sibuk menjelek-jelekkan Si Pembeli.

Keesokan harinya tersiar kabar anak penjual yang sombong itu kecelakaan motor. Sebelah wajahnya baret dan matanya membengkak merah. Terlihat lebih buruk dari biasanya yang malas sekali tersenyum.

Beberapa bulan setelah kejadian itu seringkali melihat Si Penjual menyusuri kampung berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Yah, mungkin ia harus menemui raja-raja.

*Penjual 2
Penjual yang satu ini terkenal dengan kepelitannya. Keked mengkene merege hese cap jahe, begitu kata orang-orang karena kesal tiap kali berbelanja ke sana selalu dipasang harga tinggi. Padahal ini di kampung rata-rata penghasilannya menengah ke bawah. Kalaupun ada orang kaya lebih memilih berbelanja ke supermarket untuk menjaga gengsi.

'Ceu.. Kedondong ini satu bijinya berapa?'

'Seribu lima ratus...'

'Hah? Di warung lain masih jual lima ratus ... Ini sih mahal banget!'

'Warung mana? Sama aja kok.. Di pasar harga udah pada naik. Kalau gak percaya cek aja sendiri.'

'Naik harga gak gini-gini amat. Dijual seribu juga masih wajar. Kalau mangga berapa satu bijinya?'

'Itu mangga Kaweni harganya lima ribu satu biji.'

'Ini sih bukan gak wajar lagi tapi kurang ajar. Ini mangga kan belinya dari tukang buah keliling yang harganya lima ribu dapet satu kilo. Kalau jual sama orang kampung jangan mahal-mahal Ceu nanti gak laku lho..'

'Kalau gak niat beli gak usah tanya-tanya...'

Si Pembeli pergi tanpa membawa apa-apa. Ia pikir masih banyak penjual yang punya rasa kemanusiaan. Menjual dengan harga yang pantas. Tak memasang aturan yang aneh-aneh. Seperti tak boleh berhutang setelah maghrib katanya pamali. Atau pagi-pagi hendak belanja harus pakai uang pas kalau tidak mending tak usah jadi beli.

Tapi, suatu hari Si Pembeli itu datang lagi. Sedikit terpaksa karena hanya itu warung yang dekat dengan rumahnya.

'Gak usah belanja kesini. Disini barangnya mahal-mahal.'

'Sombongnya ... Tenang aja Ceu saya datang karena saya punya duit.'

'Mau belanja apa?'

'Susu yang di botol kecil itu berapa?' Si Pembeli itu menunjuk susu botol yang ia tahu harganya seribu rupiah.

'Yang itu? Dua ribu lima ratus...'

'Oohh... Gak kemurahan? Di warung lain udah jual lima ribu satu botol.'

'Yaah saya kan tidak ambil untung terlalu besar.'

'Percaya deh... Saya beli mie instan sama telurnya juga satu ya. Jadi totalnya berapa?'

'Lima belas ribu..'

'Oke.' Si Pembeli mengeluarkan uang tiga lembar lima ribuan dan menyerahkan kepada Si Penjual.

'Ceu tahu gak kalau raja itu kaya? Raja bisa beli apa saja yang dia mau. Setiap kedatangannya membawa keuntungan bahkan raja juga akan membagi kekayaannya secara cuma-cuma. Raja juga tidak bodoh. Sekali raja tertipu raja anggap itu rasa kasihannya. Tapi kasihannya raja hanya sekali selebihnya malapetaka.'

Bermaksud besar untung malah dapat buntung. Si Penjual itu kepergok membuang barang dagangannya yang busuk karena berminggu-minggu tidak laku dijual. Ia lebih baik bershodaqoh kepada cacing dan belatung ketimbang harus menurunkan harga jualannya.

Hikmahnya berbudi bahasa yang baik itu tak rugi dan bershodaqoh tak akan menjadikan miskin.

'Likulli 'amalin tsawabun walikulli kalamin jawabun - Setiap pekerjaan itu ada upahnya dan setiap perkataan ada jawabannya'
*Truestory*
 9 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar